Analisis Pengukuran Kinerja Keuangan dan Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah dalam Era Otonomi Daerah

 

Novia Aminuddin1, Srihadi Winarningsih2

Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Padjadjaran

Email: novia19003@mail.unpad.ac.id

 

Abstrak

Karakteristik daerah mampu melaksanakan otonomi dapat dilihat dari kemampuan keuangannya yang diukur melalui analisis kinerja keuangan daerah dan tingkat kemampuan daerah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kinerja keuangan daerah dan kemampuan keuangan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah di pemerintah daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat tahun anggaran 2017-2021 dengan menggunakan data sekunder dari Laporan Realisasi Anggaran (LRA). Metode penelitian yang digunakan ialah kuantitatif deskriptif untuk mengukur kinerja keuangan dengan rasio keuangan diantaranya adalah rasio kemandirian keuangan daerah, rasio ketergantungan keuangan daerah, rasio desentralisasi fiskal, rasio efektivitas PAD, dan rasio efisiensi belanja daerah sedangkan untuk mengukur kemampuan keuangan menggunakan share and growth, peta kemampuan daerah, dan IKK (Indeks kemampuan Keuangan). Hasil penelitian dari kinerja keuangan menunjukkan sebagai berikut: Rasio kemandirian keuangan daerah tergolong rendah yang memiliki pola hubungan konsultatif dengan rata-rata mencapai 35,54%. Rasio ketergantungan keuangan daerah tergolong sangat tinggi dengan rata-rata mencapai 70,56%. Rasio desentralisasi fiskal tergolong sedang dengan rata-rata mencapai 22,77%. Rasio efektivitas PAD tergolong efektif secara rata-rata sebesar 99,64%. Rasio efisiensi belanja daerah tergolong kurang efisien dengan rata-rata mencapai 90,90%. Hasil penelitian dari kemampuan keuangan daerah menunjukkan sebagai berikut: rasio share seluruh secara-secara mencapai 22,94% yang berarti peran PAD dalam membiayai belanja daerah masih sangat minim dan hasil dari rasio growth secara rata-rata mencapai 10,72% yang menunjukkan seluruh pertumbuhan PAD Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat masih rendah. Berdasarkan hasil analisis share and growth dalam Peta Kemampuan Keuangan, terdapat 21 daerah di Kuadran II, 10 daerah di Kuadran III, dan sisanya sejumlah 14 masuk ke dalam Kuadran IV. Berdasarkan Indeks Kemampuan Keuangan (IKK) kemampuan keuangan tinggi sebanyak 13 daerah, sedangkan 13 daerah dengan kemampuan sedang dan sisanya 1 daerah berada di kemampuan rendah.

 

Kata kunci: pengukuran kinerja; tingkat kemampuan keuangan; otonomi daerah

 

Abstract

The characteristics of a region capable of implementing autonomy can be seen from its financial capacity as measured through an analysis of regional financial performance and the level of regional capacity. The purpose of this study was to determine how regional financial performance and regional financial capacity in implementing regional autonomy in the Regency / City regional government in West Java Province in the 2017-2021 fiscal year using secondary data from the Budget Realization Report (LRA). The research method used is descriptive quantitative to measure financial performance with financial ratios including the ratio of regional financial independence, regional financial dependence ratio, fiscal decentralization ratio, PAD effectiveness ratio, and regional expenditure efficiency ratio while to measure financial capability using share and growth, regional capability map, and IKK (Financial capability index). The research results of financial performance show the following: The ratio of regional financial independence is classified as low which has a consultative relationship pattern with an average of 35.54%. The regional financial dependency ratio is classified as very high with an average of 70.56%. The fiscal decentralization ratio is classified as moderate with an average of 22.77%. The PAD effectiveness ratio is classified as effective with an average of 99.64%. The regional expenditure efficiency ratio is classified as less efficient with an average of 90.90%. Research results from regional financial capability show the following: The overall share ratio on average reached 22.94%, which means that the role of PAD in financing regional expenditures is still very minimal and the results of the growth ratio on average reached 10.72%, which shows that the overall growth of PAD in the Regency / City in West Java Province is still low. Based on the results of the share and growth analysis in the Financial Capability Map, there are 21 regions in Quadrant II, 10 regions in Quadrant III, and the remaining 14 fall into Quadrant IV. Based on the Financial Capability Index (IKK), 13 regions have high financial capability, while 13 regions have medium capability and the remaining 1 region is in low capability.

 

Keywords: performance measurement; level of financial capability; regional autonomy

 

Pendahuluan  

Indonesia mengalami krisis ekonomi, dan situasi politik yang tidak stabil pada era pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto dari tahun 1966 hingga 1998. Sistem politik dan ekonomi pada masa itu dibangun begitu sangat sentralistis, yang mengakibatkan daerah tidak dapat berkembang secara optimal. Keputusan mengenai daerah selalu ditentukan oleh pemerintah pusat tanpa melibatkan partisipasi kepada daerah. Hal ini menyebabkan daerah tidak memiliki kekuasaan untuk mengembangkan potensi lokalnya sendiri, dan akhirnya bergantung pada pemerintah pusat. Ketidakadilan distribusi sumber daya politik dan ekonomi yang dilakukan pada rezim Orde Baru berakhir menjadi masalah serius yang harus dihadapi oleh Pemerintahan B.J. Habibie. Hal ini mengakibatkan kesenjangan yang signifikan antara daerah yang lebih terpencil, dan menyebabkan daerah menjadi kurang berkembang dan kalah bersaing dengan daerah yang lebih maju. Daerah-daerah tersebut seringkali tidak memiliki akses yang memadai terhadap sumber daya politik maupun ekonomi, serta tidak dapat mengembangkan potensi daerah yang dimiliki secara optimal sehingga mengakibatkan pembangunan dan kesejahteraan daerah-daerah tersebut terhambat (Suparto, 2014).

Kelangkaan legitimasi politik membuat masyarakat memiliki banyak kesempatan untuk menuntut perubahan dalam hubungan pusat-daerah. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menuntut kebijakan otonomi daerah yang lebih luas dan akses yang lebih besar ke sumber daya alam daerah (Suparto, 2014).

            Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merespon terhadap tuntutan desentralisasi yang semakin kuat yang diwujudkan melalui pengesahan dua Undang-Undang pada bulan April 1999 dan menetapkan pada tanggal 1 januari 2001, pemerintah menetapkan dua Undang-Undang Otonomi Daerah, yaitu Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sejak tahun 2001, desentralisasi secara resmi telah diimplementasikan di setiap Kabupaten/Kota di seluruh Provinsi melalui program desentralisasi yang dikenal sebagai Big Bang Decentralization program ini ditandai dengan transfer wewenang tanggung jawab yang signifikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam waktu yang relatif singkat (Hamsiah, 2019).

            Pemberian desentralisasi ini bertujuan untuk memenuhi aspirasi daerah berkaitan penguasaan atas sumber-sumber keuangan, mengurangi ketimpangan antar daerah, mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah, meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pemerintah daerah, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum (Nurhemi, 2015).

            Implementasi dalam pelaksanaan otonomi daerah tidaklah berjalan mulus hingga saat ini dan masih menjadi tantangan yang dihadapi oleh setiap daerah. Menurut (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, 2021) mengungkapkan “Penerapan otonomi daerah yang dilakukan sejak 1999 yang diberikan kepada kepala daerah terpilih berwenang untuk mengatur dan mengurus daerahnya masing-masing. Namun hampir 25 tahun pelaksanaannya, tidak semua daerah yang diberikan otonomi mampu meningkatkan pelayanan maupun kesejahteraan masyarakatnya. Bahkan, banyak daerah yang justru masih sangat bergantung pada pemerintah pusat”. Dari pernyataan tersebut persoalan mengenai otonomi daerah ini menjadi permasalahan serius yang perlu diatasi masing-masing daerah.

Anggaran merupakan komponen krusial dalam pengelolaan keuangan organisasi sektor publik, karena anggaran menjadi landasan alokasi sumber daya publik yang harus dimanfaatkan secara efektif dan efisien. Dalam konteks penyelenggaraan otonomi daerah, pengelolaan keuangan yang baik sangat penting dengan mengutamakan prinsip efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Pengelolaan keuangan ini tercermin dalam penyusunan anggaran oleh pemerintah daerah setiap tahun melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD menjadi sarana bagi pemerintah daerah untuk mengetahui kinerja dan kemampuan daerah dari segi pendapatan maupun pengeluaran. Untuk mewujudkan otonom daerah, pemerintah daerah dituntut untuk independen dalam hal kemampuan keuangan sehingga membuat setiap daerah berlomba-lomba untuk menggali potensi-potensi yang ada untuk dijadikan sumber pendapatan demi dapat memaksimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) masing- masing daerah.

Tabel 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat Tahun Anggaran 2017-2021

Tahun

Anggaran

Realisasi

2017

Rp23.308.083.898.482,80

Rp23.319.551.898.947,00

2018

Rp21.725.321.991.527,00

Rp20.597.546.126.012,40

2019

Rp23.912.199.211.875,70

Rp22.908.062.822.178,40

2020

Rp20.454.420.759.759,50

Rp21.394.531.898.171,00

2021

Rp24.193.579.019.676,80

Rp25.018.097.836.849,30

              Sumber: BPK RI-Provinsi Jawa Barat (Diolah Peneliti, 2023)

            Berdasarkan tabel 1 diatas, terlihat dari total realisasi PAD Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat tahun anggaran 2017-2021 mengalami fluktuatif. Selama lima tahun terjadi penurunan penerimaan pendapatan PAD pada tahun 2018 dan 2020. Pada tahun 2018 mengalami penurunan sebesar (-10%) sedangkan pada tahun 2020 mengalami penurunan sebesar (-7%). Hal tersebut dikarenakan kondisi yang tidak stabil terutama pada tahun 2020 akibat kondisi pandemic covid-19 yang menyebabkan terjadi penurunan yang signifikan terutama pada pendapatan yang berasal dari pajak daerah, retribusi daerah, pendapatan hasil pengelolaan daerah yang dipisahkan. Penerimaan PAD terbesar Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat selama lima tahun pada tahun 2021 sebesar Rp25.018.097.836.849,30 sedangkan penerimaan PAD terendah pada tahun 2018 Rp20.597.546.126.012,40.

