Analisis Kecukupan Nutrisi Keluarga Penerima Program Keluarga Harapan
(Analisis Data Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun
2019)
Ai Nurcahyani¹*, Sartika Djamaluddin2
ai.nurcahyani@ui.ac.id1*, sartika.djamaluddin@gmail.com2
Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk melihat kecukupan asupan nutrisi pada Keluarga Penerima Manfaat Program
Keluarga Harapan (PKH). Analisis
dilakukan menggunakan data Susenas tahun 2019. PKH telah berlangsung sejak tahun 2007 dengan implementasi awal program di 7 Provinsi 48 Kabupaten/Kota, dan melayani
387.928 keluarga miskin. Salah satu
tujuan PKH adalah untuk meningkatkan taraf hidup Keluarga Penerima Manfaat, hal tersebut meliputi layanan kesehatan dan pemenuhan asupan nutrisi. Analisis dilakukan dengan probit model
untuk melihat hubungan antara karakteristik keluarga dan sosial ekonomi keluarga penerima PKH dengan probabilitas keterpenuhan nutrisi. Penelitian ini menemukan bahwa probabilitas keterpenuhan protein
berkorelasi positif dengan pendidikan kepala rumah tangga,
usia kepala rumah tangga, lokasi
tempat tinggal, daerah 3T, proporsi pengeluaran makanan, dan
rata-rata konsumsi wilayah. Sementara
itu keterpenuhan lemak berkorelasi
positif dengan lokasi tempat tinggal,
proporsi pengeluaran makanan, dan rata-rata konsumsi provinsi. Sedangkan keterpenuhan karbohidrat berkorelasi positif dengan usia kepala
rumah tangga, daerah 3T, proporsi pengeluaran makanan, dan
rata-rata konsumsi provinsi.
Kata kunci: Kesehatan,
Nutrisi, PKH, Susenas
Abstract
This study was
conducted to see the adequacy of nutritional intake in Family Hope Program
(PKH) Beneficiary Families. The analysis was conducted using 2019 Susenas data. PKH has been going on since 2007 with the
initial implementation of the program in 7 Provinces 48 Regencies / Cities, and
serves 387,928 poor families. One of PKH's objectives is to improve the living
standards of Beneficiary Families, this includes health services and the
fulfillment of nutritional intake. The analysis was conducted with a probit
model to see the relationship between family and socioeconomic characteristics
of PKH recipient families with the probability of nutritional fullness. The
study found that the probability of protein fullness was positively correlated
with the education of the head of household, age of the head of household,
location of residence, 3T area, proportion of food expenditure, and average
consumption of the region. Meanwhile, fat fullness was positively correlated
with location of residence, proportion of food expenditure, and average
provincial consumption. Meanwhile, carbohydrate fullness was positively
correlated with the age of the head of household, the 3T area, the proportion
of food expenditure, and the average provincial consumption
Keywords: Health, Nutrition, PKH, Susenas
Pendahuluan
Program Keluarga
Harapan (PKH) merupakan bantuan
langsung berupa uang tunai yang diberikan dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Pemberian dana bantuan tersebut akan menambah
penghasilan keluarga penerima yang selanjutnya akan meningkatkan spending rumah
tangga sehingga diharapkan akan berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan keluarga penerima PKH. Dampak yang dirasakan masyarakat dengan adanya program ini bukan hanya
dalam pemenuhan kebutuhan di bidang pendidikan dan kesehatan, melainkan juga dalam membantu meningkatkan konsumsi dan mendukung peningkatan kualitas hidup yang lebih layak (Isdijoso et al., 2018).
PKH merupakan
program yang berupaya untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia dengan
mekanisme pemberian bantuan bersyarat bagi rumah tangga
untuk mengakses layanan kesehatan dan pendidikan tertentu. Program sosial ini dikenal dengan
istilah Conditional
Cash Transfer (CCT). PKH mengurangi beban pengeluaran rumah tangga miskin (dampak konsumsi langsung) serta berinvestasi untuk generasi mendatang melalui peningkatan kesehatan dan pendidikan (dampak pengembangan modal manusia) (Nazara & Rahayu,
2013). Hal ini dilakukan dengan memberikan bantuan tersebut hanya kepada rumah tangga
dengan ibu hamil dan/ anak-anak dengan ketentuan mereka harus memenuhi berbagai syarat kehadiran di fasilitas kesehatan dan pendidikan (Alatas, 2011).
PKH pertama diluncurkan di Indonesia pada tahun
2007 dan penerima manfaat
yang dipilih saat itu adalah rumah tangga
yang masuk kategori sangat
miskin, yaitu rumah tangga yang berada di bawah 80% garis kemiskinan. Dari tahun ke tahun alokasi anggaran dan jumlah KPM terus mengalami peningkatan. Terjadi peningkatan jumlah KPM yang signifikan pada tahun 2016, yaitu dari semula tahun
2015 sebanyak 3,5 juta naik
mencapai 5,9 juta. Lonjakan kenaikan jumlah KPM selanjutnya terjadi pada tahun 2018 dengan total 10 juta KPM, yang semula pada tahun 2017 berjumlah 6 juta KPM.
