AKAD-AKAD UMUM DALAM PENYELENGGARAAN ASURANSI SYARI’AH DI INDONESIA
Mhd. Abyan Fauzi
Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Abstrak
Artikel ini merupakan hasil penelitian kepustakaan
melalui penelaahan sejumlah literatur seperti buku, jurnal dan tulisan lainnya
dengan data primer yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan serta
fatwa-fatwa Majeslis Ulama Indonesia yang berkaitan dengan asuransi syari’ah. Tulisan ini menitikberatkan pada pembahasan
akad-akad umum yang ada pada asuransi syari’ah di Indonesia dengan tujuan untuk
mengetahui akad-akad umum dalam asuransi syari’ah di Indonesia serta
masalah-masalah yang berhubungan dengan akad-akad tersebut. Kesimpulan penelitian
ini mengungkap bahwa berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan serta
beberapa fatwa Majelis Ulama Indonesia, dalam asuransi syari’ah akad
yang digunakan adalah akad tabarru’ dan akad tijārah. Akad tabarru’
adalah akad dengan jenis hibah yaitu dengan menyetorkan sejumlah premi yang merupakan hibah dari peserta asuransi
yang diperuntukkan sebagai dana tolong-menolong sesama peserta asuransi tanpa
mengharapkan keuntungan. Sementara akad tijārah adalah akad dengan
jenis komersial dengan cara investasi dan keuntungan dibagi bersama sesuai
dengan porsi yang ada dalam akad.
Kata kunci: asuransi syari’ah, akad tabarru’, akad tijārah.
Abstract
This article is the result of
library research through the study of a number of literatures such as books,
journals and other writings with primary data obtained from laws and
regulations and the fatwas of the Indonesian Ulema Council related to sharia
insurance. This paper focuses on the discussion of general contracts that exist
in sharia insurance in Indonesia with the aim of knowing the general contracts
in sharia insurance in Indonesia and the problems associated with these
contracts. The conclusion of this study reveals that based on several laws and
regulations and several fatwas of the Indonesian Ulema Council , in sharia
insurance the contracts used are tabarru' and tijarah contracts . Tabarru '
contract is an agreement with a type of grant, namely by depositing a number of
premiums which are grants from insurance participants which are intended as
funds to help fellow insurance participants without expecting a profit.
Meanwhile, the tijarah contract is a commercial type of contract where the investment
and profits are shared according to the portion contained in the contract.
Keywords: Shari’ah Insurance, Tabarru' Contract , Tijarah Contract.
Pendahuluan
Tingginya laju perkembangan lembaga
keuangan syari’ah (LKS) saat ini terbilang cukup pesat dan signifikan.
Banyaknya lembaga keuangan syari’ah seperti Bank Syari’ah, Pegadaian Syari’ah,
dan juga termasuk Asuransi Syari’ah,
merupakan suatu bentuk kepedulian umat Islam dalam rangka meningkatkan dan
memanfaatkan konsep ekonomi syari’ah.
Kompleksitas ekonomi menuntut akan adanya
sistem penjaminan risiko. Penjaminan risiko tersebut dapat diakomodir oleh
lembaga asuransi syari’ah yang memang dibentuk untuk lembaga penjaminan dan
pertanggungan. Lebih lanjut, asuransi syari’ah wajib memperhatikan dan mengacu
pada ketentuan-ketentuan syariat yang telah ditetapkan berdasarkan Al-Quran dan
As-Sunnah (Ajib,
2019). Oleh
karena itu, lembaga asuransi syari’ah harus menghindari praktik ribā,
garar, maisir dan beberapa perihal yang dilarang dalam syariat Islam
lainnya.
Asuransi syari’ah adalah suatu lembaga keuangan
yang kegiatannya bergerak di bidang penjaminan dan pertanggungan. Pada dasarnya,
sistem operasional asuransi syari’ah dan asuransi konvensional hampir sama dari
segi tugas dan fungsinya. Akan tetapi, asuransi syari’ah mempunyai prinsip
berlandaskan syariat Islam serta adanya aturan-aturan yang mengikat dalam
pelaksanaannya, seperti fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia. Artinya, selain
legitimasinya berpijak pada peraturan perundang-undangan, dasar hukumnya juga
bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah.