            Salah satu persoalan yang sering dihadapi dalam menjalankan otonomi daerah yaitu usaha daerah dalam mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusar dari sumber daya keuangan yang diberikan untuk memenuhi kegiatan pemerintahan. Keberhasilan otonomi daerah terlihat dari kemampuan keuangan daerah, jika daerah memiliki sumber daya keuangan yang cukup dan dapat mengurangi penerimaan pendapatan transfer dari pemerintah pusat untuk mengurangi ketergantungan.

Tabel 2. Perbandingan Realisasi PAD Dengan Pendapatan Transfer
Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat Tahun Anggaran 2017-2021

Tahun

Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan Transfer

2017

Rp23.319.551.898.947,00

Rp58.389.169.195.910,00

2018

Rp20.597.546.126.012,40

Rp59.339.528.057.820,00

2019

Rp22.908.062.822.178,40

Rp64.859.324.981.626,00

2020

Rp21.394.531.898.171,00

Rp21.394.531.898.171,00

2021

Rp25.018.097.836.849,30

Rp64.138.564.480.074,00

               Sumber: BPK RI-Provinsi Jawa Barat (Diolah Peneliti, 2023)

Berdasarkan tabel 2 diatas, terlihat perbandingan PAD dengan pendapatan transfer Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat tahun 2017-2021 yang menunjukkan bahwa penerimaan PAD masih cenderung rendah dan pendapatan transfer yang diterima sangat besar. Hal ini menggambarkan bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat masih belum cukup dalam menggali potensi yang dimiliki masing-masing daerah, sehingga pemerintah daerah Kabupaten/Kota menggunakan pendapatan transfer sebagai sumber pendapatan dalam menjalankan kegiatan pemerintahan. Ini menunjukkan ketergantungan pemerintah daerah terhadap pendapatan transfer yang diberikan dari pemerintah pusat/provinsi masih sangat tinggi. Sudah seharusnya dalam pelaksanaan otonomi daerah pemerintah di Kabupaten/Kota dapat menggali PAD yang dimilikinya secara optimal untuk mengurangi ketergantungan terhadap pendapatan transfer.

 

Metode

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan menggunakan analisa rasio keuangan. Data yang digunakan data sekunder berupa angka-angka yang diambil dari Laporan Realisasi Anggaran (LRA) pemerintah daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat selama lima tahun yakni dari tahun 2017 sampai dengan 2021.

1)      Analisis Kinerja Keuangan Daerah

a)      Rasio Kemandirian Keuangan Daerah

Rasio kemandirian keuangan daerah dihitung dengan cara membandingkan jumlah penerimaan pendapatan asli daerah dengan jumlah pendapatan transfer. Rasio kemandirian Daerah dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Mahmudi, 2019):

Tabel 3. Kriteria Kemandirian Keuangan Daerah dan Pola Hubungan

Kemampuan Keuangan

Persentase (%)

Pola Hubungan

Rendah Sekali

0% - 25%

Instruktif

Rendah

>25% - 50%

Konsultatif

Sedang

>50% - 75%

Partisipatif

Tinggi

>75% - 100%

Delegatif

  Sumber: Halim, 2007 (dalam Nizwan Zukhri, 2020)

b)      Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah

Rasio ketergantungan keuangan daerah menggambarkan tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap pendapatan transfer yang diterima dari pemerintah pusat dan/atau pemerintah provinsi. Rasio ini menghitung perbandingan antara jumlah pendapatan transfer yang diterima oleh pemerintah daerah dengan total pendapatan daerah. Rumus yang digunakan sebagai berikut (Mahmudi, 2019) :

Tabel 4. Kriteria Penilaian Ketergantungan Keuangan Daerah

Kriteria Rasio Ketergantungan

Persentase (%)

Sangat Rendah

00,00 – 10,00

Rendah

10,01 – 20,00

Sedang

20,01 – 30,00

Cukup

30,01 – 40,00

Tinggi

40,01 – 50,00

Sangat Tinggi

>50,00

 Sumber : Banga, 2017 (dalam Nizwan Zukhri, 2020)

 

c)       Rasio Desentralisasi Fiskal

Rasio desentralisasi fiskal menggambarkan sejauh mana keuangan pemerintah daerah dalam mengelola dan meningkatkan pendapatan asli daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah untuk membiayai kegiatan pemerintahan. Rasio ini dihitung dengan perbandingan Pendapatan Asli Daerah dengan total pendapatan daerah. Rumus untuk mengukur desentralisasi fiskal sebagai berikut (Mahmudi, 2019):

Tabel 5. Kriteria Penilaian Derajat Desentralisasi Fiskal

Kriteria Derajat Desentralisasi Fiskal

Persentase (%)

Sangat Efektif

>10,00%

Efektif

>90% - 100%

Cukup Efektif

>80% - 90%

Kurang Efektif

>60% - 80%

Tidak Efektif

≤60%

       Sumber : Hanafi, 2005 (dalam Nizwan Zukhri, 2020)

 

d)      Rasio Efektivitas PAD

Rasio efektivitas Pendapatan Asli Daerah (PAD) digunakan sebagai indikator untuk mengevaluasi kemampuan pemerintah daerah dalam mencapai target pendapatan yang telah dianggarkan. Rasio ini dapat dihitung dengan perbandingan realisasi PAD dengan anggaran PAD. Rumus yang digunakan untuk mengukur efektivitas PAD sebagai berikut (Mahmudi, 2019) :

Tabel 6. Kriteria Penilaian Rasio Efektivitas PAD

Kriteria Efektivitas PAD

Persentase (%)

Sangat Efektif

>10,00%

Efektif

>90% - 100%

Cukup Efektif

>80% - 90%

Kurang Efektif

>60% - 80%

Tidak Efektif

≤60%

          Sumber: (Mahmudi, 2019)

e)       Rasio Efisiensi Belanja Daerah

Rasio efisiensi belanja daerah digunakan sebagai indikator untuk mengukur sejauh mana pemerintah daerah dapat mengelola anggaran belanja daerah secara hemat. Rasio ini dapat diukur dengan perbandingan realisasi belanja daerah dengan anggaran belanja daerah. Rumus yang digunakan sebagai berikut (Mahmudi, 2019):

 

 

Tabel 7. Kriteria Penilaian Efisiensi Belanja Daerah

Kriteria Efisiensi

Persentase Efisiensi

Tidak Efisien

>10,00%

Kurang Efisien

>90% - 100%

Cukup Efisien

>80% - 90%

Efisien

>60% - 80%

Sangat Efisien

≤60%

               Sumber: (Mahmudi, 2019)

2)  Analisis Kemampuan Keuangan Daerah

a)                  Analisis Share and Growth

Analisis share digunakan untuk mengukur proporsi atau persentase pendapatan asli daerah dalam membiayai seluruh belanja daerah selama periode waktu tertentu, sehingga memberikan gambaran tentang kemampuan keuangan daerah dalam mengelola dan memenuhi kebutuhan belanja daerah. Berdasarkan Bappenas, 2003 (dalam Hidayat & Handra, 2020) rumus yang digunakan untuk analisis share sebagai berikut :

 

 

Analisis growth digunakan untuk mengukur kemampuan keuangan daerah yang menekankan kepada pertumbuhan pendapatan asli daerah (PAD) dari satu periode ke periode berikutnya serta memperkirakan prospek pertumbuhan ekonomi di masa yang akan datang. Berdasarkan Bappenas, 2003 (dalam Hidayat & Handra, 2020) rumus untuk analisis growth sebagai berikut:

 

 

Keterangan     :

Growth             : Pertumbuhan

PAD                 : Pendapatan Asli Daerah

t                       : Periode Saat Ini

t-1                    : Periode Sebelumnya

 

b)                   Peta Kemampuan Keuangan Daerah

Peta kemampuan keuangan daerah merupakan visualisasi yang menggambarkan tingkat kemampuan suatu daerah dalam memanfaatkan potensi ekonomi lokalnya. Pemetaan ini dilakukan dengan menggunakan metode kuadran yang didasarkan pada hasil perhitungan dari faktor share and growth. Melalui metode kuadran, pemerintah dapat mengidentifikasi suatu daerah dengan jelas mengenai kondisi kemampuan keuangan daerah dan potensi lokal yang dimiliki daerah tersebut (Muhibtari, 2014). Peta kemampuan dan klasifikasi status kemampuan keuangan disajikan sebagai berikut :

Sumber: Bappenas, 2003

Gambar 1. Peta Kemampuan Keuangan Share and Growth

 

Tabel klasifikasi status kemampuan keuangan daerah berdasarkan metode kuadran terdiri dari empat kuadran utama, yaitu:

Tabel 8. Klasifikasi Status Kemampuan Keuangan Daerah

KUADRAN

KONDISI

I

Kondisi paling ideal. PAD mengambil peran besar dalam total belanja, dan daerah memiliki kemampuan yang kuat untuk mengembangkan potensi lokal. Kondisi ini tercermin dalam besarnya nilai sumbangan PAD terhadap total belanja (share) yang tinggi dan pertumbuhan PAD (growth) yang tinggi.

II

Kondisi ini masih belum ideal, tetapi daerah memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi lokal sehingga PAD berpeluang untuk memiliki peran yang besar dalam total belanja. Kondisi ini tercermin dalam besarnya nilai sumbangan PAD terhadap total belanja (share) yang masih rendah namun pertumbuhan PAD (growth) yang tinggi.