Grafik Alokasi Anggaran PKH
Sumber: Kementerian Sosial, 2020
Hubungan PKH dengan Pola Konsumsi
Dampak langsung dari PKH adalah meningkatkan pendapatan masyarakat melalui transfer yang akan meningkatkan daya beli sehingga pengeluaran akan naik. Pengeluaran ini meliputi pengeluaran akan konsumsi makanan
(Nazara & Rahayu,
2013).
Selanjutnya peningkatan pengeluaran konsumsi ini diharapkan akan meningkatkan konsumsi makanan baik secara kuantitas
maupun kualitas. Hal ini diperlukan untuk mendorong peningkatan status gizi masyarakat. Pada dasarnya malnutrisi merupakan akibat dari kurangnya
asupan terhadap pangan baik dari
segi kuantitas maupun dari segi
kualitas. Keterbatasan akses terhadap makanan bergizi berkaitan dengan tingkat pendapatan masyarakat. Keluarga miskin cenderung memilih makanan berkualitas rendah dengan harga
yang lebih murah, sehingga mereka menanggung resiko yang lebih tinggi terhadap
malnutrisi (Saputra &
Nurrizka, 2013).
Terdapat perbedaan tingkat konsumsi pada keluarga penerima PKH jika dibandingkan dengan keluarga bukan penerima PKH. Konsumsi pada keluarga penerima PKH lebih tinggi sebesar 3,8% dibandingkan dengan keluarga non penerima PKH (MicroSave Consulting,
2019).
PKH terbukti berpengaruh pada peningkatan
rata-rata pengeluran bulanan
Keluarga Penerima Manfaat
(KPM) sebesar Rp19.000,- per
orang, yaitu setara dengan peningkatan 10% pengeluaran jika dibandingkan dengan tingkat pengeluran sebelum adanya program. Tambahan penghasilan ini digunakan untuk meningkatkan pengeluaran untuk makanan (terutama makanan berprotein tinggi) dan untuk biaya kesehatan (Alatas, 2011).
PKH dilaksanakan sebagai salah satu upaya
pemerintah untuk mengatasi masalah gizi. PKH diharapkan akan meningkatkan daya
beli masyarakat melalui peningkatan
sumber daya rumah tangga sehingga dapat memenuhi kebutuhan dasar keluarga
berpenghasilan rendah. Dengan demikian pembangunan manusia akan terdorong
sehingga dapat memutus transmisi kemiskinan antargenerasi (Cecchini & Soares,
2015).
Metode
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari data hasil Survei Sosial Ekonomi
Nasional (Susenas) Maret Tahun
2019 yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik. Susenas merupakan survei yang dilakukan BPS setiap semester yaitu pada bulan
Maret dan September. Survey ini dilakukan
dengan tujuan untuk mengumpulkan data di bidang kependudukan, kesehatan, pendidikan, Keluarga Berencana, perumahan, konsumsi dan pengeluaran masyarakat.
Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh
keluarga yang menjadi responden pada Susesas yang diselenggarakan pada bulan Maret 2019. Sedangkan
asupan nutrisi yang diteliti adalah rata-rata konsumsi mingguan protein, lemak,
karbohidrat per kapita.
Penelitian ini menggunakan 3 model penelitian, untuk melihat hubungan variable independen sosial ekonomi terhadap variable asupan nutrisi yang terdiri dari protein, lemak, dan karbohidrat.
Estimasi pengaruh PKH tehadap konsumsi nutrisi dilakukan dengan menggunakan model Probit. Untuk
memprediksi hubungan
variable independen terhadap
variable dependen, model persamaan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Model konsumsi protein
Pr (Protein=1) = Pr(β0+
β1 pendapatan + β2 educ_krt + β3
jumlah_art + β4 usia_krt + β5 kar_pkh + β6
lokasi + β6 foodexp + β7 3T + β8 konsumsi_wilayah) + Ɛ
2.
Model konsumsi lemak
Pr (Lemak=1) = Pr(β0+
β1 pendapatan + β2 educ_krt + β3
jumlah_art + β4 usia_krt + β5 kar_pkh + β6
lokasi + β6 foodexp + β7 3T + β8 konsumsi_wilayah) + Ɛ
3.
Model konsumsi
karbohidrat
Pr (Karbohidrat=1) = Pr(β0+
β1 pendapatan + β2 educ_krt + β3
jumlah_art + β4 usia_krt + β5 kar_pkh + β6
lokasi + β6 foodexp + β8 3T + β9 konsumsi_wilayah) + Ɛ
Rincian variabel pengukuran dan sumber data dijelaskan pada Tabel
1.
Table 1. Definisi
variable
Variabel |
Definisi Variable |
Varieble Dummy |
1. Dependent Variable |
||
Protein |
Standar minimal konsumsi harian Protein 57 gram
(Permenkes No. 28 2019 tentang
Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan) |
·
1 untuk >= standar minimal konsumsi ·
0 untuk < standar minimal konsumsi |
Lemak |
Standar minimal konsumsi harian Lemak 47 gram (Pedoman umum Gizi Seimbang Kementerian Kesehatan RI, 2014) |
·
1 untuk >= standar minimal konsumsi ·
0 untuk < standar minimal konsumsi |
Karbohidrat |
Standar minimal konsumsi harian Karbohidrat 300 gram (Food and Drug Administration) |
·
1 untuk >= standar minimal konsumsi ·
0 untuk < standar minimal konsumsi |
2. Independent Variable |
||
a.
