Analisis Pengukuran Kinerja Keuangan dan Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah dalam Era Otonomi
Daerah
Novia Aminuddin1, Srihadi Winarningsih2
Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Padjadjaran
Email: novia19003@mail.unpad.ac.id
Abstrak
Karakteristik daerah mampu
melaksanakan otonomi dapat dilihat dari kemampuan keuangannya yang diukur
melalui analisis kinerja keuangan daerah dan tingkat kemampuan daerah. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kinerja keuangan daerah dan
kemampuan keuangan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah di pemerintah
daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat tahun anggaran 2017-2021 dengan
menggunakan data sekunder dari Laporan Realisasi Anggaran (LRA). Metode
penelitian yang digunakan ialah kuantitatif deskriptif untuk mengukur kinerja
keuangan dengan rasio keuangan diantaranya adalah rasio kemandirian keuangan
daerah, rasio ketergantungan keuangan daerah, rasio desentralisasi fiskal,
rasio efektivitas PAD, dan rasio efisiensi belanja daerah sedangkan untuk
mengukur kemampuan keuangan menggunakan share and growth, peta kemampuan
daerah, dan IKK (Indeks kemampuan Keuangan). Hasil penelitian dari kinerja
keuangan menunjukkan sebagai berikut: Rasio kemandirian keuangan daerah
tergolong rendah yang memiliki pola hubungan konsultatif dengan rata-rata
mencapai 35,54%. Rasio ketergantungan keuangan daerah tergolong sangat tinggi
dengan rata-rata mencapai 70,56%. Rasio desentralisasi fiskal tergolong sedang
dengan rata-rata mencapai 22,77%. Rasio efektivitas PAD tergolong efektif
secara rata-rata sebesar 99,64%. Rasio efisiensi belanja daerah tergolong
kurang efisien dengan rata-rata mencapai 90,90%. Hasil penelitian dari
kemampuan keuangan daerah menunjukkan sebagai berikut: rasio share seluruh
secara-secara mencapai 22,94% yang berarti peran PAD dalam membiayai belanja daerah masih sangat minim dan hasil dari rasio growth secara
rata-rata mencapai 10,72% yang menunjukkan seluruh pertumbuhan PAD
Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat masih rendah. Berdasarkan hasil analisis share
and growth dalam Peta Kemampuan Keuangan, terdapat 21 daerah di Kuadran II,
10 daerah di Kuadran III, dan sisanya sejumlah 14 masuk ke dalam Kuadran IV.
Berdasarkan Indeks Kemampuan Keuangan (IKK) kemampuan keuangan tinggi sebanyak
13 daerah, sedangkan 13 daerah dengan kemampuan sedang dan sisanya 1 daerah
berada di kemampuan rendah.
Kata
kunci: pengukuran kinerja; tingkat
kemampuan keuangan; otonomi daerah
Abstract
The
characteristics of a region capable of implementing autonomy can be seen from
its financial capacity as measured through an analysis of regional financial
performance and the level of regional capacity. The purpose of this study was
to determine how regional financial performance and regional financial capacity
in implementing regional autonomy in the Regency / City regional government in
West Java Province in the 2017-2021 fiscal year using secondary data from the
Budget Realization Report (LRA). The research method used is descriptive
quantitative to measure financial performance with financial ratios including
the ratio of regional financial independence, regional financial dependence
ratio, fiscal decentralization ratio, PAD effectiveness ratio, and regional
expenditure efficiency ratio while to measure financial capability using share
and growth, regional capability map, and IKK (Financial capability index). The
research results of financial performance show the following: The ratio of
regional financial independence is classified as low which has a consultative
relationship pattern with an average of 35.54%. The regional financial
dependency ratio is classified as very high with an average of 70.56%. The
fiscal decentralization ratio is classified as moderate with an average of
22.77%. The PAD effectiveness ratio is classified as effective with an average
of 99.64%. The regional expenditure efficiency ratio is classified as less
efficient with an average of 90.90%. Research results from regional financial
capability show the following: The overall share ratio on average reached
22.94%, which means that the role of PAD in financing regional expenditures is
still very minimal and the results of the growth ratio on average reached
10.72%, which shows that the overall growth of PAD in the Regency / City in
West Java Province is still low. Based on the results of the share and growth
analysis in the Financial Capability Map, there are 21 regions in Quadrant II,
10 regions in Quadrant III, and the remaining 14 fall into Quadrant IV. Based
on the Financial Capability Index (IKK), 13 regions have high financial
capability, while 13 regions have medium capability and the remaining 1 region
is in low capability.
Keywords: performance
measurement; level of financial capability; regional autonomy
Pendahuluan
Indonesia mengalami krisis ekonomi, dan situasi
politik yang tidak stabil pada era pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh
Presiden Soeharto dari tahun 1966 hingga 1998. Sistem politik dan ekonomi pada
masa itu dibangun begitu sangat sentralistis, yang mengakibatkan daerah tidak
dapat berkembang secara optimal. Keputusan mengenai daerah selalu ditentukan
oleh pemerintah pusat tanpa melibatkan partisipasi kepada daerah. Hal ini
menyebabkan daerah tidak memiliki kekuasaan untuk mengembangkan potensi lokalnya
sendiri, dan akhirnya bergantung pada pemerintah pusat. Ketidakadilan
distribusi sumber daya politik dan ekonomi yang dilakukan pada rezim Orde Baru
berakhir menjadi masalah serius yang harus dihadapi oleh Pemerintahan B.J.
Habibie. Hal ini mengakibatkan kesenjangan yang signifikan antara daerah yang
lebih terpencil, dan menyebabkan daerah menjadi kurang berkembang dan kalah
bersaing dengan daerah yang lebih maju. Daerah-daerah tersebut seringkali tidak
memiliki akses yang memadai terhadap sumber daya politik maupun ekonomi, serta
tidak dapat mengembangkan potensi daerah yang dimiliki secara optimal sehingga
mengakibatkan pembangunan dan kesejahteraan daerah-daerah tersebut terhambat (Suparto, 2014).
Kelangkaan legitimasi politik membuat masyarakat
memiliki banyak kesempatan untuk menuntut perubahan dalam hubungan
pusat-daerah. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menuntut kebijakan
otonomi daerah yang lebih luas dan akses yang lebih besar ke sumber daya alam
daerah (Suparto, 2014).
Pemerintah dan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) merespon terhadap tuntutan desentralisasi yang semakin kuat yang
diwujudkan melalui pengesahan dua Undang-Undang pada bulan April 1999 dan
menetapkan pada tanggal 1 januari 2001, pemerintah menetapkan dua Undang-Undang
Otonomi Daerah, yaitu Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
dan Undang-Undang No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah. Sejak tahun 2001, desentralisasi secara resmi
telah diimplementasikan di setiap Kabupaten/Kota di seluruh Provinsi melalui
program desentralisasi yang dikenal sebagai Big Bang Decentralization
program ini ditandai dengan transfer wewenang tanggung jawab yang signifikan
dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam waktu yang relatif singkat (Hamsiah, 2019).
Pemberian desentralisasi ini
bertujuan untuk memenuhi aspirasi daerah berkaitan penguasaan atas
sumber-sumber keuangan, mengurangi ketimpangan antar daerah, mendorong
partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah, meningkatkan akuntabilitas dan
transparansi pemerintah daerah, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat
secara umum (Nurhemi, 2015).
Implementasi dalam pelaksanaan
otonomi daerah tidaklah berjalan mulus hingga saat ini dan masih menjadi
tantangan yang dihadapi oleh setiap daerah. Menurut (Komite Pemantauan
Pelaksanaan Otonomi Daerah, 2021) mengungkapkan “Penerapan otonomi daerah yang
dilakukan sejak 1999 yang diberikan kepada kepala daerah terpilih berwenang
untuk mengatur dan mengurus daerahnya masing-masing. Namun hampir 25 tahun
pelaksanaannya, tidak semua daerah yang diberikan otonomi mampu meningkatkan
pelayanan maupun kesejahteraan masyarakatnya. Bahkan, banyak daerah yang justru
masih sangat bergantung pada pemerintah pusat”. Dari pernyataan tersebut
persoalan mengenai otonomi daerah ini menjadi permasalahan serius yang perlu
diatasi masing-masing daerah.
Anggaran merupakan komponen krusial dalam pengelolaan
keuangan organisasi sektor publik, karena anggaran menjadi landasan alokasi
sumber daya publik yang harus dimanfaatkan secara efektif dan efisien. Dalam
konteks penyelenggaraan otonomi daerah, pengelolaan keuangan yang baik sangat
penting dengan mengutamakan prinsip efektif, efisien, transparan, dan
akuntabel. Pengelolaan keuangan ini tercermin dalam penyusunan anggaran oleh
pemerintah daerah setiap tahun melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD). APBD menjadi sarana bagi pemerintah daerah untuk mengetahui kinerja dan
kemampuan daerah dari segi pendapatan maupun pengeluaran. Untuk mewujudkan otonom daerah, pemerintah daerah dituntut untuk independen
dalam hal kemampuan keuangan sehingga membuat setiap daerah berlomba-lomba untuk menggali
potensi-potensi yang ada untuk dijadikan sumber pendapatan demi dapat memaksimalkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) masing- masing daerah.
Tabel
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat Tahun Anggaran 2017-2021
Tahun |
Anggaran |
Realisasi |
2017 |
Rp23.308.083.898.482,80 |
Rp23.319.551.898.947,00 |
2018 |
Rp21.725.321.991.527,00 |
Rp20.597.546.126.012,40 |
2019 |
Rp23.912.199.211.875,70 |
Rp22.908.062.822.178,40 |
2020 |
Rp20.454.420.759.759,50 |
Rp21.394.531.898.171,00 |
2021 |
Rp24.193.579.019.676,80 |
Rp25.018.097.836.849,30 |
Sumber: BPK RI-Provinsi Jawa
Barat (Diolah Peneliti, 2023)
Berdasarkan tabel 1 diatas, terlihat
dari total realisasi PAD Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat tahun anggaran
2017-2021 mengalami fluktuatif. Selama lima tahun terjadi penurunan penerimaan
pendapatan PAD pada tahun 2018 dan 2020. Pada tahun 2018 mengalami penurunan
sebesar (-10%) sedangkan pada tahun 2020 mengalami penurunan sebesar (-7%). Hal
tersebut dikarenakan kondisi yang tidak stabil terutama pada tahun 2020 akibat
kondisi pandemic covid-19 yang menyebabkan terjadi penurunan yang
signifikan terutama pada pendapatan yang berasal dari pajak daerah, retribusi
daerah, pendapatan hasil pengelolaan daerah yang dipisahkan. Penerimaan PAD
terbesar Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat selama lima tahun pada tahun
2021 sebesar Rp25.018.097.836.849,30 sedangkan penerimaan PAD terendah pada
tahun 2018 Rp20.597.546.126.012,40.