III

Kondisi ini juga belum ideal. Peran PAD yang besar dalam total belanja mempunyai peluang yang kecil karena pertumbuhan PAD yang kecil. Kondisi ini tercermin dalam besarnya nilai sumbangan PAD terhadap total belanja (share) yang tinggi namun pertumbuhan PAD (growth) yang rendah.

IV

Kondisi ini paling buruk. Peran PAD belum mengambil peran yang besar dalam total belanja, dan daerah belum mempunyai kemampuan mengembangkan potensi lokal. Kondisi ini tercermin dalam besarnya nilai sumbangan PAD terhadap total belanja (share) yang rendah dan pertumbuhan PAD (growth) rendah.

 Sumber: (Bappenas,2003)

Indeks Kemampuan Keuangan (IKK)

Indeks Kemampuan Keuangan (IKK) salah satu indikator yang menggambarkan kemampuan keuangan suatu entitas, dalam mengelola sumber daya keuangan. IKK memiliki tiga komponen utama, yaitu Indeks Pertumbuhan (Growth Index), Indeks Elastisitas (Elasticity Index), dan Indeks Share (Share Index). Untuk mengukur IKK, nilai maksimum dan minimum ditetapkan pada setiap komponen. Berdasarkan Bappenas, 2003. Masing-masing komponen indeks tersebut dapat dianalisis dengan menggunakan persamaan umum sebagai berikut:

Selanjutnya Indeks Kemampuan Keuangan (IKK) dirumuskan sebagai berikut :

Keterangan :

Indeks Growth (PAD)

Indeks Elastisitas (Pertumbuhan PAD terhadap Pertumbuhan Ekonomi)

Indeks Share (PAD terhadap Total Belanja)

 

Tabel 9. Kriteria Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah

Indeks Kemampuan Keuangan

Klasifikasi

0,00 – 0,33

Rendah

0,34 – 0,43

Sedang

0,44 – 1,00

Tinggi

                    Sumber : (Bappenas, 2003)

 

Hasil dan Pembahasan

1)      Hasil Analisis Kinerja Keuangan

a.       Rasio Kemandirian Keuangan Daerah

Rasio kemandirian keuangan daerah memberikan gambaran mengenai seberapa besar capaian kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola serta memanfaatkan dana yang dimilikinya guna membiayai aktivitas dan kegiatan pemerintahannya dengan menggunakan dana yang berasal dari daerah itu sendiri.

Tabel 10. Capaian Rata-Rata Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat Tahun Anggaran 2017-2021

No

Pemerintah Daerah

2017

2018

2019

2020

2021

Rata-Rata

Hasil

1.

Kabupaten Bogor

80,43%

68,82%

70,30%

68,10%

79,54%

73,44%

Partisipatif

2.

Kabupaten Sukabumi

27,42%

19,30%

19,75%

22,48%

21,13%

22,02%

Instruktif

3.

Kabupaten Cianjur

22,26%

23,11%

23,64%

19,48%

26,75%

23,05%

Instruktif

4.

Kabupaten Bandung

26,45%

25,30%

23,80%

28,51%

28,23%

26,46%

Konsultatif

5.

Kabupaten Garut

19,30%

11,72%

12,13%

12,83%

14,82%

14,16%

Instruktif

6.

Kabupaten Tasikmalaya

13,77%

7,92%

8,60%

9,90%

14,01%

10,84%

Instruktif

7.

Kabupaten Ciamis

9,93%

10,53%

10,28%

11,34%

12,06%

10,83%

Instruktif

8.

Kabupaten Kuningan

20,92%

17,05%

16,16%

12,76%

14,97%

16,37%

Instruktif

9.

Kabupaten Cirebon

28,88%

21,20%

20,29%

21,95%

23,38%

23,14%

Instruktif

10.

Kabupaten Majalengka

23,66%

21,19%

18,39%

18,81%

19,04%

20,22%

Instruktif

11.

Kabupaten Sumedang

26,71%

19,67%

18,71%

19,17%

21,05%

21,06%

Instruktif

12.

Kabupaten Indramayu

26,57%

19,00%

19,12%

23,85%

20,28%

21,76%

Instruktif

13.

Kabupaten Subang

25,55%

17,59%

19,22%

19,59%

20,23%

20,44%

Instruktif

14.

Kabupaten Purwakarta

28,16%

22,07%

28,67%

28,87%

29,24%

27,40%

Konsultatif

15.

Kabupaten Karawang

51,92%

42,47%

45,58%

47,15%

54,52%

48,33%

Konsultatif

16.

Kabupaten Bekasi

86,51%

74,82%

82,52%

83,40%

80,90%

81,63%

Delegatif

17.

Kabupaten Bandung Barat

30,39%

20,93%

23,94%

24,86%

26,07%

25,24%

Konsultatif

18.

Kabupaten Pangandaran

7,32%

12,27%

11,50%

7,55%

15,70%

10,87%

Instruktif

19.

Kota Bogor

75,62%

69,99%

69,79%

61,60%

73,50%

70,10%

Partisipatif

20.

Kota Sukabumi

46,78%

45,56%

40,52%

43,99%

40,03%

43,38%

Konsultatif

21.

Kota Bandung

82,22%

77,34%

70,27%

61,56%

64,25%

71,13%

Partisipatif

22.

Kota Cirebon

49,32%

48,72%

48,26%

48,65%

44,37%

47,86%

Konsultatif

23.

Kota Bekasi

71,90%

75,65%

73,36%

72,04%

83,95%

75,38%

Delegatif

24.

Kota Depok

74,80%

61,78%

73,51%

71,80%

89,76%

74,33%

Partisipatif

25.

Kota Cimahi

40,92%

36,57%

38,77%

41,36%

38,47%

39,22%

Konsultatif

26.

Kota Tasikmalaya

24,16%

18,76%

18,49%

22,84%

29,38%

22,73%

Instruktif

27.

Kota Banjar

18,28%

17,45%

14,86%

19,95%

21,09%

18,32%

Instruktif

 

RATA-RATA

38,52%

33,58%

34,09%

34,24%

37,29%

35,54%

Konsultatif

 

MINIMUM

7,32%

7,92%

8,60%

7,55%

12,06%

10,83%

Instruktif

 

MAKSIMUM

86,51%

77,34%

82,52%

83,40%

89,76%

81,63%

Delegatif

Sumber : BPK RI-Perwakilan Provinsi Jawa Barat, (Diolah Peneliti, 2023)

 Sumber : BPK RI-Perwakilan Provinsi Jawa Barat, (Diolah Peneliti, 2023)

Grafik 1. Rata-Rata Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat Periode 2017-2021

Berdasarkan tabel 10, dapat dilihat bahwa rata-rata kemandirian keuangan daerah pada pemerintah daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat tahun anggaran 2017-2021 memiliki rata-rata 35,54% masuk ke dalam pola hubungan Konsultatif dimana pemerintah daerah sudah dianggap sedikit lebih sanggup dalam menyelenggarakan otonomi daerah sehingga campur tangan dari pemerintah pusat sudah mulai menurun namun pemerintah pusat masih memberikan arahan dan bimbingan, tetapi lebih bersifat konsultatif. Dari 27 kabupaten/kota Se-Provinsi Jawa Barat terdapat 14 daerah dengan kriteria Instruktif, 7 daerah kriteria Konsultatif, 4 daerah kriteria Partisipatif, dan 2 daerah dengan kriteria Delegatif. Rata-rata persentase terbesar berada di daerah Kabupaten Bekasi mencapai 81,63% sedangkan persentase terendah pada daerah Kabupaten Ciamis mencapai 10,83%.

Berdasarkan grafik 1, menunjukkan bahwa rata-rata rasio kemandirian keuangan daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat tahun 2017-2021 mengalami fluktuatif dan secara garis trend cenderung menurun. Pada tahun 2017 kemandirian keuangan daerah sebesar 38,52%. Pada tahun 2018 mengalami penurunan sebesar (-4,94%) dengan persentase kemandirian sebesar 33,58%. Pada tahun 2019 mengalami peningkatan sebesar 0,51% dengan persentase kemandirian sebesar 34,09%. Pada tahun 2020 mengalami peningkatan sebesar 0,05% dengan persentase kemandirian sebesar 34,24%. Pada tahun 2021 mengalami peningkatan sebesar 3,05% dengan persentase kemandirian sebesar 37,29%. Selama lima tahun rata-rata persentase rasio kemandirian keuangan daerah terbesar pada tahun 2017 mencapai 38,52% dan persentase terendah pada tahun 2019 mencapai 34,09%.

 

b.      Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah

Rasio ketergantungan keuangan daerah memberikan proyeksi pemerintah daerah terhadap ketergantungan dana yang di peroleh dari sumber eksternal (seperti dana perimbangan atau transfer keuangan). Semakin tinggi rasio, semakin besar ketergantungan keuangan daerah pada sumber eksternal. Sebaliknya, semakin rendah rasio, semakin mandiri keuangan daerah dalam mengelola pendapatan dan keuangannya sendiri.

Tabel 11. Capaian Rata-Rata Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat Tahun Anggaran 2017-2021

No

Pemerintah Daerah

2017

2018

2019

2020

2021

Rata-Rata

Kriteria

1.

Kabupaten Bogor

54,22%

55,62%

55,26%

53,68%

51,83%

54,12%

Sangat Tinggi

2.

Kabupaten Sukabumi

77,75%

77,87%

77,24%

74,85%

76,53%

76,85%

Sangat Tinggi

3.

Kabupaten Cianjur

63,89%

61,37%

66,54%

77,14%

73,10%

68,41%

Sangat Tinggi

4.

Kabupaten Bandung

69,71%

69,70%

75,18%

66,87%

67,47%

69,79%

Sangat Tinggi

5.