Karakteristik Ekonomi |
||
Pendapatan |
Diukur dengan cara membandingkan pendapatan perkapita dengan garis kemiskinan kabupaten/kota tahun 2019 |
·
1 untuk
pendapatan di bawah garis kemiskinan ·
0 untuk
pendapatan di atas garis kemiskinan |
Pendidikan Kepala
Rumah Tangga |
Dibagi ke dalam 2 kategori dummy berdasarkan tingkatan pendidikan tertinggi yang sedang/pernah ditempuh pada saat survei |
·
1 untuk
pendidikan tinggi jika pendidikan yang sedang/pernah ditempuh adalah diploma
1 ke atas ·
0 untuk
pendidikan rendah pendidikan yang
sedang/pernah ditempuh paling tinggi sampai dengan SMA sederajat |
Jumlah Anggota Rumah Tangga |
Banyaknya anggota dalam rumah tangga
sampel pada saat survei |
Variabel ini bersifat kontinu |
Usia kepala rumah tangga |
Usia dari kepala rumah tangga pada saat survei |
Variabel ini bersifat kontinu |
Komponen PKH |
Terdiri dari keberadaan anak sekolah, ibu hamil dan penyandang disabilitas berat |
·
1 untuk
keluarga penerima PKH yang memiliki minimal salah satu komponen PKH ·
0 untuk
keluarga penerima PKH yang tidak memiliki komponen PKH |
Lokasi Tempat
Tinggal |
Lokasi/area tempat
tinggal rumah tangga yang disurvei |
·
1 untuk
Kota ·
0 untuk
Desa |
Proporsi Pengeluaran Makanan |
Variabel ini berbentuk rasio yang merupakan perbandingan antara pengeluaran makanan rumah tangga dengan total pengeluaran pada rumah tangga, berdasarkan nilai rata-rata proporsi pengeluaran makanan (49,14) |
·
1 untuk
proporsi rendah (<49,14) ·
0 untuk
proporsi tinggi (>=49,14) |
b. Karakteristik Wilayah |
||
Daerah Tertinggal,
Terdepan dan Terluar (3T |
Terdapat 122 daerah yang merupakan Daerah 3T di Indonesia (Peraturan Presiden Nomor 131 Tahun 2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015–2019) |
·
1 untuk
Daerah 3T ·
0 untuk
Bukan Daerah 3T |
Rata-Rata Konsumsi
Provinsi |
Variabel ini merupakan nilai rata-rata dari setiap komponen
nutrisi yaitu protein,
lemak dan karbohidrat yang dikonsumsi
pada setiap provinsi |
Variabel ini bersifat kontinu |
Hasil dan Pembahasan
Analisis Deskriptif
a. Konsumsi Nutrisi
Angka kecukupan gizi untuk konsumsi harian per orang adalah protein
57 gram (Permenkes No. 28 2019 tentang
Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan) dan lemak 47 gram (Pedoman Umum Gizi
Seimbang Kementerian Kesehatan RI, 2014). Sedangkan untuk
konsumsi harian karbohidrat Food and
Drug Administration (FDA) menyarankan sebesar 45%-64% dari asupan kalori harian.
Jika konsumsi kalori harian adalah 2000 kkal maka asupan
karbohidrat yang dibutuhkan
adalah sekitar 300 gram.
Berdasarkan data SUSENAS Maret 2019 rata-rata konsumsi harian protein per kapita adalah 62,13 gr dan karbohidrat 309,26 gr, jumlah tersebut berada di atas standar kecukupan
konsumsi nutrisi nasional. Sedangkan untuk konsumsi lemak harian rata-rata sebesar 55,21 gr berada di bawah batas maksimal yang disarankan.
b. PKH dan Nutrisi
Tabulasi silang menunjukkan Keluarga Penerima Manfaat (KPM) sebesar
72,21% berasal dari rumah tangga yang berada di pedesaan sedangkan 27,79% sisanya adalah rumah tangga
yang berada di perkotaan. Konsumsi nutrisi pada KPM PKH lebih kecil dibandingkan
dengan bukan KPM.
Jika dilihat dari sisi kecukupan
nutrisi, pada kelompok keluarga miskin penerima PKH sebagian besar mengalami kekurangan nutrisi. Sedangkan pada keluarga non miskin penerima PKH lebih dari setengahnya
dapat memenuhi kebutuhan nutrisi.
c. Pendidikan
Kepala Rumah Tangga dan Nutrisi
Rumah tangga yang
kepala keluarganya berpendidikan tinggi memiliki angka kecukupan protein dan lemak sebesar
69,31% dan 74,19% yaitu lebih
tinggi apabila dibandingkan dengan rumah tangga yang kepala keluarganya berpendidikan rendah dimana kecukupan protein pada keluarga tersebut sebesar 51,32% dan lemak sebesar
58,21%. Sedangkan untuk konsumsi
karbohidrat, rumah tangga yang kepala keluarganya berpendidikan tinggi sebesar 45,16% lebih rendah dibandingkan
dengan rumah tangga yang kepala keluarganya berpendidikan rendah dengan angka
kecukupan karbohidrat sebesar 48,93%. Dari data tersebut
menunjukkan bahwa peningkatan pendidikan kepala keluarga berkorelasi positif dengan konsumsi protein dan lemak
namun tidak dengan karbohidrat.
d.