Salah satu persoalan yang sering
dihadapi dalam menjalankan otonomi daerah yaitu usaha daerah dalam mengurangi
ketergantungan terhadap pemerintah pusar dari sumber daya keuangan yang
diberikan untuk memenuhi kegiatan pemerintahan. Keberhasilan otonomi daerah
terlihat dari kemampuan keuangan daerah, jika daerah memiliki sumber daya
keuangan yang cukup dan dapat mengurangi penerimaan pendapatan transfer dari
pemerintah pusat untuk mengurangi ketergantungan.
Tabel
2. Perbandingan Realisasi PAD Dengan Pendapatan
Transfer
Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat Tahun Anggaran 2017-2021
Tahun |
Pendapatan Asli
Daerah |
Pendapatan Transfer |
2017 |
Rp23.319.551.898.947,00 |
Rp58.389.169.195.910,00 |
2018 |
Rp20.597.546.126.012,40 |
Rp59.339.528.057.820,00 |
2019 |
Rp22.908.062.822.178,40 |
Rp64.859.324.981.626,00 |
2020 |
Rp21.394.531.898.171,00 |
Rp21.394.531.898.171,00 |
2021 |
Rp25.018.097.836.849,30 |
Rp64.138.564.480.074,00 |
Sumber: BPK RI-Provinsi Jawa
Barat (Diolah Peneliti, 2023)
Berdasarkan tabel 2 diatas,
terlihat perbandingan PAD dengan pendapatan transfer Kabupaten/Kota Se-Provinsi
Jawa Barat tahun 2017-2021 yang menunjukkan bahwa penerimaan PAD masih
cenderung rendah dan pendapatan transfer yang diterima sangat besar. Hal ini
menggambarkan bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi
Jawa Barat masih belum cukup dalam menggali potensi yang dimiliki masing-masing
daerah, sehingga pemerintah daerah Kabupaten/Kota menggunakan pendapatan
transfer sebagai sumber pendapatan dalam menjalankan kegiatan pemerintahan. Ini
menunjukkan ketergantungan pemerintah daerah terhadap pendapatan transfer yang
diberikan dari pemerintah pusat/provinsi masih sangat tinggi. Sudah seharusnya
dalam pelaksanaan otonomi daerah pemerintah di Kabupaten/Kota dapat menggali
PAD yang dimilikinya secara optimal untuk mengurangi ketergantungan terhadap
pendapatan transfer.
Metode
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini
menggunakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan menggunakan analisa rasio
keuangan. Data yang digunakan data sekunder berupa angka-angka yang diambil
dari Laporan Realisasi Anggaran (LRA) pemerintah daerah Kabupaten/Kota
Se-Provinsi Jawa Barat selama lima tahun yakni dari tahun 2017 sampai dengan
2021.
1) Analisis Kinerja Keuangan
Daerah
a) Rasio Kemandirian Keuangan
Daerah
Rasio kemandirian keuangan daerah dihitung dengan cara
membandingkan jumlah penerimaan pendapatan asli daerah dengan jumlah pendapatan
transfer. Rasio kemandirian Daerah dapat dihitung menggunakan rumus sebagai
berikut (Mahmudi, 2019):
Tabel
3. Kriteria Kemandirian Keuangan Daerah dan Pola
Hubungan
Kemampuan Keuangan |
Persentase (%) |
Pola Hubungan |
Rendah Sekali |
0% - 25% |
Instruktif |
Rendah |
>25% - 50% |
Konsultatif |
Sedang |
>50% - 75% |
Partisipatif |
Tinggi |
>75% - 100% |
Delegatif |
Sumber: Halim, 2007 (dalam
Nizwan Zukhri, 2020)
b) Rasio Ketergantungan
Keuangan Daerah
Rasio ketergantungan keuangan daerah menggambarkan
tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap pendapatan transfer yang
diterima dari pemerintah pusat dan/atau pemerintah provinsi. Rasio ini
menghitung perbandingan antara jumlah pendapatan transfer yang diterima oleh
pemerintah daerah dengan total pendapatan daerah. Rumus yang digunakan sebagai
berikut (Mahmudi, 2019) :
Tabel
4. Kriteria Penilaian Ketergantungan Keuangan Daerah
Kriteria Rasio
Ketergantungan |
Persentase (%) |
Sangat Rendah |
00,00 – 10,00 |
Rendah |
10,01 – 20,00 |
Sedang |
20,01 – 30,00 |
Cukup |
30,01 – 40,00 |
Tinggi |
40,01 – 50,00 |
Sangat Tinggi |
>50,00 |
Sumber : Banga, 2017 (dalam Nizwan Zukhri, 2020)
c) Rasio Desentralisasi Fiskal
Rasio desentralisasi fiskal menggambarkan sejauh mana
keuangan pemerintah daerah dalam mengelola dan meningkatkan pendapatan asli
daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah untuk membiayai kegiatan
pemerintahan. Rasio ini dihitung dengan perbandingan Pendapatan Asli Daerah
dengan total pendapatan daerah. Rumus untuk mengukur desentralisasi fiskal
sebagai berikut (Mahmudi, 2019):
Tabel
5. Kriteria Penilaian Derajat Desentralisasi Fiskal
Kriteria Derajat
Desentralisasi Fiskal |
Persentase (%) |
Sangat Efektif |
>10,00% |
Efektif |
>90% - 100% |
Cukup Efektif |
>80% - 90% |
Kurang Efektif |
>60% - 80% |
Tidak Efektif |
≤60% |
Sumber : Hanafi, 2005 (dalam Nizwan Zukhri, 2020)
d) Rasio Efektivitas PAD
Rasio efektivitas Pendapatan Asli Daerah (PAD)
digunakan sebagai indikator untuk mengevaluasi kemampuan pemerintah daerah
dalam mencapai target pendapatan yang telah dianggarkan. Rasio ini dapat
dihitung dengan perbandingan realisasi PAD dengan anggaran PAD. Rumus yang
digunakan untuk mengukur efektivitas PAD sebagai berikut (Mahmudi, 2019) :
Tabel
6. Kriteria Penilaian Rasio Efektivitas PAD
Kriteria Efektivitas
PAD |
Persentase (%) |
Sangat Efektif |
>10,00% |
Efektif |
>90% - 100% |
Cukup Efektif |
>80% - 90% |
Kurang Efektif |
>60% - 80% |
Tidak Efektif |
≤60% |
Sumber: (Mahmudi, 2019)
e) Rasio Efisiensi Belanja
Daerah
Rasio efisiensi belanja daerah digunakan sebagai
indikator untuk mengukur sejauh mana pemerintah daerah dapat mengelola anggaran
belanja daerah secara hemat. Rasio ini dapat diukur dengan perbandingan
realisasi belanja daerah dengan anggaran belanja daerah. Rumus yang digunakan
sebagai berikut (Mahmudi, 2019):
Tabel 7. Kriteria Penilaian Efisiensi Belanja Daerah
Kriteria Efisiensi |
Persentase Efisiensi |
Tidak Efisien |
>10,00% |
Kurang Efisien |
>90% - 100% |
Cukup Efisien |
>80% - 90% |
Efisien |
>60% - 80% |
Sangat Efisien |
≤60% |
Sumber: (Mahmudi, 2019)
2) Analisis Kemampuan Keuangan Daerah
a)
Analisis
Share and Growth
Analisis share digunakan untuk mengukur
proporsi atau persentase pendapatan asli daerah dalam membiayai seluruh belanja
daerah selama periode waktu tertentu, sehingga memberikan gambaran tentang
kemampuan keuangan daerah dalam mengelola dan memenuhi kebutuhan belanja daerah.
Berdasarkan Bappenas, 2003 (dalam Hidayat & Handra,
2020) rumus yang digunakan untuk analisis share sebagai berikut :
Analisis growth digunakan untuk mengukur
kemampuan keuangan daerah yang menekankan kepada pertumbuhan pendapatan asli
daerah (PAD) dari satu periode ke periode berikutnya serta memperkirakan
prospek pertumbuhan ekonomi di masa yang akan datang. Berdasarkan Bappenas, 2003 (dalam Hidayat & Handra,
2020) rumus untuk analisis growth sebagai berikut:
Keterangan
:
Growth
:
Pertumbuhan
PAD : Pendapatan Asli Daerah
t :
Periode Saat Ini
t-1 : Periode Sebelumnya
b)
Peta Kemampuan Keuangan Daerah
Peta kemampuan keuangan daerah merupakan visualisasi
yang menggambarkan tingkat kemampuan suatu daerah dalam memanfaatkan potensi
ekonomi lokalnya. Pemetaan ini dilakukan dengan menggunakan metode kuadran yang
didasarkan pada hasil perhitungan dari faktor share and growth. Melalui
metode kuadran, pemerintah dapat mengidentifikasi suatu daerah dengan jelas
mengenai kondisi kemampuan keuangan daerah dan potensi lokal yang dimiliki
daerah tersebut (Muhibtari, 2014). Peta kemampuan dan klasifikasi status kemampuan
keuangan disajikan sebagai berikut :
Sumber: Bappenas, 2003
Gambar
1. Peta Kemampuan Keuangan Share and Growth
Tabel klasifikasi status
kemampuan keuangan daerah berdasarkan metode kuadran terdiri dari empat kuadran
utama, yaitu:
Tabel
8. Klasifikasi Status Kemampuan Keuangan Daerah
KUADRAN |
KONDISI |
I |
Kondisi paling ideal. PAD mengambil peran besar dalam total belanja,
dan daerah memiliki kemampuan yang kuat untuk mengembangkan potensi lokal.
Kondisi ini tercermin dalam besarnya nilai sumbangan PAD terhadap total
belanja (share) yang tinggi dan pertumbuhan PAD (growth)
yang tinggi. |
II |
Kondisi ini masih belum ideal, tetapi daerah memiliki kemampuan
untuk mengembangkan potensi lokal sehingga PAD berpeluang untuk memiliki
peran yang besar dalam total belanja. Kondisi ini tercermin dalam besarnya
nilai sumbangan PAD terhadap total belanja (share) yang masih rendah
namun pertumbuhan PAD (growth) yang tinggi. |
III |
Kondisi ini juga belum ideal. Peran PAD yang besar dalam total
belanja mempunyai peluang yang kecil karena pertumbuhan PAD yang kecil.
Kondisi ini tercermin dalam besarnya nilai sumbangan PAD terhadap total
belanja (share) yang tinggi namun pertumbuhan PAD (growth) yang
rendah. |
IV |
Kondisi
ini paling buruk. Peran PAD belum mengambil peran yang besar dalam total
belanja, dan daerah belum mempunyai kemampuan mengembangkan potensi lokal.