Kabupaten Garut

81,10%

83,60%

83,67%

82,25%

80,79%

82,28%

Sangat Tinggi

6.

Kabupaten Tasikmalaya

87,89%

88,16%

87,50%

86,03%

82,57%

86,43%

Sangat Tinggi

7.

Kabupaten Ciamis

86,97%

86,53%

87,10%

85,54%

84,85%

86,20%

Sangat Tinggi

8.

Kabupaten Kuningan

70,23%

70,30%

67,88%

84,34%

82,66%

75,08%

Sangat Tinggi

9.

Kabupaten Cirebon

75,12%

74,90%

78,53%

74,51%

73,59%

75,33%

Sangat Tinggi

10.

Kabupaten Majalengka

80,87%

75,37%

80,67%

80,56%

79,85%

79,46%

Sangat Tinggi

11.

Kabupaten Sumedang

77,90%

79,90%

80,71%

79,82%

78,77%

79,42%

Sangat Tinggi

12.

Kabupaten Indramayu

66,26%

66,20%

60,74%

63,87%

77,72%

66,96%

Sangat Tinggi

13.

Kabupaten Subang

79,49%

80,20%

79,14%

78,69%

77,58%

79,02%

Sangat Tinggi

14.

Kabupaten Purwakarta

77,99%

81,12%

67,57%

67,47%

73,41%

73,51%

Sangat Tinggi

15.

Kabupaten Karawang

64,98%

65,75%

63,60%

63,19%

61,19%

63,74%

Sangat Tinggi

16.

Kabupaten Bekasi

53,53%

53,88%

52,11%

51,43%

52,27%

52,65%

Sangat Tinggi

17.

Kabupaten Bandung Barat

73,71%

77,54%

76,00%

73,91%

73,99%

75,03%

Sangat Tinggi

18.

Kabupaten Pangandaran

90,35%

79,69%

67,68%

88,73%

83,74%

82,04%

Sangat Tinggi

19.

Kota Bogor

56,50%

55,97%

56,86%

58,29%

55,32%

56,59%

Sangat Tinggi

20.

Kota Sukabumi

63,10%

64,99%

66,03%

65,48%

69,15%

65,75%

Sangat Tinggi

21.

Kota Bandung

54,68%

55,97%

56,82%

59,40%

58,54%

57,08%

Sangat Tinggi

22.

Kota Cirebon

64,75%

63,53%

58,31%

55,00%

67,11%

61,74%

Sangat Tinggi

23.

Kota Bekasi

58,14%

54,70%

55,82%

55,85%

52,39%

55,38%

Sangat Tinggi

24.

Kota Depok

56,84%

58,34%

54,35%

55,30%

50,42%

55,05%

Sangat Tinggi

25.

Kota Cimahi

63,32%

69,60%

64,95%

62,29%

69,28%

65,89%

Sangat Tinggi

26.

Kota Tasikmalaya

80,54%

81,20%

81,51%

78,16%

74,62%

79,21%

Sangat Tinggi

27.

Kota Banjar

84,55%

83,23%

85,05%

76,85%

80,46%

82,03%

Sangat Tinggi

 

RATA-RATA

70,90%

70,93%

69,88%

70,35%

70,71%

70,56%

Sangat Tinggi

 

MINIMUM

53,53%

53,88%

52,11%

51,43%

50,42%

52,65%

Sangat Tinggi

 

MAKSIMUM

90,35%

88,16%

87,50%

88,73%

84,85%

86,43%

Sangat Tinggi

Sumber : BPK RI-Perwakilan Provinsi Jawa Barat, (Diolah Peneliti, 2023)

 Sumber : BPK RI-Perwakilan Provinsi Jawa Barat, (Diolah Peneliti, 2023)

Grafik 2. Rata-Rata Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat Periode 2017-2021

Berdasarkan tabel 11, dapat dilihat rata-rata rasio ketergantungan keuangan daerah pada pemerintah daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat tahun anggaran 2017-2021 memiliki rata-rata 70,56% masuk ke dalam kriteria Sangat Tinggi yang menggambarkan bahwa pemerintah daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat sangat bergantung terhadap pendapatan transfer dari Pemerintah Pusat/Provinsi. Dari 27 Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat, semuanya masuk ke dalam kategori sangat tinggi. Rata-rata persentase terbesar berada di daerah Kabupaten Tasikmalaya mencapai 86,43% sedangkan persentase terendah berada di daerah Kabupaten Bogor mencapai 54,12%.

Berdasarkan grafik 2, terlihat perkembangan rasio ketergantungan keuangan daerah mengalami fluktuatif secara garis trend cenderung menurun. Pada tahun 2017 ketergantungan keuangan daerah sebesar 70,90%. Pada tahun 2018 mengalami peningkatan sebesar 0,03% dari tahun sebelumnya dengan persentase ketergantungan sebesar 70,90%. Pada tahun 2019 mengalami penurunan yang signifikan sebesar (-1,05%) dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2020 meningkat sebesar 0,47% dari tahun sebelumnya dengan persentase ketergantungan sebesar 70,35%. Pada tahun 2021 meningkat sebesar 0,35% dari tahun sebelumnya dengan persentase ketergantungan sebesar 70,71%. Selama lima tahun terakhir secara rata-rata persentase terbesar pada tahun 2018 mencapai 70,93% dan terendah pada tahun 2019 mencapai 69,88%.

 

c.       Rasio Desentralisasi Fiskal

Rasio Desentralisasi Fiskal (DDF) memberikan gambaran seberapa besar capaian kontribusi PAD terhadap Total Pendapatan Daerah (TPD) pada pemerintah daerah. Rasio ini dihasilkan dari angka realisasi TPD dibagi angka realisasi PAD. Hasil perhitungan rasio DDF sebagai tabel berikut :

Tabel 12. Capaian Rata-Rata Rasio Desentralisasi Fiskal Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat Tahun Anggaran 2017-2021

No

Pemerintah Daerah

2017

2018

2019

2020

2021

Rata-Rata

Kriteria

1.

Kabupaten Bogor

43,61%

38,28%

38,84%

36,56%

41,23%

39,70%

Cukup

2.

Kabupaten Sukabumi

21,32%

15,03%

15,25%

16,83%

16,17%

16,92%

Kurang

3.

Kabupaten Cianjur

14,22%

14,18%

15,73%

15,02%

19,55%

15,74%

Kurang

4.

Kabupaten Bandung

18,44%

17,63%

17,89%

19,07%

19,05%

18,42%

Kurang

5.

Kabupaten Garut

15,65%

9,79%

10,15%

10,55%

11,97%

11,62%

Kurang

6.

Kabupaten Tasikmalaya

12,11%

6,98%

7,52%

8,51%

11,57%

9,34%

Sangat Kurang

7.

Kabupaten Ciamis

8,64%

9,12%

8,96%

9,70%

10,23%

9,33%

Sangat Kurang

8.

Kabupaten Kuningan

14,69%

11,99%

10,97%

10,76%

12,38%

12,16%

Kurang

9.

Kabupaten Cirebon

21,70%

15,88%

15,94%

16,35%

17,21%

17,41%

Kurang

10.

Kabupaten Majalengka

19,13%

15,97%

14,84%

15,15%

15,20%

16,06%

Kurang

11.

Kabupaten Sumedang

20,81%

15,72%

15,10%

15,30%

16,58%

16,70%

Kurang

12.

Kabupaten Indramayu

17,61%

12,58%

11,61%

15,23%

15,76%

14,56%

Kurang

13.

Kabupaten Subang

20,31%

14,11%

15,21%

15,41%

15,69%

16,15%

Kurang

14.

Kabupaten Purwakarta

21,96%

17,90%

19,37%

19,48%

21,46%

20,04%

Sedang

15.

Kabupaten Karawang

33,74%

27,92%

28,99%

29,80%

33,36%

30,76%

Cukup

16.

Kabupaten Bekasi

46,31%

40,32%

43,00%

42,89%

42,29%

42,96%

Baik

17.

Kabupaten Bandung Barat

22,40%

16,23%

18,19%

18,37%

19,28%

18,90%

Kurang

18.

Kabupaten Pangandaran

6,61%

9,78%

7,79%

6,70%

13,14%

8,80%

Sangat Kurang

19.

Kota Bogor

42,73%

39,17%

39,69%

35,91%

40,66%

39,63%

Cukup

20.

Kota Sukabumi

29,52%

29,61%

26,76%

28,80%

27,68%

28,47%

Sedang

21.

Kota Bandung

44,96%

43,29%

39,93%

36,57%

37,61%

40,47%

Baik

22.

Kota Cirebon

31,93%

30,95%

28,14%

26,76%

29,78%

29,51%

Sedang

23.

Kota Bekasi

41,80%

41,38%

40,95%

40,24%

43,98%

41,67%

Baik

24.

Kota Depok

42,52%

36,04%

39,95%

39,71%

45,26%

40,70%

Baik

25.

Kota Cimahi

25,91%

25,45%

25,18%

25,77%

26,65%

25,79%

Sedang

26.

Kota Tasikmalaya

19,46%

15,24%

15,07%

17,85%

21,92%

17,91%

Kurang

27.