Ukuran Keluarga Tangga dan Nutrisi
Rata-rata konsumsi
nutrisi harian pada keluarga kecil lebih besar dibandingkan
dengan rata-rata konsumsi nutrisi pada keluarga besar. Pada keluarga kecil rata-rata konsumsi nutrisi harian per kapita adalah sebagai
berikut: protein 64,53 gr, karbohidrat
317,10 gr, dan lemak 57,89 gr. Keluarga dengan ukuran yang relatif lebih kecil
cenderung lebih baik dalam memenuhi
kebutuhan nutrisinya. Sebaliknya keluarga dengan ukuran yang lebih besar, kurang
mampu memenuhi kecukupan gizi.
e. Usia
Kepala Rumah Tangga dan Nutrisi
Secara umum keluarga dengan kepala rumah tangga
berusia dewasa tingkat konsumsi nutrisinya lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga
dengan kepala rumah tangga di bawah 24 tahun. Rata-rata konsumsi harian keluarga dengan kepala rumah tangga
berusia dewasa protein sebanyak
63,63 gr per orang, karbohidrat 315,78 gr, dan lemak
56,54 gr. Sedangkan rata-rata konsumsi
harian per orang
pada keluarga dengan
usia kepala rumah tangga di bawah 24 tahun adalah protein 59,99 gr, karbohidrat
299,95 gr, dan lemak 53,32 gr. Keluarga dengan kepala rumah
tangga yang berusia dewasa sebagian besar dapat memenuhi
kecukupan nutrisi dibandingkan dengan keluarga dengan kepala rumah tangga
yang lebih muda.
f. Lokasi Tempat
Tinggal dan Nutrisi
Rata-rata konsumsi
protein dan lemak di perkotaan sebesar
64,42gr dan 58,46gr lebih tinggi
daripada di pedesaan sebesar 59,23gr dan 51,10gr. Sedangkan
untuk konsumsi karbohidrat
rata-rata konsumsi di pedesaan
sebesar 322,57gr lebih tinggi dari rata-rata konsumsi di perkotaan sebesar 298,75 gr.
Rumah tangga yang tinggal di perkotaan memiliki angka ketercukupan nutrisi yang lebih besar dibandingkan
dengan rumah tangga yang tinggal di pedesaan. Pemenuhan konsumsi protein dan lemak lebih besar di perkotaan, sedangka pemenuhan konsumsi karbohidrat lebih besar di pedesaan.
g. Proporsi Pengeluaran Makanan dan Nutrisi
Rata-rata roporsi
pengeluaran makanan adalah 49,14%. Jika dilihat berdasarkan lokasi tempat tinggal, proporsi pengeluaran makanan di perkotaan sebesar 45,90% sedangkan di pedesaan sebesar 55,59%. Proporsi pengeluaran makanan di perkotaan menunjukkan angka yang lebih kecil dibandingkan
dengan pedesaan, artinya penduduk yang tinggal di perkotaan memiliki ketahanan pangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pedesaan.
Pemenuhan nutrisi lebih merata pada keluarga dengan proporsi pengeluaran makanan yang lebih rendah. Sedangka pada keluarga dengan proporsi pengeluaran yang lebih tinggi, lebih
banyak keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan protein dan lemak.
h. Daerah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T) dan Nutrisi
Rata-rata konsumsi
protein dan lemak masyarakat di daerah
3T lebih rendah dibandingkan dengan daerah bukan 3T. Rata-rata konsumsi protein harian per kapita masyarakat yang tinggal di daerah 3T adalah sebesar 57,54 gr, lemak
45,38gr. Angka tersebut lebih
rendah dibandingkan dengan daerah bukan
3T yaitu protein 62,69gr dan lemak 56,42gr. Sedangkan untuk karbohidrat tingkat konsumsi penduduk di daerah 3T lebih tinggi yaitu
sebesar 330,12 gr sedangkan
di daerah bukan 3T adalah sebesar 306,69 gr. Rumah tangga yang tinggal di daerah 3T dapat memenuhi kecukupan protein dan karbohidrat dengan baik, namun kurang
dapat memenuhi kecukupan lemak.