Kondisi ini tercermin dalam besarnya nilai sumbangan PAD terhadap total
belanja (share) yang rendah dan pertumbuhan PAD (growth)
rendah. |
Sumber: (Bappenas,2003)
Indeks
Kemampuan Keuangan (IKK)
Indeks Kemampuan Keuangan (IKK) salah satu indikator
yang menggambarkan kemampuan keuangan suatu entitas, dalam mengelola sumber
daya keuangan. IKK memiliki tiga komponen utama, yaitu Indeks Pertumbuhan (Growth
Index), Indeks Elastisitas (Elasticity Index), dan Indeks Share (Share
Index). Untuk mengukur IKK, nilai maksimum dan minimum ditetapkan pada
setiap komponen. Berdasarkan Bappenas, 2003. Masing-masing komponen indeks tersebut dapat
dianalisis dengan menggunakan persamaan umum sebagai berikut:
Selanjutnya
Indeks Kemampuan Keuangan (IKK) dirumuskan sebagai berikut :
Keterangan
:
Indeks Growth (PAD)
Indeks Elastisitas (Pertumbuhan PAD terhadap
Pertumbuhan Ekonomi)
Indeks Share (PAD terhadap Total Belanja)
Tabel
9. Kriteria Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah
Indeks Kemampuan
Keuangan |
Klasifikasi |
0,00 – 0,33 |
Rendah |
0,34 – 0,43 |
Sedang |
0,44 – 1,00 |
Tinggi |
Sumber : (Bappenas, 2003)
Hasil dan Pembahasan
1) Hasil Analisis Kinerja
Keuangan
a. Rasio Kemandirian Keuangan
Daerah
Tabel 10. Capaian Rata-Rata Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat Tahun Anggaran
2017-2021
Pemerintah
Daerah |
2017 |
2018 |
2019 |
2020 |
2021 |
Rata-Rata |
Hasil |
|
1. |
Kabupaten Bogor |
80,43% |
68,82% |
70,30% |
68,10% |
79,54% |
73,44% |
Partisipatif |
2. |
Kabupaten Sukabumi |
27,42% |
19,30% |
19,75% |
22,48% |
21,13% |
22,02% |
Instruktif |
3. |
Kabupaten Cianjur |
22,26% |
23,11% |
23,64% |
19,48% |
26,75% |
23,05% |
Instruktif |
4. |
Kabupaten Bandung |
26,45% |
25,30% |
23,80% |
28,51% |
28,23% |
26,46% |
Konsultatif |
5. |
Kabupaten Garut |
19,30% |
11,72% |
12,13% |
12,83% |
14,82% |
14,16% |
Instruktif |
6. |
Kabupaten Tasikmalaya |
13,77% |
7,92% |
8,60% |
9,90% |
14,01% |
10,84% |
Instruktif |
7. |
Kabupaten Ciamis |
9,93% |
10,53% |
10,28% |
11,34% |
12,06% |
10,83% |
Instruktif |
8. |
Kabupaten Kuningan |
20,92% |
17,05% |
16,16% |
12,76% |
14,97% |
16,37% |
Instruktif |
9. |
Kabupaten Cirebon |
28,88% |
21,20% |
20,29% |
21,95% |
23,38% |
23,14% |
Instruktif |
10. |
Kabupaten Majalengka |
23,66% |
21,19% |
18,39% |
18,81% |
19,04% |
20,22% |
Instruktif |
11. |
Kabupaten Sumedang |
26,71% |
19,67% |
18,71% |
19,17% |
21,05% |
21,06% |
Instruktif |
12. |
Kabupaten Indramayu |
26,57% |
19,00% |
19,12% |
23,85% |
20,28% |
21,76% |
Instruktif |
13. |
Kabupaten Subang |
25,55% |
17,59% |
19,22% |
19,59% |
20,23% |
20,44% |
Instruktif |
14. |
Kabupaten Purwakarta |
28,16% |
22,07% |
28,67% |
28,87% |
29,24% |
27,40% |
Konsultatif |
15. |
Kabupaten Karawang |
51,92% |
42,47% |
45,58% |
47,15% |
54,52% |
48,33% |
Konsultatif |
16. |
Kabupaten Bekasi |
86,51% |
74,82% |
82,52% |
83,40% |
80,90% |
81,63% |
Delegatif |
17. |
Kabupaten Bandung Barat |
30,39% |
20,93% |
23,94% |
24,86% |
26,07% |
25,24% |
Konsultatif |
18. |
Kabupaten Pangandaran |
7,32% |
12,27% |
11,50% |
7,55% |
15,70% |
10,87% |
Instruktif |
19. |
Kota Bogor |
75,62% |
69,99% |
69,79% |
61,60% |
73,50% |
70,10% |
Partisipatif |
20. |
Kota Sukabumi |
46,78% |
45,56% |
40,52% |
43,99% |
40,03% |
43,38% |
Konsultatif |
21. |
Kota Bandung |
82,22% |
77,34% |
70,27% |
61,56% |
64,25% |
71,13% |
Partisipatif |
22. |
Kota Cirebon |
49,32% |
48,72% |
48,26% |
48,65% |
44,37% |
47,86% |
Konsultatif |
23. |
Kota Bekasi |
71,90% |
75,65% |
73,36% |
72,04% |
83,95% |
75,38% |
Delegatif |
24. |
Kota Depok |
74,80% |
61,78% |
73,51% |
71,80% |
89,76% |
74,33% |
Partisipatif |
25. |
Kota Cimahi |
40,92% |
36,57% |
38,77% |
41,36% |
38,47% |
39,22% |
Konsultatif |
26. |
Kota Tasikmalaya |
24,16% |
18,76% |
18,49% |
22,84% |
29,38% |
22,73% |
Instruktif |
27. |
Kota Banjar |
18,28% |
17,45% |
14,86% |
19,95% |
21,09% |
18,32% |
Instruktif |
|
RATA-RATA |
38,52% |
33,58% |
34,09% |
34,24% |
37,29% |
35,54% |
Konsultatif |
|
MINIMUM |
7,32% |
7,92% |
8,60% |
7,55% |
12,06% |
10,83% |
Instruktif |
|
MAKSIMUM |
86,51% |
77,34% |
82,52% |
83,40% |
89,76% |
81,63% |
Delegatif |
Sumber : BPK RI-Perwakilan Provinsi Jawa Barat, (Diolah Peneliti, 2023)
Sumber : BPK RI-Perwakilan
Provinsi Jawa Barat, (Diolah Peneliti, 2023)
Grafik 1. Rata-Rata Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat Periode 2017-2021
Berdasarkan tabel 10, dapat dilihat bahwa rata-rata
kemandirian keuangan daerah pada pemerintah daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi
Jawa Barat tahun anggaran 2017-2021 memiliki rata-rata 35,54% masuk ke dalam
pola hubungan Konsultatif dimana pemerintah daerah sudah dianggap sedikit lebih
sanggup dalam menyelenggarakan otonomi daerah sehingga campur tangan dari
pemerintah pusat sudah mulai menurun namun pemerintah pusat masih memberikan
arahan dan bimbingan, tetapi lebih bersifat konsultatif. Dari 27 kabupaten/kota
Se-Provinsi Jawa Barat terdapat 14 daerah dengan kriteria Instruktif, 7 daerah
kriteria Konsultatif, 4 daerah kriteria Partisipatif, dan 2 daerah dengan
kriteria Delegatif. Rata-rata persentase terbesar berada di daerah Kabupaten Bekasi mencapai
81,63% sedangkan persentase terendah pada daerah Kabupaten Ciamis mencapai
10,83%.
Berdasarkan grafik 1, menunjukkan bahwa rata-rata
rasio kemandirian keuangan daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat tahun
2017-2021 mengalami fluktuatif dan secara garis trend cenderung menurun. Pada
tahun 2017 kemandirian keuangan daerah sebesar 38,52%. Pada tahun 2018
mengalami penurunan sebesar (-4,94%) dengan persentase kemandirian sebesar
33,58%. Pada tahun 2019 mengalami peningkatan sebesar 0,51% dengan persentase
kemandirian sebesar 34,09%. Pada tahun 2020 mengalami peningkatan sebesar 0,05%
dengan persentase kemandirian sebesar 34,24%. Pada tahun 2021 mengalami
peningkatan sebesar 3,05% dengan persentase kemandirian sebesar 37,29%. Selama
lima tahun rata-rata persentase rasio kemandirian keuangan daerah terbesar pada
tahun 2017 mencapai 38,52% dan persentase terendah pada tahun 2019 mencapai
34,09%.