Kota Banjar

15,45%

14,52%

12,64%

15,33%

16,97%

14,98%

Kurang

 

RATA-RATA

24,95%

21,67%

21,62%

21,80%

23,80%

22,77%

Sedang

 

MINIMUM

6,61%

6,98%

7,52%

6,70%

10,23%

8,80%

Sangat Rendah

 

MAKSIMUM

46,31%

43,29%

43,00%

42,89%

45,26%

42,96%

Tinggi

Sumber : BPK RI-Perwakilan Provinsi Jawa Barat, (Diolah Peneliti, 2023)

Sumber : BPK RI-Perwakilan Provinsi Jawa Barat, (Diolah Peneliti, 2023)

Grafik 3. Rata-Rata Rasio Desentralisasi Fiskal Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat Periode 2017-2021

            Berdasarkan tabel 12, dapat dilihat bahwa rata-rata desentralisasi fiskal pemerintah daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat tahun anggaran 2017-2021 memiliki rata-rata mencapai 22,77% dengan kategori Sedang, hal ini menggambarkan bahwa pemerintah daerah dalam mengelola PAD dari total pendapatan daerah kemampuannya masih sedang. Dari 27 Kabupaten dan Kota terdapat 3 daerah dengan kriteria sangat kurang, 13 dengan kriteria kurang, 4 daerah kriteria sedang, 3 daerah kriteria cukup, 4 daerah kriteria baik, dan tidak ada daerah dengan kriteria sangat baik. Rata-rata persentase terbesar berada di daerah Kota Bekasi yang mencapai 41,67% dan daerah dengan rata-rata persentase terendah berada di Kabupaten Pangandaran mencapai 8,80%.

Berdasarkan grafik 3, dapat diketahui perkembangan rasio desentralisasi fiskal pemerintah daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat periode 2017-2021 mengalami penurunan dan kenaikan. Secara garis trend rasio desentralisasi fiskal pada Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 2017 rasio desentralisasi fiskal Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat mencapai 24,95%. Pada tahun 2018 mengalami penurunan sebesar (-3.28%) dengan desentralisasi mencapai 21,67%. Pada tahun 2019 mengalami penurunan kembali sebesar (-0,74%) dengan desentralisasi mencapai 21,62%. Pada tahun 2020 mengalami peningkatan sebesar 7,55% dengan desentralisasi mencapai 21,80%. Pada tahun 2021 mengalami peningkatan signifikan dari tahun sebelumnya sebesar (-1,28%) dengan desentralisasi mencapai 23,80%. Selama lima tahun terakhir rata-rata rasio desentralisasi fiskal Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat tertinggi berada pada tahun 17 mencapai 24,95% sedangkan terendah pada tahun 2019 mencapai 21,62%.

 

d.      Rasio Efektivitas PAD

Rasio efektivitas PAD mampu memberikan gambaran mengenai seberapa besar capaian dari kapasitas pemerintah dalam mengelola penerimaan PAD sesuai dengan besaran yang telah dianggarkan pada awal penganggaran APBD.

Tabel 13. Capaian Rata-Rata Rasio Efektivitas PAD Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat Tahun Anggaran 2017-2021

No

Pemerintah Daerah

2017

2018

2019

2020

2021

Rata-Rata

Kriteria

1.

Kabupaten Bogor

133,26%

112,89%

118,11%

114,11%

114,30%

118,54%

Sangat Efektif

2.

Kabupaten Sukabumi

102,93%

103,62%

103,49%

105,86%

103,78%

103,94%

Sangat Efektif

3.

Kabupaten Cianjur

96,37%

95,20%

96,18%

96,07%

107,41%

98,25%

Efektif

4.

Kabupaten Bandung

114,86%

111,12%

109,38%

114,03%

108,51%

111,58%

Sangat Efektif

5.

Kabupaten Garut

96,82%

92,24%

97,07%

106,23%

113,77%

101,23%

Sangat Efektif

6.

Kabupaten Tasikmalaya

97,20%

100,19%

107,80%

104,42%

87,59%

99,44%

Efektif

7.

Kabupaten Ciamis

104,06%

99,46%

108,73%

105,56%

114,56%

106,47%

Sangat Efektif

8.

Kabupaten Kuningan

92,95%

88,03%

86,94%

90,43%

96,02%

90,87%

Efektif

9.

Kabupaten Cirebon

105,80%

102,75%

103,59%

109,13%

109,32%

106,12%

Sangat Efektif

10.

Kabupaten Majalengka

90,62%

100,56%

91,49%

95,02%

88,70%

93,28%

Efektif

11.

Kabupaten Sumedang

105,67%

93,07%

88,13%

98,87%

96,65%

96,48%

Efektif

12.

Kabupaten Indramayu

98,69%

94,40%

97,89%

109,73%

104,59%

101,06%

Sangat Efektif

13.

Kabupaten Subang

105,89%

99,55%

95,12%

98,77%

80,44%

95,95%

Efektif

14.

Kabupaten Purwakarta

56,65%

89,12%

84,07%

91,17%

88,05%

81,81%

Cukup Efektif

15.

Kabupaten Karawang

94,12%

86,71%

99,79%

119,22%

115,74%

103,12%

Sangat Efektif

16.

Kabupaten Bekasi

104,81%

104,75%

113,62%

109,49%

99,67%

106,47%

Sangat Efektif

17.

Kabupaten Bandung Barat

116,60%

108,98%

88,53%

109,52%

92,87%

103,30%

Sangat Efektif

18.

Kabupaten Pangandaran

85,18%

84,71%

79,48%

99,71%

116,55%

93,13%

Efektif

19.

Kota Bogor

106,58%

102,79%

104,45%

117,60%

117,57%

109,80%

Sangat Efektif

20.

Kota Sukabumi

99,40%

102,21%

91,00%

101,65%

111,26%

101,10%

Sangat Efektif

21.

Kota Bandung

85,50%

75,69%

78,35%

91,12%

91,13%

84,36%

Cukup Efektif

22.

Kota Cirebon

94,56%

91,51%

85,00%

87,80%

77,53%

87,28%

Cukup Efektif

23.

Kota Bekasi

84,51%

80,26%

72,99%

97,79%

101,76%

87,46%

Cukup Efektif

24.

Kota Depok

112,29%

105,19%

113,57%

106,49%

113,88%

110,28%

Sangat Efektif

25.

Kota Cimahi

123,45%

102,50%

101,90%

113,21%

116,87%

111,59%

Sangat Efektif

26.

Kota Tasikmalaya

94,59%

94,18%

97,75%

105,34%

98,79%

98,13%

Efektif

27.

Kota Banjar

95,18%

88,47%

75,53%

95,63%

92,07%

89,38%

Cukup Efektif

 

RATA-RATA

99,95%

96,67%

95,93%

103,48%

102,20%

99,64%

Efektif

 

MINIMUM

56,65%

75,69%

72,99%

87,80%

77,53%

81,81%

Cukup Efektif

 

MAKSIMUM

133,2%

112,8%

118,11%

119,22%

117,57%

118,54%

Sangat Efektif

Sumber : BPK RI-Perwakilan Provinsi Jawa Barat, (Diolah Peneliti, 2023)

Sumber : BPK RI-Perwakilan Provinsi Jawa Barat, (Diolah Peneliti, 2023)

Grafik 4. Rata-Rata Rasio Efektivitas PAD Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat Periode 2017-2021

Berdasarkan tabel 13, terlihat bahwa dapat dilihat bahwa rata-rata efektivitas PAD Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat selama tahun anggaran 2017-2021 adalah 99.64%, persentase tersebut masuk ke kriteria Efektif yang artinya Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat efektif dalam menggunakan PAD yang dianggarkan. Dari 27 kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat terdapat 14 daerah dengan kategori sangat efektif, 8 daerah kategori efektif, 5 daerah dengan kategori cukup efektif. Rata-rata persentase tertinggi berada di daerah Kabupaten Bogor mencapai 118,54% dan persentase terendah berada di daerah Kabupaten Purwakarta mencapai 81,81%.

Berdasarkan grafik 4, dapat diketahui perkembangan rasio efektivitas PAD Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat periode 2017-2021 cenderung mengalami penurunan dan kenaikan. Secara garis trend rasio efektivitas PAD pada Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2017 rasio Efektivitas PAD mencapai 99,95%. Pada tahun 2018 mengalami penurunan sebesar (-3,28%) dengan efektivitas PAD mencapai 96,67%. Pada tahun 2019 mengalami penurunan sebesar (-0,74%) dengan persentase efektivitas PAD mencapai 95,93%. Pada tahun 2020 mengalami peningkatan signifikan sebesar 7,55% dengan rasio efektivitas PAD mencapai 103,48%. Pada tahun 2021 mengalami penurunan sebesar (-1,28%) dengan rasio efektivitas PAD mencapai 102,20%. Selama lima tahun terakhir rata-rata rasio efektivitas PAD Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat tertinggi berada pada tahun 2020 mencapai 103,48% dan terendah pada tahun 2019 mencapai 95,93%.

 

e.       Rasio Efisiensi Belanja Daerah

Rasio efisiensi belanja daerah memberikan gambaran mengenai capaian pemerintah daerah dalam melakukan penghematan terhadap alokasi anggaran belanja. Hasil dari analisis rasio efisiensi belanja, dapat memberikan informasi mengenai belanja daerah pada tahun anggaran tertentu apakah lebih efisien atau tidak.

 

Tabel 14. Capaian Rata-Rata Rasio Efisiensi Belanja Daerah
Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat Tahun Anggaran 2017-2021

No

Pemerintah Daerah

2017

2018

2019

2020

2021

Rata-Rata

Kriteria

1.

Kabupaten Bogor

92,51%

92,52%

92,53%

94,43%

95,50%

93,50%

Kurang Efisien

2.

Kabupaten Sukabumi

91,28%

93,50%

95,20%

95,47%

96,18%

94,33%

Kurang Efisien

3.

Kabupaten Cianjur

93,88%

93,57%

91,66%

92,57%

93,32%

93,00%

Kurang Efisien

4.

Kabupaten Bandung

89,09%

88,71%

93,26%

91,92%

89,13%

90,42%

Kurang Efisien

5.

Kabupaten Garut

93,96%

94,04%

91,69%

93,34%

94,14%

93,43%

Kurang Efisien

6.

Kabupaten Tasikmalaya

96,43%

120,51%

92,86%

93,22%

93,59%

99,32%

Kurang Efisien

7.

Kabupaten Ciamis

95,90%

99,03%

90,54%

95,56%

92,51%

94,71%

Kurang Efisien

8.