2. Analisis Inferensial
Tabel 2 Hasil Estimasi Persamaan Probabilitas Konsumsi Nutrisi
Variabel |
Protein |
Lemak |
Karbohidrat |
|||
Marginal Effect |
p-value |
Marginal Effect |
p-value |
Marginal Effect |
p-value |
|
Karakteristik Sosial Ekonomi |
||||||
Pengeluaran (1 = di bawah
garis kemiskinan) |
-0.455*** |
0.000 |
-0.423*** |
0.000 |
-0.350*** |
0.000 |
Pendidikan KRT (1=D1 ke atas) |
0.004*** |
0.001 |
-0.039*** |
0.001 |
-0.063*** |
0.000 |
Jumlah ART |
-0.053*** |
0.000 |
-0.053*** |
0.000 |
-0.045*** |
0.000 |
Usia KRT |
0.001*** |
0.000 |
-0.001*** |
0.000 |
0.003*** |
0.000 |
Komponen PKH (1=terdapat
salah satu komponen PKH) |
0.001*** |
0.001 |
0.025*** |
0.001 |
0.005*** |
0.001 |
Lokasi Tempat
Tinggal (1=Kota) |
0.019*** |
0.000 |
0.057*** |
0.000 |
-0.078*** |
0.000 |
Proporsi Pengeluaran
Makanan (1=Rendah) |
0.128*** |
0.000 |
0.103*** |
0.000 |
0.150*** |
0.000 |
Karakteristik Wilayah |
||||||
3T (1= Terdepan,
terluar, dan terisolir) |
0.057*** |
0.000 |
-0.041*** |
0.000 |
0.072*** |
0.000 |
Konsumsi Wilayah |
0.017*** |
0.000 |
0.017*** |
0.000 |
0.005*** |
0.000 |
R-Squared |
0,135 |
0,176 |
0,111 |
|||
Signifikansi pada *** p<.01, **
p<.05, * p<.1 |
||||||
Jumlah observasi
185.472 |
||||||
Jumlah Populasi 37.340.531 |
a. Kecukupan Protein
Variabel-variabel independen yang signifikan berkorelasi positif terhadap keterpenuhan konsumsi protein diantaranya adalah variabel pendidikan kepala rumah tangga,
usia kepala rumah tangga, lokasi
tempat tinggal, daerah 3T, proporsi pengeluaran makanan, dan
rata-rata konsumsi wilayah.
Variabel pendidikan Kepala Rumah Tangga dibagi ke dalam 2 kategori dummy, yaitu berpendidikan rendah (sedang/pernah bersekolah setinggi-tinggi SMA), dan tinggi
(D1 dan seterusnya). Kelompok
berpendidikan rendah dijadikan basis atau acuan. Dari variabel dummy tersebut,
marginal effects menunjukkan
tanda positif. Artinya rumah tangga
dengan kepala rumah tangga yang berpendidikan lebih tinggi, memiliki probabilitas keterpenuhan protein
yang lebih tinggi dibandingkan dengan kepala rumah tangga
yang berpendidikan rendah. Konsumsi nutrisi pada rumah tangga dengan
kepala rumah tangga berpendidikan tinggi memiliki probabilitas keterpenuhan konsumsi protein 0,004 lebih tinggi dibandingkan dengan kepala rumah
tangga berpendidikan rendah. Hal ini sejalan dengan temuan Saputra &
Nurrizka (2013), Okubo et al. (2014) dan Kearney (2010), ketiganya sepakat
bahwa Keluarga dengan
latar belakang pendidikan yang relatif lebih tinggi memiliki
kecenderungan untuk memilih
gaya hidup sehat sehingga dapat memenuhi kebutuhan nutrisi dengan baik.
Variabel berikutnya adalah usia kepala
rumah tangga, semakin dewasa usia kepala rumah
tangga maka peluang keluarga tersebut dalam memenuhi kebutuhan nutrisinya semakin tinggi. Penambahan 1 tahun usia kepala
rumah tangga akan
meningkatkan probabilitas keterpenuhan protein sebesar
0,001. Faktor usia kepala rumah tangga berkaitan
dengan pengetahuan dan pengalaman, semakin dewasa maka pengetahuan
dan pengalaman semakin bertambah sehingga dapat meningkatkan perilaku pola hidup
sehat (Saputra & Nurrizka,
2013).
Hasil estimasi menunjukkan bahwa tempat tinggal berkaitan dengan pola konsumsi nutrisi
rumah tangga. Rumah tangga yang tinggal di perkotaan memiliki probabilitas keterpenuhan protein
yang lebih tinggi sebesar 0,019 dibandingkan dengan rumah tangga
yang tinggal di pedesaan. Sejalan dengan temuan Zhai et al. (2009) yang menyatakan bahwa adanya peningkatan
konsumsi makanan hewani yang lebih tinggi di perkotaan. Selain itu
status gizi pada anak-anak
yang berada di pedesaan lebih buruk jika
dibanding dengan anak-anak yang tinggal di perkotaan (Devi, 2010).
Keterpenuhan konsumsi protein
pada daerah 3T memiliki probabilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan bukan daerah
3T. Probabilitas keterpenuhan
protein sebesar 0,057 lebih
tinggi dibandingkan daerah bukan 3T.