b. Rasio Ketergantungan
Keuangan Daerah
Tabel 11. Capaian Rata-Rata Rasio Ketergantungan Keuangan
Daerah Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat Tahun Anggaran
2017-2021
Pemerintah
Daerah |
2017 |
2018 |
2019 |
2020 |
2021 |
Rata-Rata |
Kriteria |
|
1. |
Kabupaten Bogor |
54,22% |
55,62% |
55,26% |
53,68% |
51,83% |
54,12% |
Sangat Tinggi |
2. |
Kabupaten Sukabumi |
77,75% |
77,87% |
77,24% |
74,85% |
76,53% |
76,85% |
Sangat Tinggi |
3. |
Kabupaten Cianjur |
63,89% |
61,37% |
66,54% |
77,14% |
73,10% |
68,41% |
Sangat Tinggi |
4. |
Kabupaten Bandung |
69,71% |
69,70% |
75,18% |
66,87% |
67,47% |
69,79% |
Sangat Tinggi |
5. |
Kabupaten Garut |
81,10% |
83,60% |
83,67% |
82,25% |
80,79% |
82,28% |
Sangat Tinggi |
6. |
Kabupaten Tasikmalaya |
87,89% |
88,16% |
87,50% |
86,03% |
82,57% |
86,43% |
Sangat Tinggi |
7. |
Kabupaten Ciamis |
86,97% |
86,53% |
87,10% |
85,54% |
84,85% |
86,20% |
Sangat Tinggi |
8. |
Kabupaten Kuningan |
70,23% |
70,30% |
67,88% |
84,34% |
82,66% |
75,08% |
Sangat Tinggi |
9. |
Kabupaten Cirebon |
75,12% |
74,90% |
78,53% |
74,51% |
73,59% |
75,33% |
Sangat Tinggi |
10. |
Kabupaten Majalengka |
80,87% |
75,37% |
80,67% |
80,56% |
79,85% |
79,46% |
Sangat Tinggi |
11. |
Kabupaten Sumedang |
77,90% |
79,90% |
80,71% |
79,82% |
78,77% |
79,42% |
Sangat Tinggi |
12. |
Kabupaten Indramayu |
66,26% |
66,20% |
60,74% |
63,87% |
77,72% |
66,96% |
Sangat Tinggi |
13. |
Kabupaten Subang |
79,49% |
80,20% |
79,14% |
78,69% |
77,58% |
79,02% |
Sangat Tinggi |
14. |
Kabupaten Purwakarta |
77,99% |
81,12% |
67,57% |
67,47% |
73,41% |
73,51% |
Sangat Tinggi |
15. |
Kabupaten Karawang |
64,98% |
65,75% |
63,60% |
63,19% |
61,19% |
63,74% |
Sangat Tinggi |
16. |
Kabupaten Bekasi |
53,53% |
53,88% |
52,11% |
51,43% |
52,27% |
52,65% |
Sangat Tinggi |
17. |
Kabupaten Bandung Barat |
73,71% |
77,54% |
76,00% |
73,91% |
73,99% |
75,03% |
Sangat Tinggi |
18. |
Kabupaten Pangandaran |
90,35% |
79,69% |
67,68% |
88,73% |
83,74% |
82,04% |
Sangat Tinggi |
19. |
Kota Bogor |
56,50% |
55,97% |
56,86% |
58,29% |
55,32% |
56,59% |
Sangat Tinggi |
20. |
Kota Sukabumi |
63,10% |
64,99% |
66,03% |
65,48% |
69,15% |
65,75% |
Sangat Tinggi |
21. |
Kota Bandung |
54,68% |
55,97% |
56,82% |
59,40% |
58,54% |
57,08% |
Sangat Tinggi |
22. |
Kota Cirebon |
64,75% |
63,53% |
58,31% |
55,00% |
67,11% |
61,74% |
Sangat Tinggi |
23. |
Kota Bekasi |
58,14% |
54,70% |
55,82% |
55,85% |
52,39% |
55,38% |
Sangat Tinggi |
24. |
Kota Depok |
56,84% |
58,34% |
54,35% |
55,30% |
50,42% |
55,05% |
Sangat Tinggi |
25. |
Kota Cimahi |
63,32% |
69,60% |
64,95% |
62,29% |
69,28% |
65,89% |
Sangat Tinggi |
26. |
Kota Tasikmalaya |
80,54% |
81,20% |
81,51% |
78,16% |
74,62% |
79,21% |
Sangat Tinggi |
27. |
Kota Banjar |
84,55% |
83,23% |
85,05% |
76,85% |
80,46% |
82,03% |
Sangat Tinggi |
|
RATA-RATA |
70,90% |
70,93% |
69,88% |
70,35% |
70,71% |
70,56% |
Sangat Tinggi |
|
MINIMUM |
53,53% |
53,88% |
52,11% |
51,43% |
50,42% |
52,65% |
Sangat Tinggi |
|
MAKSIMUM |
90,35% |
88,16% |
87,50% |
88,73% |
84,85% |
86,43% |
Sangat Tinggi |
Sumber : BPK RI-Perwakilan Provinsi Jawa Barat, (Diolah Peneliti, 2023)
Sumber : BPK RI-Perwakilan
Provinsi Jawa Barat, (Diolah Peneliti, 2023)
Grafik 2. Rata-Rata Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat Periode 2017-2021
Berdasarkan tabel 11, dapat dilihat
rata-rata rasio ketergantungan keuangan daerah pada pemerintah daerah
Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat tahun anggaran 2017-2021 memiliki
rata-rata 70,56% masuk ke dalam kriteria Sangat Tinggi yang menggambarkan bahwa
pemerintah daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat sangat bergantung
terhadap pendapatan transfer dari Pemerintah Pusat/Provinsi. Dari 27 Kabupaten
dan Kota di Provinsi Jawa Barat, semuanya masuk ke dalam kategori sangat
tinggi. Rata-rata persentase
terbesar berada di daerah Kabupaten Tasikmalaya mencapai 86,43%
sedangkan persentase terendah berada di daerah Kabupaten Bogor mencapai 54,12%.
Berdasarkan grafik 2, terlihat
perkembangan rasio ketergantungan keuangan daerah mengalami fluktuatif secara
garis trend cenderung menurun. Pada tahun 2017 ketergantungan keuangan daerah
sebesar 70,90%. Pada tahun 2018 mengalami peningkatan sebesar 0,03% dari tahun
sebelumnya dengan persentase ketergantungan sebesar 70,90%. Pada tahun 2019
mengalami penurunan yang signifikan sebesar (-1,05%) dari tahun sebelumnya.
Pada tahun 2020 meningkat sebesar 0,47% dari tahun sebelumnya dengan persentase
ketergantungan sebesar 70,35%. Pada tahun 2021 meningkat sebesar 0,35% dari
tahun sebelumnya dengan persentase ketergantungan sebesar 70,71%. Selama lima tahun terakhir secara rata-rata persentase
terbesar pada tahun 2018 mencapai 70,93% dan terendah pada tahun 2019 mencapai
69,88%.
c. Rasio Desentralisasi Fiskal
Rasio
Desentralisasi Fiskal (DDF) memberikan gambaran seberapa besar capaian
kontribusi PAD terhadap Total Pendapatan Daerah (TPD) pada pemerintah daerah.
Rasio ini dihasilkan dari angka realisasi TPD dibagi angka realisasi PAD. Hasil
perhitungan rasio DDF sebagai tabel berikut :
Tabel 12. Capaian Rata-Rata Rasio
Desentralisasi Fiskal Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat Tahun Anggaran 2017-2021
No |
Pemerintah
Daerah |
2017 |
2018 |
2019 |
2020 |
2021 |
Rata-Rata |
Kriteria |
1. |
Kabupaten Bogor |
43,61% |
38,28% |
38,84% |
36,56% |
41,23% |
39,70% |
Cukup |
2. |
Kabupaten Sukabumi |
21,32% |
15,03% |
15,25% |
16,83% |
16,17% |
16,92% |
Kurang |
3. |
Kabupaten Cianjur |
14,22% |
14,18% |
15,73% |
15,02% |
19,55% |
15,74% |
Kurang |
4. |
Kabupaten Bandung |
18,44% |
17,63% |
17,89% |
19,07% |
19,05% |
18,42% |
Kurang |
5. |
Kabupaten Garut |
15,65% |
9,79% |
10,15% |
10,55% |
11,97% |
11,62% |
Kurang |
6. |
Kabupaten Tasikmalaya |
12,11% |
6,98% |
7,52% |
8,51% |
11,57% |
9,34% |
Sangat Kurang |
7. |
Kabupaten Ciamis |
8,64% |
9,12% |
8,96% |
9,70% |
10,23% |
9,33% |
Sangat Kurang |
8. |
Kabupaten Kuningan |
14,69% |
11,99% |
10,97% |
10,76% |
12,38% |
12,16% |
Kurang |
9. |
Kabupaten Cirebon |
21,70% |
15,88% |
15,94% |
16,35% |
17,21% |
17,41% |
Kurang |
10. |
Kabupaten Majalengka |
19,13% |
15,97% |
14,84% |
15,15% |
15,20% |
16,06% |
Kurang |
11. |
Kabupaten Sumedang |
20,81% |
15,72% |
15,10% |
15,30% |
16,58% |
16,70% |
Kurang |
12. |
Kabupaten Indramayu |
17,61% |
12,58% |
11,61% |
15,23% |
15,76% |
14,56% |
Kurang |
13. |
Kabupaten Subang |
20,31% |
14,11% |
15,21% |
15,41% |
15,69% |
16,15% |
Kurang |
14. |
Kabupaten Purwakarta |
21,96% |
17,90% |
19,37% |
19,48% |
21,46% |
20,04% |
Sedang |
15. |
Kabupaten Karawang |
33,74% |
27,92% |
28,99% |
29,80% |
33,36% |
30,76% |
Cukup |
16. |
Kabupaten Bekasi |
46,31% |
40,32% |
43,00% |
42,89% |
42,29% |
42,96% |
Baik |
17. |
Kabupaten Bandung Barat |
22,40% |
16,23% |
18,19% |
18,37% |
19,28% |
18,90% |
Kurang |
18. |
Kabupaten Pangandaran |
6,61% |
9,78% |
7,79% |
6,70% |
13,14% |
8,80% |
Sangat Kurang |
19. |
Kota Bogor |
42,73% |
39,17% |
39,69% |
35,91% |
40,66% |
39,63% |
Cukup |
20. |
Kota Sukabumi |
29,52% |
29,61% |
26,76% |
28,80% |
27,68% |
28,47% |
Sedang |
21. |
Kota Bandung |
44,96% |
43,29% |
39,93% |
36,57% |
37,61% |
40,47% |
Baik |
22. |
Kota Cirebon |
31,93% |
30,95% |
28,14% |
26,76% |
29,78% |
29,51% |
Sedang |
23. |
Kota Bekasi |
41,80% |
41,38% |
40,95% |
40,24% |
43,98% |
41,67% |
Baik |
24. |
Kota Depok |
42,52% |
36,04% |
39,95% |
39,71% |
45,26% |
40,70% |
Baik |
25. |
Kota Cimahi |
25,91% |
25,45% |
25,18% |
25,77% |
26,65% |
25,79% |
Sedang |
26. |
Kota Tasikmalaya |
19,46% |
15,24% |
15,07% |
17,85% |
21,92% |
17,91% |
Kurang |
27. |
Kota Banjar |
15,45% |
14,52% |
12,64% |
15,33% |
16,97% |
14,98% |
Kurang |
|
RATA-RATA |
24,95% |
21,67% |
21,62% |
21,80% |
23,80% |
22,77% |
Sedang |
|
MINIMUM |
6,61% |
6,98% |
7,52% |
6,70% |
10,23% |
8,80% |
Sangat Rendah |
|
MAKSIMUM |
46,31% |
43,29% |
43,00% |
42,89% |
45,26% |
42,96% |
Tinggi |
Sumber : BPK RI-Perwakilan Provinsi Jawa
Barat, (Diolah Peneliti, 2023)
Sumber : BPK RI-Perwakilan Provinsi Jawa
Barat, (Diolah Peneliti, 2023)
Grafik 3. Rata-Rata Rasio Desentralisasi Fiskal Pemerintah
Daerah
Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat Periode 2017-2021
Berdasarkan
tabel 12, dapat dilihat bahwa rata-rata desentralisasi fiskal pemerintah daerah
Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat tahun anggaran 2017-2021 memiliki
rata-rata mencapai 22,77% dengan kategori Sedang, hal ini menggambarkan bahwa
pemerintah daerah dalam mengelola PAD dari total pendapatan daerah kemampuannya
masih sedang. Dari 27 Kabupaten dan Kota terdapat 3 daerah dengan kriteria
sangat kurang, 13 dengan kriteria kurang, 4 daerah kriteria sedang, 3 daerah
kriteria cukup, 4 daerah kriteria baik, dan tidak ada daerah dengan kriteria
sangat baik. Rata-rata persentase
terbesar berada di daerah Kota Bekasi yang mencapai 41,67% dan daerah
dengan rata-rata persentase terendah berada di Kabupaten Pangandaran mencapai
8,80%.