Kabupaten Kuningan

97,18%

96,07%

95,05%

94,84%

96,11%

95,85%

Kurang Efisien

9.

Kabupaten Cirebon

93,33%

91,97%

92,29%

89,09%

92,62%

91,86%

Kurang Efisien

10.

Kabupaten Majalengka

91,11%

93,31%

93,78%

94,24%

95,67%

93,62%

Kurang Efisien

11.

Kabupaten Sumedang

96,08%

93,97%

92,99%

92,98%

91,18%

93,44%

Kurang Efisien

12.

Kabupaten Indramayu

95,11%

95,12%

91,45%

94,08%

91,57%

93,47%

Kurang Efisien

13.

Kabupaten Subang

93,60%

95,39%

94,08%

86,30%

94,34%

92,74%

Kurang Efisien

14.

Kabupaten Purwakarta

82,48%

89,97%

94,29%

92,50%

94,87%

90,82%

Kurang Efisien

15.

Kabupaten Karawang

89,53%

91,50%

93,70%

93,91%

91,38%

92,00%

Kurang Efisien

16.

Kabupaten Bekasi

83,33%

83,91%

86,13%

83,49%

85,48%

84,47%

Cukup Efisien

17.

Kabupaten Bandung Barat

91,82%

92,13%

89,21%

78,58%

85,70%

87,49%

Cukup Efisien

18.

Kabupaten Pangandaran

95,61%

96,32%

90,43%

78,31%

80,62%

88,26%

Cukup Efisien

19.

Kota Bogor

86,45%

90,60%

87,91%

89,13%

92,83%

89,38%

Cukup Efisien

20.

Kota Sukabumi

87,79%

87,11%

87,27%

91,92%

95,08%

89,84%

Cukup Efisien

21.

Kota Bandung

82,06%

82,42%

85,70%

84,71%

86,98%

84,38%

Cukup Efisien

22.

Kota Cirebon

90,00%

90,68%

91,24%

93,70%

80,60%

89,24%

Cukup Efisien

23.

Kota Bekasi

87,27%

87,03%

78,76%

83,13%

88,45%

84,93%

Cukup Efisien

24.

Kota Depok

82,57%

78,47%

85,33%

87,14%

88,87%

84,48%

Cukup Efisien

25.

Kota Cimahi

81,82%

88,02%

89,64%

81,35%

79,80%

84,12%

Cukup Efisien

26.

Kota Tasikmalaya

92,85%

96,67%

95,47%

97,34%

96,97%

95,86%

Kurang Efisien

27.

Kota Banjar

88,92%

87,86%

84,80%

91,49%

93,88%

89,39%

Cukup Efisien

 

RATA-RATA

90,44%

92,24%

90,64%

90,18%

91,01%

90,90%

Kurang Efisien

 

MINIMUM

81,82%

78,47%

78,76%

78,31%

79,80%

84,12%

Cukup Efisien

 

MAKSIMUM

97,18%

120,51%

95,47%

97,34%

96,97%

99,32%

Kurang Efisien

Sumber : BPK RI-Perwakilan Provinsi Jawa Barat, (Diolah Peneliti, 2023)

Sumber : BPK RI-Perwakilan Provinsi Jawa Barat, (Diolah Peneliti, 2023)

Grafik 5. Rata-Rata Rasio Efisiensi Belanja Daerah Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat Tahun Anggaran 2017-2021

            Berdasarkan tabel 14, dapat dilihat bahwa rata-rata rasio efisiensi belanja daerah pemerintah daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat tahun anggaran 2017-2021 memiliki rata-rata mencapai 90,90%. Menurut (Mahmudi, 2019) pemerintah daerah dinilai telah melakukan efisiensi jika rasio nya kurang dari 100%, sebaliknya apabila melebihi maka mengindikasikan terjadinya pemborosan anggaran dan mengatakan bahwa penyerapan anggaran yang terlalu rendah tidak baik karena mengindikasikan kelemahan dalam perencanaan anggaran. Secara rata-rata persentase efisiensi belanja daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat mencapai 90,90% masuk ke dalam kategori Kurang Efisien yang artinya Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat sudah mampu merealisasikan anggaran dengan baik namun kurang efisien. Dari 27 Kabupaten dan Kota terdapat 16 daerah kategori kurang efisien dan 11 daerah cukup efisien. Rata-rata persentase terbesar berada di daerah Kabupaten Tasikmalaya sebesar 99,32% dan persentase terendah berada di Kota Cimahi sebesar 84,12%.

            Berdasarkan grafik 5, dapat diketahui perkembangan secara rata-rata rasio efisiensi belanja daerah mengalami fluktuatif dan secara garis trend cenderung menurun. Pada tahun 2017 rasio efisiensi belanja daerah mencapai 90,44%. Pada tahun 2018 mengalami peningkatan sebesar 1,80% dengan efisiensi belanja daerah mencapai 92,24%. Pada tahun 2019 mengalami penurunan sebesar (-1,60%) dengan efisiensi belanja daerah mencapai 90,64%. Pada tahun 2020 mengalami penurunan sebesar (-0,46%) dengan efisiensi belanja daerah mencapai 90,18%. Pada tahun 2021 mengalami peningkatan sebesar 0,83% dengan efisiensi belanja daerah mencapai 91,01%. Selama lima tahun terakhir rasio efisiensi belanja daerah tertinggi pada tahun 2018 mencapai 92,2% dan terendah pada tahun 2020 mencapai 90,18%.


 

2)      Hasil Kemampuan Keuangan Daerah

Share and Growth

Rasio Share

Rasio Share merupakan rasio yang dapat digunakan untuk melihat kapasitas kemampuan keuangan daerah dalam membiayai kegiatan rutin dan kegiatan pembangunan. Dengan rasio ini dapat mengetahui share atau kontribusi PAD yang diperoleh daerah dalam membiayai kebutuhan daerahnya. Semakin besar share yang diperoleh, menunjukkan bahwa daerah telah dapat mandiri dalam menjalankan otonomi dan tidak tergantung pada bantuan pusat maupun pihak lain dalam memenuhi kebutuhan daerahnya. Dapat dikatakan bahwa daerah yang memiliki kinerja keuangan yang baik dapat mampu membiayai pengeluarannya sendiri dengan mengandalkan pendapatan dari PAD. Perhitungan rasio share dapat dilakukan dengan melakukan perbandingan antara realisasi pendapatan asli daerah dengan total belanja daerah pada pemerintah daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat tahun anggaran 2017-2021. 

Tabel 15. Capaian Rata-Rata Rasio Share Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat Tahun Anggaran 2017-2021

No

Pemerintah Daerah

2017

2018

2019

2020

2021

Rata-Rata

1.

Kabupaten Bogor

44,24%

38,26%

40,68%

33,43%

43,20%

39,96%

2.

Kabupaten Sukabumi

21,76%

14,78%

15,18%

16,41%

16,67%

16,96%

3.

Kabupaten Cianjur

14,61%

14,24%

15,97%

14,76%

20,32%

15,98%

4.

Kabupaten Bandung

19,07%

18,13%

17,73%

18,64%

19,93%

18,70%

5.

Kabupaten Garut

15,84%

9,90%

10,59%

10,38%

12,06%

11,75%

6.

Kabupaten Tasikmalaya

11,77%

7,17%

7,60%

8,30%

11,85%

9,34%

7.

Kabupaten Ciamis

8,83%

9,01%

9,81%

9,53%

10,11%

9,46%

8.

Kabupaten Kuningan

14,62%

12,09%

11,37%

10,68%

12,54%

12,26%

9.

Kabupaten Cirebon

21,66%

15,89%

15,89%

16,69%

17,26%

17,48%

10.

Kabupaten Majalengka

19,47%

16,12%

14,60%

15,22%

15,03%

16,09%

11.

Kabupaten Sumedang

21,10%

16,07%

15,34%

15,49%

17,34%

17,07%

12.

Kabupaten Indramayu

17,48%

12,92%

12,00%

15,24%

16,27%

14,78%

13.

Kabupaten Subang

19,70%

13,67%

15,17%

15,88%

15,85%

16,05%

14.

Kabupaten Purwakarta

23,35%

19,21%

18,43%

19,59%

21,51%

20,42%

15.

Kabupaten Karawang

33,72%

27,10%

29,02%

31,26%

35,37%

31,30%

16.

Kabupaten Bekasi

47,70%

41,41%

43,97%

43,51%

41,08%

43,54%

17.

Kabupaten Bandung Barat

23,62%

15,97%

17,96%

17,61%

18,53%

18,74%

18.

Kabupaten Pangandaran

6,39%

9,57%

7,86%

6,72%

12,98%

8,71%

19.

Kota Bogor

43,56%

37,90%

40,18%

37,03%

40,76%

39,89%

20.

Kota Sukabumi

30,94%

30,55%

25,30%

28,60%

28,67%

28,81%

21.

Kota Bandung

46,53%

42,06%

40,37%

38,17%

38,69%

41,16%

22.

Kota Cirebon

31,50%

30,88%

27,36%

27,62%

30,05%

29,48%

23.

Kota Bekasi

39,91%

40,01%

43,86%

42,80%

44,47%

42,21%

24.

Kota Depok

45,31%

38,32%

40,02%

37,98%

47,04%

41,73%

25.

Kota Cimahi

28,66%

22,50%

24,04%

29,30%

27,34%

26,37%

26.

Kota Tasikmalaya

19,03%

14,62%

15,15%

18,03%

22,12%

17,79%

27.