Proporsi pengeluaran makanan memiliki nilai positif keterpenuhan
konsumsi protein. Dapat disimpulkan bahwa penurunan proporsi pengeluaran makanan sejalan dengan peningkatan probabilitas keterpenuhan protein. Rumah tangga
dengan proporsi pengeluaran makanan yang lebih rendah memiliki
probabilitas keterpenuhan
protein 0,128 lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga dengan
proporsi pengeluaran makanan yang lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan teori sebelumnya bahwa proporsi pengeluaran makanan yang menurun merupakan indikasi dari peningkatan
kesejahteraan pada rumah tangga tersebut.
Peningkatan pada konsumsi
rata-rata konsumsi provinsi
berkorelasi positif dengan peningkatan probabilitas keterpenuhan protein
per kapita. Hal ini ditunjukkan dengan koefisien marginal
effects yang bernilai positif.
Setiap kenaikan 1 gr
rata-rata konsumsi protein provinsi
akan meningkatkan probabilitas keterpenuhan konsumsi protein perkapita sebesar 0,017.
Sedangkan variabel yang berkorelasi negatif dengan keterpenuhan protein adalah pendidikan kepala rumah tangga,
jumlah anggota rumah tangga dan lokasi tempat tinggal.
Kepesertaan rumah tangga sebagai KPM PKH berkorelasi negatif dengan probabilitas keterpenuhan nutrisi keluarga. KPM PKH memiliki probabilitas 0,455 lebih rendah dibandingkan dengan keluarga yang bukan penerima PKH. Hal ini menunjukkan bahwa tambahan penghasilan yang didapat dari dana bantuan PKH tidak mampu memenuhi
kebutuhan protein KPM PKH. Hal tersebut
juga tergambar dalam tabulasi silang yang menunjukkan bahwa 92,85% keluarga miskin penerima PKH mengalami kekurangan konsumsi protein.
Variabel jumlah anggota rumah tangga
bernilai negatif dan signifikan terhadap probabilitas keterpenuhan konsumsi protein. Jika jumlah anggota keluarga bertambah 1 orang maka probabilitas keterpenuhan konsumsi protein menurun sebesar 0,053. Penurunan probabilitas keterpenuhan konsumsi nutrisi di atas sesuai dengan temuan
Tiwasing et al. (2018). Semakin banyak anggota keluarga, maka sumber daya yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan semakin terbatas. Wu & Li (2012) menemukan bahwa ukuran rumah
tangga bukan hanya berpengaruh terhadap status kesehatan anak, namun juga terhadap orang tua terutama kesehatan ibu.
b. Kecukupan Lemak
Keterpenuhan konsumsi lemak diantaranya berhubungan positif dengan lokasi tempat tinggal,
proporsi pengeluaran makanan, dan rata-rata konsumsi provinsi. Rumah tangga yang tinggal di perkotaan memiliki probabilitas keterpenuhan lemak lebih tinggi sebesar 0,057 dibandingkan dengan rumah tangga yang berada di pedesaan. Sesuai dengan temuan
Zhai et al. (2009) dan Devi (2010) bahwa peningkatan konsumsi makanan hewani terjadi lebih tinggi
di perkotaan daripada pedesaan dan hal ini memicu pada status gizi anak-anak di pedesaan lebih buruk dibanding anak-anak yang tinggal di perkotaan.
Rumah tangga dengan proporsi pengeluaran yang lebih rendah dari 49,14% memiliki probabilitas keterpenuhan lemak 0,103 lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga
dengan proporsi pengeluaran makanan yang lebih tinggi. Dapat
disimpulkan bahwa penurunan proporsi pengeluaran makanan sejalan dengan peningkatan probabilitas keterpenuhan lemak.
Peningkatan pada konsumsi
rata-rata konsumsi berkorelasi
positif dengan peningkatan probabilitas keterpenuhan lemak per kapita.
Hal ini ditunjukkan dengan koefisien marginal effects yang bernilai positif. Setiap kenaikan 1 gr rata-rata konsumsi lemak provinsi akan meningkatkan probabilitas keterpenuhan konsumsi perkapita lemak 0,016.
Sementara itu variabel
yang berkorelasi negatif dengan pemenuhan konsumsi lemak adalah kepesertaan PKH, pendidikan kepala rumah tangga,
jumlah anggota rumah tangga, usia
kepala rumah tangga dan daerah 3T. Rumah tangga penerima bantuan PKH memiliki probabilitas keterpenuhan konsumsi lemak 0,424 yang lebih rendah dibandingkan dengan keluarga bukan penerima PKH. Hal ini menunjukkan bahwa tambahan penghasilan dari dana bantuan PKH belum mampu untuk memenuhi kebutuhan lemak KPM PKH.
Hal ini juga tergambar dalam tabulasi silang yang menunjukkan sebesar 89,79% keluarga miskin penerima PKH mengalami kekurangan konsumsi lemak.
Rumah tangga dengan kepala rumah
tangga yang berpendidikan lebih tinggi, memiliki
probabilitas keterpenuhan
lemak yang lebih rendah. Konsumsi lemak pada rumah tangga dengan kepala
rumah tangga berpendidikan tinggi memiliki probabilitas keterpenuhan sebesar 0,042 lebih rendah dibandingkan
dengan kepala rumah tangga berpendidikan
rendah. Kenaikan jenjang penddidikan kepala rumah tangga
berkorelasi dengan penurunan konsumsi lemak keluarga.