Berdasarkan
grafik 3, dapat diketahui perkembangan rasio desentralisasi fiskal pemerintah
daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat periode 2017-2021 mengalami
penurunan dan kenaikan. Secara garis
trend rasio desentralisasi fiskal pada Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat
cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 2017 rasio desentralisasi fiskal
Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat mencapai 24,95%. Pada tahun 2018
mengalami penurunan sebesar (-3.28%) dengan desentralisasi mencapai 21,67%.
Pada tahun 2019 mengalami penurunan kembali sebesar (-0,74%) dengan
desentralisasi mencapai 21,62%. Pada tahun 2020 mengalami peningkatan sebesar
7,55% dengan desentralisasi mencapai 21,80%. Pada tahun 2021 mengalami
peningkatan signifikan dari tahun sebelumnya sebesar (-1,28%) dengan
desentralisasi mencapai 23,80%. Selama
lima tahun terakhir rata-rata rasio desentralisasi fiskal Kabupaten/Kota
Se-Provinsi Jawa Barat tertinggi berada pada tahun 17 mencapai 24,95% sedangkan
terendah pada tahun 2019 mencapai 21,62%.
d. Rasio Efektivitas PAD
Rasio efektivitas PAD mampu
memberikan gambaran mengenai seberapa besar capaian dari kapasitas pemerintah
dalam mengelola penerimaan PAD sesuai dengan besaran yang telah dianggarkan
pada awal penganggaran APBD.
Tabel 13. Capaian Rata-Rata Rasio Efektivitas PAD Pemerintah
Daerah
Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat Tahun Anggaran 2017-2021
Pemerintah
Daerah |
2017 |
2018 |
2019 |
2020 |
2021 |
Rata-Rata |
Kriteria |
|
1. |
Kabupaten Bogor |
133,26% |
112,89% |
118,11% |
114,11% |
114,30% |
118,54% |
Sangat Efektif |
2. |
Kabupaten Sukabumi |
102,93% |
103,62% |
103,49% |
105,86% |
103,78% |
103,94% |
Sangat Efektif |
3. |
Kabupaten Cianjur |
96,37% |
95,20% |
96,18% |
96,07% |
107,41% |
98,25% |
Efektif |
4. |
Kabupaten Bandung |
114,86% |
111,12% |
109,38% |
114,03% |
108,51% |
111,58% |
Sangat Efektif |
5. |
Kabupaten Garut |
96,82% |
92,24% |
97,07% |
106,23% |
113,77% |
101,23% |
Sangat Efektif |
6. |
Kabupaten Tasikmalaya |
97,20% |
100,19% |
107,80% |
104,42% |
87,59% |
99,44% |
Efektif |
7. |
Kabupaten Ciamis |
104,06% |
99,46% |
108,73% |
105,56% |
114,56% |
106,47% |
Sangat Efektif |
8. |
Kabupaten Kuningan |
92,95% |
88,03% |
86,94% |
90,43% |
96,02% |
90,87% |
Efektif |
9. |
Kabupaten Cirebon |
105,80% |
102,75% |
103,59% |
109,13% |
109,32% |
106,12% |
Sangat Efektif |
10. |
Kabupaten Majalengka |
90,62% |
100,56% |
91,49% |
95,02% |
88,70% |
93,28% |
Efektif |
11. |
Kabupaten Sumedang |
105,67% |
93,07% |
88,13% |
98,87% |
96,65% |
96,48% |
Efektif |
12. |
Kabupaten Indramayu |
98,69% |
94,40% |
97,89% |
109,73% |
104,59% |
101,06% |
Sangat Efektif |
13. |
Kabupaten Subang |
105,89% |
99,55% |
95,12% |
98,77% |
80,44% |
95,95% |
Efektif |
14. |
Kabupaten Purwakarta |
56,65% |
89,12% |
84,07% |
91,17% |
88,05% |
81,81% |
Cukup Efektif |
15. |
Kabupaten Karawang |
94,12% |
86,71% |
99,79% |
119,22% |
115,74% |
103,12% |
Sangat Efektif |
16. |
Kabupaten Bekasi |
104,81% |
104,75% |
113,62% |
109,49% |
99,67% |
106,47% |
Sangat Efektif |
17. |
Kabupaten Bandung Barat |
116,60% |
108,98% |
88,53% |
109,52% |
92,87% |
103,30% |
Sangat Efektif |
18. |
Kabupaten Pangandaran |
85,18% |
84,71% |
79,48% |
99,71% |
116,55% |
93,13% |
Efektif |
19. |
Kota Bogor |
106,58% |
102,79% |
104,45% |
117,60% |
117,57% |
109,80% |
Sangat Efektif |
20. |
Kota Sukabumi |
99,40% |
102,21% |
91,00% |
101,65% |
111,26% |
101,10% |
Sangat Efektif |
21. |
Kota Bandung |
85,50% |
75,69% |
78,35% |
91,12% |
91,13% |
84,36% |
Cukup Efektif |
22. |
Kota Cirebon |
94,56% |
91,51% |
85,00% |
87,80% |
77,53% |
87,28% |
Cukup Efektif |
23. |
Kota Bekasi |
84,51% |
80,26% |
72,99% |
97,79% |
101,76% |
87,46% |
Cukup Efektif |
24. |
Kota Depok |
112,29% |
105,19% |
113,57% |
106,49% |
113,88% |
110,28% |
Sangat Efektif |
25. |
Kota Cimahi |
123,45% |
102,50% |
101,90% |
113,21% |
116,87% |
111,59% |
Sangat Efektif |
26. |
Kota Tasikmalaya |
94,59% |
94,18% |
97,75% |
105,34% |
98,79% |
98,13% |
Efektif |
27. |
Kota Banjar |
95,18% |
88,47% |
75,53% |
95,63% |
92,07% |
89,38% |
Cukup Efektif |
|
RATA-RATA |
99,95% |
96,67% |
95,93% |
103,48% |
102,20% |
99,64% |
Efektif |
|
MINIMUM |
56,65% |
75,69% |
72,99% |
87,80% |
77,53% |
81,81% |
Cukup Efektif |
|
MAKSIMUM |
133,2% |
112,8% |
118,11% |
119,22% |
117,57% |
118,54% |
Sangat Efektif |
Sumber : BPK
RI-Perwakilan Provinsi Jawa Barat, (Diolah Peneliti, 2023)
Sumber : BPK
RI-Perwakilan Provinsi Jawa Barat, (Diolah Peneliti, 2023)
Grafik 4. Rata-Rata Rasio Efektivitas PAD Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat Periode 2017-2021
Berdasarkan tabel 13, terlihat bahwa dapat dilihat
bahwa rata-rata efektivitas PAD Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat selama
tahun anggaran 2017-2021 adalah 99.64%, persentase tersebut masuk ke kriteria
Efektif yang artinya Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat efektif dalam
menggunakan PAD yang dianggarkan. Dari 27 kabupaten dan kota di Provinsi Jawa
Barat terdapat 14 daerah dengan kategori sangat efektif, 8 daerah kategori
efektif, 5 daerah dengan kategori cukup efektif. Rata-rata persentase tertinggi
berada di daerah Kabupaten Bogor mencapai 118,54% dan persentase terendah
berada di daerah Kabupaten Purwakarta mencapai 81,81%.
Berdasarkan grafik 4, dapat diketahui perkembangan rasio efektivitas PAD
Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat periode 2017-2021 cenderung mengalami
penurunan dan kenaikan. Secara garis trend rasio efektivitas PAD pada
Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat cenderung mengalami peningkatan. Pada
tahun 2017 rasio Efektivitas PAD mencapai 99,95%. Pada tahun 2018 mengalami
penurunan sebesar (-3,28%) dengan efektivitas PAD mencapai 96,67%. Pada tahun
2019 mengalami penurunan sebesar (-0,74%) dengan persentase efektivitas PAD
mencapai 95,93%. Pada tahun 2020 mengalami peningkatan signifikan sebesar 7,55%
dengan rasio efektivitas PAD mencapai 103,48%. Pada tahun 2021 mengalami
penurunan sebesar (-1,28%) dengan rasio efektivitas PAD mencapai 102,20%.
Selama lima tahun terakhir rata-rata rasio efektivitas PAD Kabupaten/Kota
Se-Provinsi Jawa Barat tertinggi berada pada tahun 2020 mencapai 103,48% dan
terendah pada tahun 2019 mencapai 95,93%.
e. Rasio Efisiensi Belanja
Daerah
Rasio efisiensi belanja daerah memberikan gambaran
mengenai capaian pemerintah daerah dalam melakukan penghematan terhadap alokasi
anggaran belanja. Hasil dari analisis rasio efisiensi belanja, dapat memberikan
informasi mengenai belanja daerah pada tahun anggaran tertentu apakah lebih
efisien atau tidak.