Salah satu perbedaan yang mendasar
antara asuransi syari’ah dan asuransi konvensional terletak pada aspek
peralihan risiko
(Fauzi,
2019). Dalam asuransi
konvensonal, sistem risiko adalah transfer risiko, dimana risiko peserta
asuransi ditanggung penuh oleh perusahaan asuransi berdasarkan klaim yang
diajukan. Sementara asuransi syari’ah, konsep dasarnya adalah tabarru’/ tolong-menolong,
dan sistem barbagi risiko (risk sharing) dimana risiko kerugian dibebankan
kepada sesama peserta asuransi (Azizah,
2019).
Dalam pelaksanaanya, asuransi syari’ah
mempunyai akad-akad tertentu yang merupakan dasar suatu kontrak peserta
asuransi. Akad-akad tersebut menjadi poin penting dalam menentukan sebuah
kebijakan asuransi, seperti pengelolaan, keuntungan, risiko dan berbagai
ketentuan lainnya.
Artikel ini berisi tentang penjelasan
akad-akad umum yang digunakan dalam penyelenggaraan asuransi syari’ah di
Indonesia, serta bagaimana mekanisme pengelolaan berdasarkan suatu akad
tertentu.
Metode
Dalam tulisan ini, metode penelitian yang digunakan
adalah kepustakaan dengan mengkaji
berbagai literatur, buku, jurnal, tulisan lain, dan berbagai peraturan
perundang-undangan dan fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI) terkait dengan topik pembahasan. Materi-materi tersebut
dianalisis dengan metode deskriptif analitik untuk mengetahui bagaimana
penerapan akad-akad umum pada lembaga asuransi syari’ah di Indonesia.
Hasil dan Pembahasan
Tinjauan Umum Asuransi Syari’ah
Asuransi adalah sistem jaminan sosial dan jaminan kesejahteraan bersama yang
dirancang berdasarkan kesepakatan untuk saling tolong menolong. Tujuan asuransi
adalah untuk mengurangi risiko atau kerugian dari kemungkinan terjadinya
kematian, kecelakaan, cidera, kerugian komersial dan termasuk juga di dalammnya
kerugian di bidang perdagangan dan perusahaan (Ichsan, 2014). Selain itu, asuransi dapat mengumpulkan dana yang cukup
besar yang kemudian dapat dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur yang
tidak hanya bermanfaat dan menguntungkan terhadap pemegang polis, tetapi juga terhadap
masyarakat umum secara luas
(Sudarsono, 2018).
Dari segi kata, asuransi berawal dari bahasa Belanda yaitu assurantie.
Sementara istilah hukumnya, asuransi dikenal sebagai verzekering dengan
makna pertanggungan (Amrin, 2006). Undang-undang Perasuransian
No. 40 Tahun 2014 menyebutkan bahwa asuransi syari’ah ialah serangkaian
perjanjian antara penanggung (perusahaan asuransi) dan pemegang polis, serta perjanjian di
antara pemegang polis.
Berdasarkan defenisi di atas, adanya perjanjian di antara pemegang polis
menandakan adanya kesiapan dan kesanggupan di antara sesama peserta untuk
menjamin satu sama lain terhadap kerugian yang dialami di masa depan. Kesiapan
tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari asuransi syari’ah yang
merupakan tujuan dan fungsi utamanya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya, juga memberikan
definisi asuransi syari’ah sebagai upaya
untuk saling melindungi dan saling membantu di antara sejumlah orang/pihak
melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’, yang menawarkan
skema pengembalian untuk menghadapi suatu risiko melalui akad tertentu dengan
prinsip syari’ah.
Fatwa tersebut juga menjelaskan dan mengatur bahwa dana asuransi syari’ah
selain untuk dikomersialkan (tijārah), juga wajib diperuntukkan untuk hibah (tabarru’).
Artinya, jika pendanaan diperuntukkan untuk hibah, maka pihak pengelola tidak
harus memberikan keuntungan dari nilai investasi kepada pemilik modal (ṣāḥib
al-māl) (Sula,
2004).
Definisi asuransi syari’ah atau takāful sebenarnya memiliki
arti yang cukup luas. Abu Zahrah mendefinisikan takāful sebagai
suatu komitmen antara orang perseorangan yang tinggal dalam masyarakat tertentu. Dengan demikian,
takāful merupakan tanggungjawab bersama antara umat Islam, dan dalam
hal ini bertujuan untuk saling menolong, saling membantu dan saling menjamin terhadap
satu sama lain (Anwar, 2007). Oleh karena itu, takāful
menekankan pada aspek gotong royong (mutual cooperation), saling
melindungi (mutual protection) dan saling memberikan tanggungjawab (mutual
responsibility), dalam rangka meningkatkan taraf hidup sesama masyarakat (Ichsan, 2014).