Variabel jumlah anggota rumah tangga
bernilai negatif dan signifikan terhadap probabilitas keterpenuhan konsumsi lemak. Jika jumlah anggota keluarga bertambah 1 orang maka probabilitas keterpenuhan konsumsi lemak menurun sebesar 0,053. Penurunan probabilitas keterpenuhan konsumsi nutrisi di atas sesuai dengan temuan
Tiwasing et al. (2018). Semakin banyak anggota keluarga, maka sumber daya yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan semakin terbatas.
Usia kepala rumah tangga bernilai
negatif dan signifikan terhadap probabilitas keterpenuhan konsumsi lemak.
Hasil estimasi menunjukkan penambahan 1 tahun usia kepala rumah
tangga akan menurunkan konsumsi lemak sebesar 0,001. Dengan kata lain semakin dewasa usia kepala rumah
tangga maka konsumsi lemak semakin menurun.
Keterpenuhan konsumsi lemak
pada keluarga yang tinggal
di daerah 3T memiliki probabilitas 0,042 lebih rendah dibandingkan dengan keluarga yang berada di daerah bukan 3T. Hal ini merupakan gambaran dari keadaan ekonomi
pada masing-masing daerah. Akses terhadap
bahan pangan di daerah bukan 3T berpengaruh besar terhadap asupan nutrisi penduduknya.
c. Kecukupan Karbohidrat
Variabel-variabel independen yang signifikan berkorelasi positif terhadap keterpenuhan konsumsi karbohidrat diantaranya adalah usia kepala
rumah tangga, daerah 3T, proporsi pengeluaran makanan, dan
rata-rata konsumsi provinsi.
Variabel usia kepala rumah tangga
berkorelasi positif dengan pemenuhan kebutuhan karbohidrat, semakin dewasa usia kepala rumah
tangga maka peluang keluarga tersebut dalam memenuhi kebutuhan karbohidrat semakin tinggi. Penambahan 1 tahun usia kepala
rumah tangga akan meningkatkan probabilitas keterpenuhan karbohidrat sebesar 0,003.
Keterpenuhan konsumsi karbohidrat pada daerah 3T memiliki probabilitas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan bukan daerah 3T. Probabilitas keterpenuhan karbohidrat sebesar 0,072 lebih tinggi dibandingkan daerah bukan 3T. Hal ini berkaitan dengan
karakteristik pekerjaan di daerah 3T yang banyak menggunakan fisik sehingga membutuhkan asupan kalori melalui
karbohidrat yang lebih banyak.
Proporsi pengeluaran makanan memiliki nilai positif terhadap
keterpenuhan konsumsi karbohidrat. Dapat disimpulkan bahwa penurunan proporsi pengeluaran makanan sejalan dengan peningkatan probabilitas keterpenuhan karbohidrat. Rumah tangga dengan proporsi
pengeluaran makanan yang lebih rendah memiliki
probabilitas keterpenuhan karbohidrat 0,150 lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga
dengan proporsi pengeluaran makanan yang lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan
teori sebelumnya bahwa proporsi pengeluaran makanan yang menurun merupakan indikasi dari peningkatan
kesejahteraan pada rumah tangga tersebut.
Peningkatan pada konsumsi
rata-rata konsumsi provinsi
berkorelasi positif dengan peningkatan probabilitas keterpenuhan karbohidrat per kapita. Hal ini ditunjukkan dengan koefisien marginal effects yang bernilai positif. Setiap kenaikan 1 gr rata-rata konsumsi karbohidrat provinsi akan meningkatkan
probabilitas keterpenuhan konsumsi karbohidrat perkapita sebesar 0,005.
Sedangkan variabel yang berkorelasi negatif dengan keterpenuhan karbohidrat adalah kepesertaan PKH, pendidikan kepala rumah tangga,
jumlah anggota rumah tangga dan lokasi tempat tinggal.
Kepesertaan rumah tangga sebagai KPM PKH berkorelasi negatif dengan peningkatan probabilitas keterpenuhan karbohidrat. KPM PKH memiliki probabilitas 0,350 lebih rendah dibandingkan dengan keluarga yang bukan penerima PKH. Kepesertaan dalam PKH belum mampu meningkatkan keterpenuhan konsumsi karbohidrat KPM PKH. Hal ini tergambar dalam tabulasi silang yang menunjukkan sebesar 79,99% keluarga penerima PKH belum mampu memenuhi kebutuhan karbohidrat.
Rumah tangga dengan kepala rumah
tangga yang berpendidikan lebih tinggi, memiliki
probabilitas keterpenuhan karbohidrat yang lebih rendah dibandingkan dengan kepala rumah
tangga yang berpendidikan rendah. Konsumsi karbohidrat pada rumah tangga dengan kepala
rumah tangga berpendidikan tinggi memiliki probabilitas keterpenuhan konsumsi karbohidrat 0,064 lebih rendah dibandingkan dengan kepala rumah
tangga berpendidikan rendah. Hal ini juga tergambar dalam hasil tabulasi yang menunjukkan sebesar 54,84% keluarga dengan kepala rumah
tangga berpendidikan tinggi mengalami kekurangan konsumsi karbohidrat.