Tabel 14. Capaian Rata-Rata Rasio Efisiensi Belanja Daerah
Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat Tahun Anggaran 2017-2021
No |
Pemerintah Daerah |
2017 |
2018 |
2019 |
2020 |
2021 |
Rata-Rata |
Kriteria |
1. |
Kabupaten Bogor |
92,51% |
92,52% |
92,53% |
94,43% |
95,50% |
93,50% |
Kurang
Efisien |
2. |
Kabupaten Sukabumi |
91,28% |
93,50% |
95,20% |
95,47% |
96,18% |
94,33% |
Kurang
Efisien |
3. |
Kabupaten Cianjur |
93,88% |
93,57% |
91,66% |
92,57% |
93,32% |
93,00% |
Kurang
Efisien |
4. |
Kabupaten Bandung |
89,09% |
88,71% |
93,26% |
91,92% |
89,13% |
90,42% |
Kurang
Efisien |
5. |
Kabupaten Garut |
93,96% |
94,04% |
91,69% |
93,34% |
94,14% |
93,43% |
Kurang
Efisien |
6. |
Kabupaten Tasikmalaya |
96,43% |
120,51% |
92,86% |
93,22% |
93,59% |
99,32% |
Kurang
Efisien |
7. |
Kabupaten Ciamis |
95,90% |
99,03% |
90,54% |
95,56% |
92,51% |
94,71% |
Kurang
Efisien |
8. |
Kabupaten Kuningan |
97,18% |
96,07% |
95,05% |
94,84% |
96,11% |
95,85% |
Kurang
Efisien |
9. |
Kabupaten Cirebon |
93,33% |
91,97% |
92,29% |
89,09% |
92,62% |
91,86% |
Kurang
Efisien |
10. |
Kabupaten Majalengka |
91,11% |
93,31% |
93,78% |
94,24% |
95,67% |
93,62% |
Kurang
Efisien |
11. |
Kabupaten Sumedang |
96,08% |
93,97% |
92,99% |
92,98% |
91,18% |
93,44% |
Kurang
Efisien |
12. |
Kabupaten Indramayu |
95,11% |
95,12% |
91,45% |
94,08% |
91,57% |
93,47% |
Kurang
Efisien |
13. |
Kabupaten Subang |
93,60% |
95,39% |
94,08% |
86,30% |
94,34% |
92,74% |
Kurang
Efisien |
14. |
Kabupaten Purwakarta |
82,48% |
89,97% |
94,29% |
92,50% |
94,87% |
90,82% |
Kurang
Efisien |
15. |
Kabupaten Karawang |
89,53% |
91,50% |
93,70% |
93,91% |
91,38% |
92,00% |
Kurang
Efisien |
16. |
Kabupaten Bekasi |
83,33% |
83,91% |
86,13% |
83,49% |
85,48% |
84,47% |
Cukup
Efisien |
17. |
Kabupaten Bandung Barat |
91,82% |
92,13% |
89,21% |
78,58% |
85,70% |
87,49% |
Cukup
Efisien |
18. |
Kabupaten Pangandaran |
95,61% |
96,32% |
90,43% |
78,31% |
80,62% |
88,26% |
Cukup
Efisien |
19. |
Kota Bogor |
86,45% |
90,60% |
87,91% |
89,13% |
92,83% |
89,38% |
Cukup
Efisien |
20. |
Kota Sukabumi |
87,79% |
87,11% |
87,27% |
91,92% |
95,08% |
89,84% |
Cukup
Efisien |
21. |
Kota Bandung |
82,06% |
82,42% |
85,70% |
84,71% |
86,98% |
84,38% |
Cukup
Efisien |
22. |
Kota Cirebon |
90,00% |
90,68% |
91,24% |
93,70% |
80,60% |
89,24% |
Cukup
Efisien |
23. |
Kota Bekasi |
87,27% |
87,03% |
78,76% |
83,13% |
88,45% |
84,93% |
Cukup
Efisien |
24. |
Kota Depok |
82,57% |
78,47% |
85,33% |
87,14% |
88,87% |
84,48% |
Cukup
Efisien |
25. |
Kota Cimahi |
81,82% |
88,02% |
89,64% |
81,35% |
79,80% |
84,12% |
Cukup
Efisien |
26. |
Kota Tasikmalaya |
92,85% |
96,67% |
95,47% |
97,34% |
96,97% |
95,86% |
Kurang
Efisien |
27. |
Kota Banjar |
88,92% |
87,86% |
84,80% |
91,49% |
93,88% |
89,39% |
Cukup
Efisien |
|
RATA-RATA |
90,44% |
92,24% |
90,64% |
90,18% |
91,01% |
90,90% |
Kurang
Efisien |
|
MINIMUM |
81,82% |
78,47% |
78,76% |
78,31% |
79,80% |
84,12% |
Cukup
Efisien |
|
MAKSIMUM |
97,18% |
120,51% |
95,47% |
97,34% |
96,97% |
99,32% |
Kurang
Efisien |
Sumber : BPK RI-Perwakilan Provinsi Jawa Barat, (Diolah Peneliti, 2023)
Sumber : BPK
RI-Perwakilan Provinsi Jawa Barat, (Diolah Peneliti, 2023)
Grafik 5. Rata-Rata Rasio Efisiensi Belanja Daerah Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat Tahun Anggaran 2017-2021
Berdasarkan
tabel 14, dapat dilihat
bahwa rata-rata rasio efisiensi belanja daerah pemerintah daerah Kabupaten/Kota
Se-Provinsi Jawa Barat tahun anggaran 2017-2021 memiliki rata-rata mencapai
90,90%. Menurut (Mahmudi, 2019) pemerintah
daerah dinilai telah melakukan efisiensi jika rasio nya kurang dari 100%,
sebaliknya apabila melebihi maka mengindikasikan terjadinya pemborosan anggaran
dan mengatakan bahwa penyerapan anggaran yang terlalu rendah tidak baik karena
mengindikasikan kelemahan dalam perencanaan anggaran. Secara rata-rata persentase efisiensi belanja daerah Kabupaten/Kota
Se-Provinsi Jawa Barat mencapai 90,90% masuk ke dalam kategori Kurang
Efisien yang artinya Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat sudah mampu
merealisasikan anggaran dengan baik namun kurang efisien. Dari 27 Kabupaten dan Kota
terdapat 16 daerah kategori kurang efisien dan 11 daerah cukup efisien.
Rata-rata persentase terbesar berada di daerah Kabupaten Tasikmalaya sebesar 99,32%
dan persentase terendah berada di Kota Cimahi sebesar 84,12%.
Berdasarkan
grafik 5, dapat diketahui perkembangan secara rata-rata rasio efisiensi belanja
daerah mengalami fluktuatif dan secara garis trend cenderung menurun.
Pada tahun 2017 rasio efisiensi belanja daerah mencapai 90,44%. Pada tahun 2018
mengalami peningkatan sebesar 1,80% dengan efisiensi belanja daerah mencapai
92,24%. Pada tahun 2019 mengalami penurunan sebesar (-1,60%) dengan efisiensi belanja
daerah mencapai 90,64%. Pada tahun 2020 mengalami penurunan sebesar (-0,46%)
dengan efisiensi belanja daerah mencapai 90,18%. Pada tahun 2021 mengalami
peningkatan sebesar 0,83% dengan efisiensi belanja daerah mencapai 91,01%. Selama lima tahun terakhir rasio efisiensi belanja
daerah tertinggi pada tahun 2018 mencapai 92,2% dan terendah pada tahun 2020
mencapai 90,18%.
2) Hasil Kemampuan Keuangan
Daerah
Rasio Share
Rasio Share merupakan rasio yang dapat digunakan untuk melihat kapasitas kemampuan
keuangan daerah dalam membiayai kegiatan rutin dan kegiatan pembangunan. Dengan
rasio ini dapat mengetahui share atau kontribusi
PAD yang diperoleh daerah dalam membiayai kebutuhan daerahnya. Semakin besar share yang diperoleh, menunjukkan bahwa daerah telah dapat mandiri dalam
menjalankan otonomi dan tidak tergantung pada bantuan pusat maupun pihak lain
dalam memenuhi kebutuhan daerahnya. Dapat dikatakan bahwa daerah yang memiliki
kinerja keuangan yang baik dapat mampu membiayai pengeluarannya sendiri dengan
mengandalkan pendapatan dari PAD. Perhitungan
rasio share dapat dilakukan dengan melakukan perbandingan antara
realisasi pendapatan asli daerah dengan total belanja daerah pada pemerintah
daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat tahun anggaran 2017-2021.
Tabel 15. Capaian Rata-Rata Rasio Share Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat Tahun Anggaran 2017-2021
Pemerintah
Daerah |
2017 |
2018 |
2019 |
2020 |
2021 |
Rata-Rata |
|
1. |
Kabupaten Bogor |
44,24% |
38,26% |
40,68% |
33,43% |
43,20% |
39,96% |
2. |
Kabupaten Sukabumi |
21,76% |
14,78% |
15,18% |
16,41% |
16,67% |
16,96% |
3. |
Kabupaten Cianjur |
14,61% |
14,24% |
15,97% |
14,76% |
20,32% |
15,98% |
4. |
Kabupaten Bandung |
19,07% |
18,13% |
17,73% |
18,64% |
19,93% |
18,70% |
5. |
Kabupaten Garut |
15,84% |
9,90% |
10,59% |
10,38% |
12,06% |
11,75% |
6. |
Kabupaten Tasikmalaya |
11,77% |
7,17% |
7,60% |
8,30% |
11,85% |
9,34% |
7. |
Kabupaten Ciamis |
8,83% |
9,01% |
9,81% |
9,53% |
10,11% |
9,46% |
8. |
Kabupaten Kuningan |
14,62% |
12,09% |
11,37% |
10,68% |
12,54% |
12,26% |
9. |
Kabupaten Cirebon |
21,66% |
15,89% |
15,89% |
16,69% |
17,26% |
17,48% |
10. |
Kabupaten Majalengka |
19,47% |
16,12% |
14,60% |
15,22% |
15,03% |
16,09% |
11. |
Kabupaten Sumedang |
21,10% |
16,07% |
15,34% |
15,49% |
17,34% |
17,07% |
12. |
Kabupaten Indramayu |
17,48% |
12,92% |
12,00% |
15,24% |
16,27% |
14,78% |
13. |
Kabupaten Subang |
19,70% |
13,67% |
15,17% |
15,88% |
15,85% |
16,05% |
14. |
Kabupaten Purwakarta |
23,35% |
19,21% |
18,43% |
19,59% |
21,51% |
20,42% |
15. |
Kabupaten Karawang |
33,72% |
27,10% |
29,02% |
31,26% |
35,37% |
31,30% |
16. |
Kabupaten Bekasi |
47,70% |
41,41% |
43,97% |
43,51% |
41,08% |
43,54% |
17. |
Kabupaten Bandung Barat |
23,62% |
15,97% |
17,96% |
17,61% |
18,53% |
18,74% |
18. |
Kabupaten Pangandaran |
6,39% |
9,57% |
7,86% |
6,72% |
12,98% |
8,71% |
19. |
Kota Bogor |
43,56% |
37,90% |
40,18% |
37,03% |
40,76% |
39,89% |
20. |
Kota Sukabumi |
30,94% |
30,55% |
25,30% |
28,60% |
28,67% |
28,81% |
21. |
Kota Bandung |
46,53% |
42,06% |
40,37% |
38,17% |
38,69% |
41,16% |
22. |
Kota Cirebon |
31,50% |
30,88% |
27,36% |
27,62% |
30,05% |
29,48% |
23. |
Kota Bekasi |
39,91% |
40,01% |
43,86% |
42,80% |
44,47% |
42,21% |
24. |
Kota Depok |
45,31% |
38,32% |
40,02% |
37,98% |
47,04% |
41,73% |
25. |
Kota Cimahi |
28,66% |
22,50% |
24,04% |
29,30% |
27,34% |
26,37% |
26. |
Kota Tasikmalaya |
19,03% |
14,62% |
15,15% |
18,03% |
22,12% |
17,79% |
27. |
Kota Banjar |
14,16% |
12,70% |
10,01% |
14,65% |
15,81% |
13,47% |
|
RATA-RATA |
25,35% |
21,52% |
21,68% |
21,98% |
24,18% |
22,94% |
|
MINIMUM |
6,39% |
7,17% |
7,60% |
6,72% |
10,11% |
8,71% |
|
MAKSIMUM |
47,70% |
42,06% |
43,97% |
43,51% |
47,04% |
43,54% |
Sumber : BPK
RI-Perwakilan Provinsi Jawa Barat, (Diolah Peneliti, 2023)
Sumber : BPK RI-Perwakilan Provinsi Jawa Barat, (Diolah Peneliti, 2023)
Grafik 6. Rata-Rata Rasio Share Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat Tahun Anggaran 2017-2021
Dari data pada
tabel 15 diatas, dapat diketahui rata-rata rasio share seluruh
pemerintah daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat selama tahun anggaran
2017-2021 adalah sebesar 22,94%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa secara
keseluruhan, keuangan Kabupaten dan Kota keuangan daerah masih cenderung lemah,
dimana peran PAD yang diperoleh daerah dalam membiayai pengeluaran daerah masih
sangatlah rendah. Secara tidak langsung, data diatas juga dapat menunjukkan
tingginya ketergantungan daerah terhadap sumber pendanaan lain selain PAD atau
rendahnya tingkat kemandirian keuangan daerah. Rata-rata persentase tertinggi
berada di daerah Kabupaten Bekasi mencapai 43,54% dan persentase terendah
berada di daerah Kabupaten Pangandaran mencapai 8,71%.