Kota Banjar

14,16%

12,70%

10,01%

14,65%

15,81%

13,47%

 

RATA-RATA

25,35%

21,52%

21,68%

21,98%

24,18%

22,94%

 

MINIMUM

6,39%

7,17%

7,60%

6,72%

10,11%

8,71%

 

MAKSIMUM

47,70%

42,06%

43,97%

43,51%

47,04%

43,54%

                        Sumber : BPK RI-Perwakilan Provinsi Jawa Barat, (Diolah Peneliti, 2023)

               Sumber : BPK RI-Perwakilan Provinsi Jawa Barat, (Diolah Peneliti, 2023)

Grafik 6. Rata-Rata Rasio Share Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat Tahun Anggaran 2017-2021

   Dari data pada tabel 15 diatas, dapat diketahui rata-rata rasio share seluruh pemerintah daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat selama tahun anggaran 2017-2021 adalah sebesar 22,94%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa secara keseluruhan, keuangan Kabupaten dan Kota keuangan daerah masih cenderung lemah, dimana peran PAD yang diperoleh daerah dalam membiayai pengeluaran daerah masih sangatlah rendah. Secara tidak langsung, data diatas juga dapat menunjukkan tingginya ketergantungan daerah terhadap sumber pendanaan lain selain PAD atau rendahnya tingkat kemandirian keuangan daerah. Rata-rata persentase tertinggi berada di daerah Kabupaten Bekasi mencapai 43,54% dan persentase terendah berada di daerah Kabupaten Pangandaran mencapai 8,71%.

Berdasarkan grafik 6 diatas, dapat diketahui perkembangan secara rata-rata rasio share mengalami peningkatan setiap tahunnya namun masih cenderung kecil dan secara garis trend menurun. Pada tahun 2017 rasio share pemerintah daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat sebesar 25,35%. Pada tahun 2018 mengalami penurunan sebesar (-3,83%). Pada tahun 2019 mengalami peningkatan sebesar 0,16% dengan share sebesar 21,52%. Pada tahun 2020 mengalami peningkatan sebesar 0,30% dengan share sebesar 21,98%. Pada tahun 2021 mengalami peningkatan sebesar 2,20% dengan share sebesar 24,18%. Selama lima tahun rasio share tertinggi pada tahun 2017 mencapai 25,35% dan rasio share terendah berada pada tahun 2018 mencapai 21,52%.

Rasio Growth

            Growth ratio atau rasio pertumbuhan merupakan rasio yang mengukur seberapa kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilannya yang telah dicapai dari periode ke periode berikutnya. Dalam penelitian ini mengukur pertumbuhan komponen PAD dalam APBD sebagai komponen penting dalam mengukur sejauh mana kemampuan keuangan daerah. Dengan mengetahui sejauh mana pertumbuhan PAD, kemampuan daerah untuk mandiri dengan mengandalkan potensi daerahnya dapat terlihat, serta informasi tersebut dapat digunakan sebagai pertimbangan terkait potensi-potensi daerah mana yang memerlukan perhatian lebih jauh.

            Jika hasil rasio growth mengalami peningkatan positif dari tahun ke tahun, maka kinerja keuangan daerah dapat dikatakan baik. Adapun sebaliknya, jika hasil rasio growth mengalami penurunan atau negatif, maka keuangan daerah termasuk dalam kategori belum baik. Analisis rasio keuangan growth dihitung dengan membandingkan jumlah Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada tahun tertentu dengan tahun sebelumnya pada pemerintah daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat tahun anggaran 2017-2021. Tabel berikut merupakan hasil capaian growth pada pemerintah daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat tahun anggaran 2017-2021.

Tabel 16. Capaian Rata-Rata Rasio Growth Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat Tahun Anggaran 2017-2021

No

Pemerintah Daerah

2017

2018

2019

2020

2021

Rata-Rata

1.

Kabupaten Bogor

32,71%

-8,13%

13,11%

-11,10%

33,87%

12,09%

2.

Kabupaten Sukabumi

45,65%

-29,28%

9,63%

6,63%

2,37%

7,00%

3.

Kabupaten Cianjur

17,59%

6,47%

10,30%

-8,20%

37,42%

12,72%

4.

Kabupaten Bandung

142,67%

-1,00%

10,55%

-0,59%

7,52%

31,83%

5.

Kabupaten Garut

79,66%

-39,14%

15,49%

-2,45%

18,15%

14,34%

6.

Kabupaten Tasikmalaya

85,69%

-38,13%

16,05%

6,10%

22,60%

18,46%

7.

Kabupaten Ciamis

8,95%

5,17%

12,65%

-3,82%

7,60%

6,11%

8.

Kabupaten Kuningan

51,67%

-21,12%

-0,60%

-0,89%

15,11%

8,84%

9.

Kabupaten Cirebon

47,31%

-24,96%

9,41%

-3,64%

10,38%

7,70%

10.

Kabupaten Majalengka

54,97%

-12,42%

-2,25%

11,60%

-4,91%

9,40%

11.

Kabupaten Sumedang

60,00%

-21,88%

7,25%

-4,12%

5,82%

9,41%

12.

Kabupaten Indramayu

64,47%

-27,30%

7,19%

12,14%

5,01%

12,30%

13.

Kabupaten Subang

61,34%

-31,12%

15,61%

-0,40%

7,17%

10,52%

14.

Kabupaten Purwakarta

38,51%

-21,93%

13,96%

1,84%

20,48%

10,57%

15.

Kabupaten Karawang

39,36%

-16,36%

15,97%

-3,91%

26,74%

12,36%

16.

Kabupaten Bekasi

20,54%

-9,41%

16,47%

-2,26%

6,71%

6,41%

17.

Kabupaten Bandung Barat

62,12%

-30,75%

25,04%

-11,98%

16,34%

12,15%

18.

Kabupaten Pangandaran

25,92%

33,05%

3,23%

-8,31%

66,35%

24,05%

19.

Kota Bogor

24,79%

-6,75%

11,37%

-14,16%

23,31%

7,71%

20.

Kota Sukabumi

21,60%

0,92%

-8,66%

3,87%

0,19%

3,58%

21.

Kota Bandung

19,77%

-0,27%

-0,91%

-19,01%

6,41%

1,20%

22.

Kota Cirebon

22,26%

-0,79%

-1,41%

0,69%

-8,26%

2,50%

23.

Kota Bekasi

23,70%

0,64%

22,04%

-16,10%

23,81%

10,82%

24.

Kota Depok

31,28%

-12,48%

22,02%

-6,04%

26,51%

12,26%

25.

Kota Cimahi

34,21%

-12,74%

7,74%

4,08%

7,83%

8,23%

26.

Kota Tasikmalaya

39,41%

-21,09%

3,91%

8,02%

41,69%

14,39%

27.

Kota Banjar

7,85%

-7,40%

-13,28%

18,54%

6,43%

2,43%

 

RATA-RATA

43,11%

-12,90%

8,96%

-1,61%

16,02%

10,72%

 

MINIMUM

7,85%

-39,14%

-13,28%

-19,01%

-8,26%

1,20%

 

MAKSIMUM

142,67%

33,05%

25,04%

18,54%

66,35%

31,83%

                Sumber : BPK RI-Perwakilan Provinsi Jawa Barat, (Diolah Peneliti, 2023)       

Sumber : BPK RI-Perwakilan Provinsi Jawa Barat, (Diolah Peneliti, 2023)

Grafik 7. Rata-Rata Rasio Growth Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
Se-Provinsi Jawa Barat Tahun Anggaran 2017-2021

Dari data pada tabel 16 diatas, diketahui bahwa perolehan rata-rata rasio growth atau pertumbuhan PAD seluruh Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat selama tahun anggaran 2017-2021 mencapai 5,85%. Hasil perolehan tersebut menunjukkan bahwa secara keseluruhan keuangan daerah dalam mempertahankan PAD masih belum baik dan pemerintah daerah belum mampu menjaga kestabilan perolehan PAD dengan memaksimalkan potensi-potensi daerahnya. Sehingga daerah masih perlu meningkatkan dan menjaga kestabilan kinerja keuangan agar tidak mengalami penurunan yang lebih jauh. Rata-rata persentase terbesar berada di daerah Kabupaten Bandung mencapai 31,83% dan daerah dengan rata-rata persentase terendah berada di daerah Kota Bandung mencapai 1,20%.

Berdasarkan grafik 7 diatas, dapat disimpulkan bahwa rasio growth seluruh Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat selama tahun anggaran 2017-2021 mengalami pertumbuhan yang fluktuatif dan secara garis trend cenderung menurun. Pada tahun 2017 rasio growth sebesar 43,11%. Pada tahun 2018 mengalami penurunan signifikan sebesar (-56,01%) dengan persentase rasio growth sebesar (-12,90%). Pada tahun 2019 mengalami peningkatan sebesar 21,86% dengan persentase rasio growth sebesar 8,96%. Pada tahun 2020 mengalami penurun kembali sebesar (-10,57%) dengan persentase rasio growth sebesar (-1,61%). Pada tahun 2021 mengalami peningkatan sebesar 17,63% dengan persentase rasio growth sebesar 16,02%. Selama lima tahun persentase rasio growth tertinggi pada tahun 2019 mencapai 8,96% dan persentase rasio growth terendah pada tahun 2018 sebesar (-12,90%).