Variabel jumlah anggota rumah tangga
bernilai negatif dan signifikan terhadap probabilitas keterpenuhan konsumsi karbohidrat. Jika jumlah anggota keluarga bertambah 1 orang maka probabilitas keterpenuhan konsumsi karbohidrat menurun sebesar 0,045. Penurunan probabilitas keterpenuhan konsumsi karbohidrat di atas sesuai dengan temuan
Tiwasing et al. (2018). Semakin banyak anggota keluarga, maka sumber daya yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan semakin terbatas.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa tempat tinggal berkaitan dengan pola konsumsi karbohidrat
rumah tangga. Rumah tangga yang tinggal di perkotaan memiliki probabilitas keterpenuhan karbohidrat yang lebih rendah sebesar 0,078 dibandingkan dengan rumah tangga di pedesaan.
Kesimpulan
Dari hasil analisis deskriptif diketahui
bahwa secara rata-rata penerima PKH terpenuhi kecukupan nutrisinya dalam hal
ini yaitu protein, lemak dan karbohidrat. Rata-rata konsumsi
nutrisi harian masyarakat penerima PKH adalah protein sebesar 59,23,13
gr, karbohidrat 308,64 gr, dan lemak 48,06 gr. Dengan
demikian jumlah konsumsi nutrisi tersebut telah sesuai dengan anjuran Angka
Kecukupan Gizi yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan. Keluarga
miskin penerima PKH belum mampu memenuhi standar
kebutuhan nutrisi. Hal ini berlaku
pada semua kelompok nutrisi
yaitu protein, lemak dan karbohidrat.
Karakteristik keluarga signifikan mempengaruhi
ketercukupan nutrisi penerima PKH. Variabel yang berkorelasi positif dengan
ketercukupan nutrisi penerima PKH adalah usia kepala rumah tangga, lokasi
tempat tinggal dan proporsi pengeluaran makanan. Sedangkan
variabel pendidikan kepala rumah tangga
dan jumlah anggota rumah tangga berkorelasi
negatif dengan ketercukupan nutrisi penerima PKH.
Karakteristik wilayah signifikan
mempengaruhi ketercukupan nutrisi penerima PKH. Peningkatan rata-rata konsumsi provinsi berkorelasi positif dengan peningkatan peluang keterpenuhan konsumsi nutrisi penerima PKH. Sedangkan
variabel daerah 3T berkorelasi negatif dengan ketercukupan lemak keluarga
penerima PKH.
DAFTAR PUSTAKA
Alatas, V. (2011). Program
Keluarga Harapan. In Indonesia PREM Sector (EASPI) (72506; Issue June).
Cecchini, S., &
Soares, F. V. (2015). Conditional cash transfers and health in Latin America. The
Lancet, 385(9975), e32–e34.
https://doi.org/10.1016/S0140-6736(14)61279-4
Devi, M. (2010). Analisis
Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Status Gizi Balita di Pedesaan. Teknologi
Dan Kejuruan, 33(2), 183–192.
https://doi.org/10.1590/s0101-20611999000300022
Isdijoso, W., Hastuti,
Mawardi, M. S., Budiyati, S., Rosfadhila, M., Febriyany, V., & Sodo, R. J.
(2018). Persepsi Penerima Manfaat Program Penanggulangan Kemiskinan :
Studi Kasus Tiga Kelurahan di Provinsi DKI Jakarta. SMERU Research Instutute.
Peraturan Nomor 28 Tahun
2019 tentang Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan untuk Masyarakat Indonesia,
(2019). https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
MicroSave Consulting.
(2019). Hasil Survei Operasional dan Dampak Program Keluarga Harapan ( PKH ).
3–47.
Nazara, S., & Rahayu,
S. K. (2013). Program Keluarga Harapan (PKH): Indonesian Conditional Cash
Transfer Program. Policy Research Brief, 42(October), 5.
https://doi.org/Artn 3762\rDoi 10.1038/Srep03762
Saputra, W., &
Nurrizka, R. H. (2013). Demographic Factors and the Risk of Malnutrition and
Nutrition for Less at Three Different Communities in West Sumatra. Makara
Journal of Health Research, 16(2).
https://doi.org/10.7454/msk.v16i2.1636
Tiwasing, P., Dawson, P.,
& Garrod, G. (2018). Food Security of Rice-Farming Households in Thailand:
A Logit Analysis. The Journal of Developing Areas, 52(1), 85–98.
https://doi.org/10.1353/jda.2018.0006
Wu, X., & Li, L.
(2012). Family size and maternal health: Evidence from the One-Child policy in
China. Journal of Population Economics, 25(4), 1341–1364.
https://doi.org/10.1007/s00148-011-0361-0
Zhai, F., Wang, H., Du,
S., He, Y., Wang, Z., Ge, K., & Popkin, B. M. (2009). Prospective study on
nutrition transition in China. Nutrition Reviews, 67(SUPPL. 1),
56–61. https://doi.org/10.1111/j.1753-4887.2009.00160.x