Berdasarkan grafik 6 diatas, dapat diketahui
perkembangan secara rata-rata rasio share mengalami peningkatan setiap
tahunnya namun masih cenderung kecil dan secara garis trend menurun.
Pada tahun 2017 rasio share pemerintah daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi
Jawa Barat sebesar 25,35%. Pada tahun 2018 mengalami penurunan sebesar
(-3,83%). Pada tahun 2019 mengalami peningkatan sebesar 0,16% dengan share sebesar
21,52%. Pada tahun 2020 mengalami peningkatan sebesar 0,30% dengan share sebesar
21,98%. Pada tahun 2021 mengalami peningkatan sebesar 2,20% dengan share sebesar
24,18%. Selama lima tahun rasio share tertinggi pada tahun 2017 mencapai
25,35% dan rasio share terendah berada pada tahun 2018 mencapai 21,52%.
Rasio
Growth
Growth ratio atau rasio pertumbuhan merupakan rasio yang
mengukur seberapa kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan
meningkatkan keberhasilannya yang telah dicapai dari periode ke periode
berikutnya. Dalam penelitian ini mengukur pertumbuhan komponen PAD dalam APBD
sebagai komponen penting dalam mengukur sejauh mana kemampuan keuangan daerah.
Dengan mengetahui sejauh mana pertumbuhan PAD, kemampuan daerah untuk mandiri
dengan mengandalkan potensi daerahnya dapat terlihat, serta informasi tersebut
dapat digunakan sebagai pertimbangan terkait potensi-potensi daerah mana yang
memerlukan perhatian lebih jauh.
Jika hasil rasio growth mengalami peningkatan positif dari tahun ke tahun, maka kinerja
keuangan daerah dapat dikatakan baik. Adapun sebaliknya, jika hasil rasio growth mengalami penurunan atau negatif, maka keuangan daerah termasuk dalam
kategori belum baik. Analisis rasio keuangan growth dihitung dengan membandingkan jumlah Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada
tahun tertentu dengan tahun sebelumnya pada
pemerintah daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat tahun anggaran
2017-2021. Tabel
berikut merupakan hasil capaian growth pada pemerintah daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa
Barat tahun anggaran 2017-2021.
Tabel 16. Capaian Rata-Rata Rasio Growth Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat Tahun Anggaran 2017-2021
No |
Pemerintah Daerah |
2017 |
2018 |
2019 |
2020 |
2021 |
Rata-Rata |
1. |
Kabupaten
Bogor |
32,71% |
-8,13% |
13,11% |
-11,10% |
33,87% |
12,09% |
2. |
Kabupaten
Sukabumi |
45,65% |
-29,28% |
9,63% |
6,63% |
2,37% |
7,00% |
3. |
Kabupaten
Cianjur |
17,59% |
6,47% |
10,30% |
-8,20% |
37,42% |
12,72% |
4. |
Kabupaten
Bandung |
142,67% |
-1,00% |
10,55% |
-0,59% |
7,52% |
31,83% |
5. |
Kabupaten
Garut |
79,66% |
-39,14% |
15,49% |
-2,45% |
18,15% |
14,34% |
6. |
Kabupaten
Tasikmalaya |
85,69% |
-38,13% |
16,05% |
6,10% |
22,60% |
18,46% |
7. |
Kabupaten
Ciamis |
8,95% |
5,17% |
12,65% |
-3,82% |
7,60% |
6,11% |
8. |
Kabupaten
Kuningan |
51,67% |
-21,12% |
-0,60% |
-0,89% |
15,11% |
8,84% |
9. |
Kabupaten
Cirebon |
47,31% |
-24,96% |
9,41% |
-3,64% |
10,38% |
7,70% |
10. |
Kabupaten
Majalengka |
54,97% |
-12,42% |
-2,25% |
11,60% |
-4,91% |
9,40% |
11. |
Kabupaten
Sumedang |
60,00% |
-21,88% |
7,25% |
-4,12% |
5,82% |
9,41% |
12. |
Kabupaten
Indramayu |
64,47% |
-27,30% |
7,19% |
12,14% |
5,01% |
12,30% |
13. |
Kabupaten
Subang |
61,34% |
-31,12% |
15,61% |
-0,40% |
7,17% |
10,52% |
14. |
Kabupaten
Purwakarta |
38,51% |
-21,93% |
13,96% |
1,84% |
20,48% |
10,57% |
15. |
Kabupaten
Karawang |
39,36% |
-16,36% |
15,97% |
-3,91% |
26,74% |
12,36% |
16. |
Kabupaten
Bekasi |
20,54% |
-9,41% |
16,47% |
-2,26% |
6,71% |
6,41% |
17. |
Kabupaten
Bandung Barat |
62,12% |
-30,75% |
25,04% |
-11,98% |
16,34% |
12,15% |
18. |
Kabupaten
Pangandaran |
25,92% |
33,05% |
3,23% |
-8,31% |
66,35% |
24,05% |
19. |
Kota
Bogor |
24,79% |
-6,75% |
11,37% |
-14,16% |
23,31% |
7,71% |
20. |
Kota
Sukabumi |
21,60% |
0,92% |
-8,66% |
3,87% |
0,19% |
3,58% |
21. |
Kota
Bandung |
19,77% |
-0,27% |
-0,91% |
-19,01% |
6,41% |
1,20% |
22. |
Kota
Cirebon |
22,26% |
-0,79% |
-1,41% |
0,69% |
-8,26% |
2,50% |
23. |
Kota
Bekasi |
23,70% |
0,64% |
22,04% |
-16,10% |
23,81% |
10,82% |
24. |
Kota
Depok |
31,28% |
-12,48% |
22,02% |
-6,04% |
26,51% |
12,26% |
25. |
Kota
Cimahi |
34,21% |
-12,74% |
7,74% |
4,08% |
7,83% |
8,23% |
26. |
Kota
Tasikmalaya |
39,41% |
-21,09% |
3,91% |
8,02% |
41,69% |
14,39% |
27. |
Kota
Banjar |
7,85% |
-7,40% |
-13,28% |
18,54% |
6,43% |
2,43% |
|
RATA-RATA |
43,11% |
-12,90% |
8,96% |
-1,61% |
16,02% |
10,72% |
|
MINIMUM |
7,85% |
-39,14% |
-13,28% |
-19,01% |
-8,26% |
1,20% |
|
MAKSIMUM |
142,67% |
33,05% |
25,04% |
18,54% |
66,35% |
31,83% |
Sumber : BPK RI-Perwakilan
Provinsi Jawa Barat, (Diolah Peneliti, 2023)
Sumber : BPK
RI-Perwakilan Provinsi Jawa Barat, (Diolah Peneliti, 2023)
Grafik 7. Rata-Rata Rasio Growth Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
Se-Provinsi Jawa Barat Tahun Anggaran 2017-2021
Dari data pada tabel 16 diatas, diketahui bahwa
perolehan rata-rata rasio growth atau pertumbuhan PAD seluruh
Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat selama tahun anggaran 2017-2021 mencapai
5,85%. Hasil perolehan tersebut menunjukkan bahwa secara keseluruhan keuangan
daerah dalam mempertahankan PAD masih belum baik dan pemerintah daerah belum
mampu menjaga kestabilan perolehan PAD dengan memaksimalkan potensi-potensi
daerahnya. Sehingga daerah masih perlu meningkatkan dan menjaga kestabilan
kinerja keuangan agar tidak mengalami penurunan yang lebih jauh. Rata-rata
persentase terbesar berada di daerah Kabupaten Bandung mencapai 31,83% dan
daerah dengan rata-rata persentase terendah berada di daerah Kota Bandung
mencapai 1,20%.
Berdasarkan grafik 7 diatas, dapat disimpulkan bahwa
rasio growth seluruh Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat selama tahun
anggaran 2017-2021 mengalami pertumbuhan yang fluktuatif dan secara garis trend
cenderung menurun. Pada tahun 2017 rasio growth sebesar 43,11%. Pada
tahun 2018 mengalami penurunan signifikan sebesar (-56,01%) dengan persentase
rasio growth sebesar (-12,90%). Pada tahun 2019 mengalami peningkatan
sebesar 21,86% dengan persentase rasio growth sebesar 8,96%. Pada tahun
2020 mengalami penurun kembali sebesar (-10,57%) dengan persentase rasio growth
sebesar (-1,61%). Pada tahun 2021 mengalami peningkatan sebesar 17,63%
dengan persentase rasio growth sebesar 16,02%. Selama lima tahun
persentase rasio growth tertinggi pada tahun 2019 mencapai 8,96% dan
persentase rasio growth terendah pada tahun 2018 sebesar (-12,90%).