Peta Kemampuan Keuangan (Kuadran)

Peta kemampuan share and growth merupakan peta yang dapat menunjukkan seberapa jauh daerah dapat menggali sumber-sumber keuangan sendiri guna membiayai kebutuhannya tanpa selalu menggantungkan diri pada dana dari pemerintah pusat. Peta disusun dengan menggunakan metode kuadran akan menjadi posisi suatu daerah berdasarkan hasil perhitungan share and growth Dengan mengetahui posisi daerah dalam kuadran, dapat diketahui bagaimana kekuatan daerah untuk dapat mandiri dalam membiayai kebutuhan pengeluaran daerahnya. Semakin tinggi posisi daerah dalam kuadran, maka semakin baik keuangan daerah, dan sebaliknya semakin rendah posisi daerah tersebut maka kinerja dapat dikatakan belum cukup baik. Hasil analisis share and growth yang telah dilakukan, maka dapat disusun peta kemampuan keuangan sebagai berikut :

Sumber : Diolah Peneliti, 2023

Grafik 8. Peta Kemampuan Keuangan Daerah Metode Kuadran

            Berdasarkan grafik 8, dapat diketahui kemampuan keuangan selama otonomi daerah melalui peta kemampuan keuangan daerah, sebagai berikut:

a.       Tidak ada satu pun daerah yang berada di KUADRAN I. Hal tersebut menunjukkan bahwa selama otonomi daerah, kemampuan keuangan daerah kurang ideal.

b.      Dua daerah yang berada di KUADRAN II : Kabupaten Bandung dan Kabupaten Pangandaran. Hal tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan yang rendah, meskipun sebenarnya kabupaten/kota tersebut sudah mempunyai kemampuan mengembangkan potensi lokal dan PAD-nya memiliki peluang dalam memberikan kontribusi dalam APBD.

c.       Sepuluh daerah yang berada di KUADRAN III : Kabupaten Bogor, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, Kota Bogor, Kota Sukabumi, Kota Bandung, Kota Cirebon, Kota Bekasi, Kota Depok, Kota Cimahi. Hal tersebut menunjukkan bahwa daerah tersebut memiliki kemampuan keuangan daerah yang kurang ideal karena PAD memiliki peran yang besar dalam APBD, namun belum didukung dengan pertumbuhan PAD yang besar. Dengan kata lain sumbangan PAD terhadap APBD tinggi, namun pertumbuhan PAD rendah.

d.      Empat Belas daerah yang berada di KUADRAN IV : Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Subang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bandung Barat, Kota Tasikmalaya, dan Kota Banjar. Hal tersebut menunjukkan bahwa daerah-daerah tersebut memiliki kemampuan keuangan daerah yang paling buruk. PAD belum mengambil peran yang besar dalam APBD dan daerah juga belum mempunyai kemampuan mengembangkan potensi lokal. Dengan kata lain, sumbangan PAD terhadap APBD rendah dan pertumbuhan PAD rendah.

 

Indeks Kemampuan Keuangan (IKK)

Indeks Kemampuan Keuangan (IKK) salah satu indikator yang berfungsi melihat kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya keuangan. IKK sendiri terdiri dari tiga komponen yaitu Indeks Pertumbuhan (Growth Index), Indeks Elastisitas (Elasticity Index), dan Indeks Share (Share Index). Dalam pengukuran IKK, nilai maksimum dan minimum ditetapkan untuk setiap komponen sebagai parameter evaluasi. Berikut merupakan hasil IKK :

Tabel 17. Capaian Indeks Kemampuan Keuangan Daerah Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat Tahun 2017-2021

No

Pemerintah Daerah

Indeks Share

Indeks Growth

Indeks Elastisitas

IKK

Tingkat Kemampuan Keuangan

1.

Kabupaten Bogor

0,6041

0,3301

0,5320

0,4887

Tinggi

2.

Kabupaten Tasikmalaya

0,4626

0,4926

0,4218

0,4590

Tinggi

3.

Kabupaten Indramayu

0,5076

0,4854

0,3965

0,4632

Tinggi

4.

Kabupaten Subang

0,3956

0,4397

0,4955

0,4436

Tinggi

5.

Kabupaten Purwakarta

0,4045

0,4919

0,6431

0,5131

Tinggi

6.

Kabupaten Karawang

0,5073

0,4278

0,5375

0,4909

Tinggi

7.

Kabupaten Bandung Barat

0,3615

0,4843

0,5589

0,4682

Tinggi

8.

Kota Sukabumi

0,6226

0,5462

0,3960

0,5216

Tinggi

9.

Kota Cirebon

0,5136

0,7070

0,4160

0,5455

Tinggi

10.

Kota Bekasi

0,5047

0,3923

0,5877

0,4949

Tinggi

11.

Kota Depok

0,4146

0,4261

0,5714

0,4707

Tinggi

12.

Kota Cimahi

0,5691

0,5296

0,3684

0,4890

Tinggi

13.

Kota Banjar

0,5957

0,4587

0,2874

0,4473

Tinggi

14.

Kabupaten Sukabumi

0,3121

0,4230

0,4516

0,3956

Sedang

15.

Kabupaten Cianjur

0,2861

0,3317

0,4555

0,3578

Sedang

16.

Kabupaten Bandung

0,4414

0,4363

0,2392

0,3723

Sedang

17.

Kabupaten Garut

0,3123

0,3905

0,4801

0,3943

Sedang

18.

Kabupaten Ciamis

0,4930

0,5326

0,2245

0,4167

Sedang

19.

Kabupaten Kuningan

0,4005

0,3221

0,5098

0,4108

Sedang

20.

Kabupaten Cirebon

0,2758

0,3877

0,5421

0,4019

Sedang

21.

Kabupaten Majalengka

0,3056

0,4383

0,3672

0,3704

Sedang

22.

Kabupaten Sumedang

0,3005

0,3349

0,4684

0,3679

Sedang

23.

Kabupaten Bekasi

0,1704

0,4278

0,5776

0,3919

Sedang

24.

Kota Bogor

0,4375

0,4856

0,2863

0,4031

Sedang

25.

Kota Bandung

0,3583

0,5776

0,3135

0,4165

Sedang

26.

Kota Tasikmalaya

0,4226

0,3453

0,3987

0,3888

Sedang

27.

Kabupaten Pangandaran

0,3511

0,3760

0,2335

0,3202

Rendah

 

RATA-RATA

0,4197

0,4452

0,4356

0,4335

Tinggi

 

MINIMUM

0,1704

0,3221

0,2245

0,3202

Rendah

 

MAKSIMUM

0,6226

0,7070

0,6431

0,5455

Tinggi

           Sumber : BPK RI-Perwakilan Provinsi Jawa Barat, (Diolah Peneliti, 2023)

     Berdasarkan tabel 17, menunjukkan capaian indeks kemampuan keuangan pemerintah daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat tahun anggaran 2017-2021. Dari 27 Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat yang memiliki hasil IKK tinggi berkisaran antara 0,44 – 1,00, terdapat 13 daerah yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Subang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bandung Barat, Kota Sukabumi, Kota Cirebon, Kota Bekasi, Kota Depok, Kota Cimahi, Kota Banjar. Daerah yang IKK sedang berkisaran antara 0,34 – 0,43 terdapat 13 daerah yaitu : Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Bekasi, Kota Bogor, Kota Bandung, Kota Tasikmalaya. Sedangkan daerah dengan IKK rendah hanya 1 daerah dengan kisaran 0,00 – 0,33 yaitu Kabupaten Pangandaran.

 

Kesimpulan

Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah

Berdasarkan hasil dan analisis data dari kinerja keuangan daerah dapat disimpulkan :

            Berdasarkan rasio kemandirian keuangan daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Jawa Barat tahun anggaran 2017-2021 secara rata-rata kemandirian sebesar 35,54% dengan kategori konsultatif. Hasil ini menunjukkan bahwa hampir seluruh Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat memiliki kemandirian yang konsultatif yang menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah, campur tangan dari pemerintah pusat sudah mulai berkurang namun hanya bersifat mengarahkan atau konsultatif.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Banga, W. (2017). Administrasi Keuangan Negara dan Daerah : Konsep, Teori dan Penomena di Era Otonomi Daerah. Bogor : Ghalia Indonesia.

 

Bappenas. (2003). Peta Kemampuan Keuangan Provinsi dalam Era Otonomi Daerah. Direktorat Pengembangan Otonomi Daerah.

 

Halim, A. (2008). Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta: Salemba Empat.

 

Hamsiah, A. (2019). Manjemen Keuangan Daerah Dalam Era Otonomi Daerah. Azkiya Publishing.

 

Hanafi, M. M. (2005). Analisis Laporan Keuangan Edisi Kedua. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.

 

Hidayat, M., & Handra, H. (2020). Analisis Kemampuan Keuangan Kabupaten/Kota di Provinsi Riau. Jurnal Akuntansi dan Ekonomika, 10(2), 241–251. https://doi.org/10.37859/jae.v10i2.2285

 

Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah. (2021). Penerapan Otonomi Daerah Masih Temui Banyak Masalah. Diambil 1 Juni 2023, dari https://www.kppod.org/berita/view?id=911

 

Mahmudi. (2019). Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.

 

Muhibtari, N. A. (2014). Analisis Rasio Keuangan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Kota Magelang Untuk Menilai Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kota Magelang Tahun Anggaran 2008-2012. Universitas Negeri Yogyakarta.

 

Nurhemi, G. S. (2015). Terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Dampak Otonomi Keuangan Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia, 183–206.

 

Sari, I. puspa. (2016). Pengaruh Ukuran Pemerintah Daerah, PAD, Leverage, Dana Perimbangan, dan Ukuran Legislatif Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah (Studi Pada Kab/Kota Pulau Sumatra), 1–14.

 

Suparto, S. (2014). Otonomi Daerah di Indonesia: Pengertian, Konsep, Tujuan, Prinsip dan Urgensinya. Jurnal Ilmu Hukum, 124, 10.

 

Syam, F., & Zulfikar, A. (2022). Analisis Kemandirian Keuangan Daerah dalam Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat di Kabupaten Kaimana. Jurnal Terapan Pemerintahan Minangkabau, 2(2), 98–114. https://doi.org/10.33701/jtpm.v2i2.2666

 

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

 

Zukhri, N. (2020). Kinerja Keuangan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Ditinjau dari Derajat Kemandirian, Ketergantungan, dan Desentralisasi Fiskal. Indonesian Treasury Review Jurnal Perbendaharaan Keuangan Negara dan Kebijakan Publik, 5(2), 143–149. https://doi.org/10.33105/itrev.v5i2.213