Peta
Kemampuan Keuangan (Kuadran)
Peta kemampuan share and growth merupakan peta
yang dapat menunjukkan seberapa jauh daerah dapat menggali sumber-sumber
keuangan sendiri guna membiayai kebutuhannya tanpa selalu menggantungkan diri
pada dana dari pemerintah pusat. Peta disusun dengan menggunakan metode kuadran
akan menjadi posisi suatu daerah berdasarkan hasil perhitungan share and
growth Dengan mengetahui posisi daerah dalam kuadran, dapat diketahui
bagaimana kekuatan daerah untuk dapat mandiri dalam membiayai kebutuhan
pengeluaran daerahnya. Semakin tinggi posisi daerah dalam kuadran, maka semakin
baik keuangan daerah, dan sebaliknya semakin rendah posisi daerah tersebut maka
kinerja dapat dikatakan belum cukup baik. Hasil analisis share and growth yang
telah dilakukan, maka dapat disusun peta kemampuan keuangan sebagai berikut :
Sumber : Diolah Peneliti, 2023
Grafik 8. Peta Kemampuan Keuangan Daerah Metode Kuadran
Berdasarkan grafik 8, dapat
diketahui kemampuan keuangan selama otonomi daerah melalui peta kemampuan
keuangan daerah, sebagai berikut:
b. Dua daerah yang berada di KUADRAN
II : Kabupaten Bandung dan Kabupaten Pangandaran. Hal tersebut menunjukkan
bahwa pertumbuhan yang rendah, meskipun sebenarnya kabupaten/kota tersebut
sudah mempunyai kemampuan mengembangkan potensi lokal dan PAD-nya memiliki
peluang dalam memberikan kontribusi dalam APBD.
c. Sepuluh daerah yang berada
di KUADRAN III : Kabupaten Bogor, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi,
Kota Bogor, Kota Sukabumi, Kota Bandung, Kota Cirebon, Kota Bekasi, Kota Depok,
Kota Cimahi. Hal tersebut menunjukkan bahwa daerah tersebut memiliki kemampuan
keuangan daerah yang kurang ideal karena PAD memiliki peran yang besar dalam
APBD, namun belum didukung dengan pertumbuhan PAD yang besar. Dengan kata lain
sumbangan PAD terhadap APBD tinggi, namun pertumbuhan PAD rendah.
d. Empat Belas daerah yang
berada di KUADRAN IV : Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten
Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Kuningan, Kabupaten
Cirebon, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Indramayu,
Kabupaten Subang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bandung Barat, Kota
Tasikmalaya, dan Kota Banjar. Hal tersebut menunjukkan bahwa daerah-daerah
tersebut memiliki kemampuan keuangan daerah yang paling buruk. PAD belum
mengambil peran yang besar dalam APBD dan daerah juga belum mempunyai kemampuan
mengembangkan potensi lokal. Dengan kata lain, sumbangan PAD terhadap APBD
rendah dan pertumbuhan PAD rendah.
Indeks Kemampuan Keuangan (IKK)
Indeks Kemampuan Keuangan (IKK) salah satu
indikator yang berfungsi melihat kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola
sumber daya keuangan. IKK sendiri terdiri dari tiga komponen yaitu Indeks
Pertumbuhan (Growth Index), Indeks Elastisitas (Elasticity Index),
dan Indeks Share (Share Index). Dalam pengukuran IKK, nilai maksimum dan
minimum ditetapkan untuk setiap komponen sebagai parameter evaluasi. Berikut
merupakan hasil IKK :
Tabel 17. Capaian Indeks Kemampuan Keuangan Daerah Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat Tahun 2017-2021
Pemerintah Daerah |
Indeks Share |
Indeks Growth |
Indeks Elastisitas |
IKK |
Tingkat Kemampuan Keuangan |
|
1. |
Kabupaten Bogor |
0,6041 |
0,3301 |
0,5320 |
0,4887 |
Tinggi |
2. |
Kabupaten Tasikmalaya |
0,4626 |
0,4926 |
0,4218 |
0,4590 |
Tinggi |
3. |
Kabupaten Indramayu |
0,5076 |
0,4854 |
0,3965 |
0,4632 |
Tinggi |
4. |
Kabupaten Subang |
0,3956 |
0,4397 |
0,4955 |
0,4436 |
Tinggi |
5. |
Kabupaten Purwakarta |
0,4045 |
0,4919 |
0,6431 |
0,5131 |
Tinggi |
6. |
Kabupaten Karawang |
0,5073 |
0,4278 |
0,5375 |
0,4909 |
Tinggi |
7. |
Kabupaten Bandung Barat |
0,3615 |
0,4843 |
0,5589 |
0,4682 |
Tinggi |
8. |
Kota Sukabumi |
0,6226 |
0,5462 |
0,3960 |
0,5216 |
Tinggi |
9. |
Kota Cirebon |
0,5136 |
0,7070 |
0,4160 |
0,5455 |
Tinggi |
10. |
Kota Bekasi |
0,5047 |
0,3923 |
0,5877 |
0,4949 |
Tinggi |
11. |
Kota Depok |
0,4146 |
0,4261 |
0,5714 |
0,4707 |
Tinggi |
12. |
Kota Cimahi |
0,5691 |
0,5296 |
0,3684 |
0,4890 |
Tinggi |
13. |
Kota Banjar |
0,5957 |
0,4587 |
0,2874 |
0,4473 |
Tinggi |
14. |
Kabupaten Sukabumi |
0,3121 |
0,4230 |
0,4516 |
0,3956 |
Sedang |
15. |
Kabupaten Cianjur |
0,2861 |
0,3317 |
0,4555 |
0,3578 |
Sedang |
16. |
Kabupaten Bandung |
0,4414 |
0,4363 |
0,2392 |
0,3723 |
Sedang |
17. |
Kabupaten Garut |
0,3123 |
0,3905 |
0,4801 |
0,3943 |
Sedang |
18. |
Kabupaten Ciamis |
0,4930 |
0,5326 |
0,2245 |
0,4167 |
Sedang |
19. |
Kabupaten Kuningan |
0,4005 |
0,3221 |
0,5098 |
0,4108 |
Sedang |
20. |
Kabupaten Cirebon |
0,2758 |
0,3877 |
0,5421 |
0,4019 |
Sedang |
21. |
Kabupaten Majalengka |
0,3056 |
0,4383 |
0,3672 |
0,3704 |
Sedang |
22. |
Kabupaten Sumedang |
0,3005 |
0,3349 |
0,4684 |
0,3679 |
Sedang |
23. |
Kabupaten Bekasi |
0,1704 |
0,4278 |
0,5776 |
0,3919 |
Sedang |
24. |
Kota Bogor |
0,4375 |
0,4856 |
0,2863 |
0,4031 |
Sedang |
25. |
Kota Bandung |
0,3583 |
0,5776 |
0,3135 |
0,4165 |
Sedang |
26. |
Kota Tasikmalaya |
0,4226 |
0,3453 |
0,3987 |
0,3888 |
Sedang |
27. |
Kabupaten Pangandaran |
0,3511 |
0,3760 |
0,2335 |
0,3202 |
Rendah |
|
RATA-RATA |
0,4197 |
0,4452 |
0,4356 |
0,4335 |
Tinggi |
|
MINIMUM |
0,1704 |
0,3221 |
0,2245 |
0,3202 |
Rendah |
|
MAKSIMUM |
0,6226 |
0,7070 |
0,6431 |
0,5455 |
Tinggi |
Sumber : BPK RI-Perwakilan Provinsi
Jawa Barat, (Diolah Peneliti, 2023)
Berdasarkan tabel 17, menunjukkan capaian
indeks kemampuan keuangan pemerintah daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa
Barat tahun anggaran 2017-2021. Dari 27 Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat
yang memiliki hasil IKK tinggi berkisaran antara 0,44 – 1,00, terdapat 13
daerah yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Indramayu,
Kabupaten Subang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bandung
Barat, Kota Sukabumi, Kota Cirebon, Kota Bekasi, Kota Depok, Kota Cimahi, Kota
Banjar. Daerah yang IKK sedang berkisaran antara 0,34 – 0,43 terdapat 13 daerah
yaitu : Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung, Kabupaten
Garut, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten
Majalengka, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Bekasi, Kota Bogor, Kota Bandung,
Kota Tasikmalaya. Sedangkan daerah dengan IKK rendah hanya 1 daerah dengan
kisaran 0,00 – 0,33 yaitu Kabupaten Pangandaran.
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil dan analisis data dari kinerja keuangan daerah dapat disimpulkan :
Berdasarkan
rasio kemandirian keuangan daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat tahun
anggaran 2017-2021 secara rata-rata kemandirian sebesar 35,54% dengan kategori
konsultatif. Hasil ini menunjukkan bahwa hampir seluruh Kabupaten dan Kota di
Provinsi Jawa Barat memiliki kemandirian yang konsultatif yang menunjukkan
bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah, campur tangan dari pemerintah pusat
sudah mulai berkurang namun hanya bersifat mengarahkan atau konsultatif.
DAFTAR PUSTAKA
Banga, W. (2017). Administrasi
Keuangan Negara dan Daerah : Konsep, Teori dan Penomena di Era Otonomi
Daerah. Bogor : Ghalia Indonesia.
Bappenas. (2003). Peta Kemampuan
Keuangan Provinsi dalam Era Otonomi Daerah. Direktorat Pengembangan Otonomi
Daerah.
Halim, A. (2008). Akuntansi Sektor
Publik: Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta: Salemba Empat.
Hamsiah, A. (2019). Manjemen
Keuangan Daerah Dalam Era Otonomi Daerah. Azkiya Publishing.
Hanafi, M. M. (2005). Analisis
Laporan Keuangan Edisi Kedua. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Hidayat, M., & Handra, H. (2020).
Analisis Kemampuan Keuangan Kabupaten/Kota di Provinsi Riau. Jurnal
Akuntansi dan Ekonomika, 10(2), 241–251.
https://doi.org/10.37859/jae.v10i2.2285
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi
Daerah. (2021). Penerapan Otonomi Daerah Masih Temui Banyak Masalah. Diambil 1
Juni 2023, dari https://www.kppod.org/berita/view?id=911
Mahmudi. (2019). Analisis Laporan
Keuangan Pemerintah Daerah. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Muhibtari, N. A. (2014). Analisis
Rasio Keuangan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Kota Magelang Untuk
Menilai Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kota Magelang Tahun Anggaran
2008-2012. Universitas Negeri Yogyakarta.
Nurhemi, G. S. (2015). Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi. Dampak Otonomi Keuangan Daerah Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Di Indonesia, 183–206.
Sari, I. puspa. (2016). Pengaruh
Ukuran Pemerintah Daerah, PAD, Leverage, Dana Perimbangan, dan Ukuran
Legislatif Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah (Studi Pada Kab/Kota
Pulau Sumatra), 1–14.
Suparto, S. (2014). Otonomi Daerah di
Indonesia: Pengertian, Konsep, Tujuan, Prinsip dan Urgensinya. Jurnal Ilmu
Hukum, 1–24, 10.
Syam, F., & Zulfikar, A. (2022).
Analisis Kemandirian Keuangan Daerah dalam Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat
di Kabupaten Kaimana. Jurnal Terapan Pemerintahan Minangkabau, 2(2),
98–114. https://doi.org/10.33701/jtpm.v2i2.2666
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintah Daerah.
Zukhri, N. (2020). Kinerja Keuangan
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Ditinjau dari Derajat Kemandirian,
Ketergantungan, dan Desentralisasi Fiskal. Indonesian Treasury Review Jurnal
Perbendaharaan Keuangan Negara dan Kebijakan Publik, 5(2), 143–149.
https://doi.org/10.33105/itrev.v5i2.213