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka asuransi syari’ah dapat
disimpulkan sebagai hubungan hukum antara dua pihak atau lebih yang terikat
dalam suatu perjanjian untuk menghadapi risiko yang mungkin terjadi di masa
depan, dengan ketentuan pemegang polis harus membayar premi dengan jumlah
tertentu kepada perusahaan asuransi sebagai jaminan. Sementara istilah takāful sendiri merupakan
suatu lembaga yang dibentuk sebagai lembaga penjamin yang bersifat tolong-menolong,
dan bukan untuk tujuan komersial atau pengembangan dana. Akan tetapi, meskipun
dikomersialkan, maka praktik pembagiannya harus sesuai dengan akad yang
disepakati di dalam kontrak dengan prinsip syariat Islam.
Akad-akad Umum dalam Asuransi
Syari’ah
Pada prinsipnya, asuransi syari’ah merupakan hubungan tanggung menanggung
di antara sesama pihak. Artinya ketika pihak yang satu mengalami kerugian, maka
saat itu juga pihak yang lain akan mempunyai kewajiban untuk menanggung
kerugian itu. Hubungan hukum pertanggungan itu harus didasarkan pada akad-akad
tertentu sebagai dasar atasa suatu perikatan. Adanya akad akan menjadi aturan
hukum yang harus dipatuhi oleh semua pihak dalam menjalankan suatu produk asuransi
tertentu.
Pada praktiknya, ketika calon peserta akan mengikuti atau membeli produk
asuransi pada lembaga asuransi syari’ah, maka perusahaan asuransi akan
memberikan akad-akad tertentu. Akad tersebut juga harus mengikuti ketentuan
syari’ah tanpa adanya unsur garar (penipuan), maisir (perjudian),
ribā, ẓulm (penganiayaan), risywah (suap), dan lain
sebagainya.
Dalam fatwa DSN-MUI tentang pedoman umum asuransi syari’ah, hanya
terdapat dua akad dalam penyelenggaraan asuransi syariah di Indonesia, yaitu
akad tabarru’ dengan jenis hibah, dan akad tijārah dengan
jenis akad muḍārabah. Akan tetapi, pada tahun 2006, DSN-MUI kembali
mengeluarkan fatwa yang mengatur bahwa akad wakālah bil ujrah dan
akad muḍārabah musytarakah boleh diterapkan pada lembaga
keuangan syariah, termasuk asuransi syariah yang merupakan turunan daripada
akad tijārah.
Adapun penjelasan mengenai akad-akad umum yang digunakan dalam asuransi syari’ah
adalah sebagai berikut:
1.
Akad
Tabarru’ (Hibah)
Akad tabarru’ adalah suatu akad yang menyertai segala produk asurasi syari’ah yang bertujuan
untuk agenda tolong-menolong, dan bukan untuk pengembangan dana. Akad tabarru’
tidak dapat diubah menjadi akad bisnis/komersial karena ketentuan dari tabaru’ itu sendiri adalah hibah.
Dalam akad tabarru’, peserta memberikan hibah yang akan digunakan
untuk membantu peserta lain yang mengalami musibah. Sementara perusahaan
bertindak hanya sebagai pengelola dan perantara hibah (Rafsanjani, 2016). Artinya secara kolektif,
peserta adalah penanggung bagi peserta lain.
Dari definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa dana tabarru’ adalah
dana dari seluruh peserta yang dialokasikan untuk mambantu peserta lain yang mengalami
musibah. Oleh karena itu, dana tabarru’ bukanlah suatu dana yang
mengandung unsur tabungan, karena dana tersebut murni diperuntukkan untuk
santunan dalam rangka tolong-menolong (Fadilah &
Makhrus, 2019). Berdasarkan pemahaman
tersebut, maka dana yang dihimpun melaluia akad tabarru’ tidak boleh
dialokasikan untuk biaya operasional perusahaan asuransi, apalagi diklaim sebagai
pendapatan perusahaan.
Perusahaan asuransi dilarang menggunakan dana tabarru’ untuk
kepentingan perusahaan seperti biaya operasional, pemeliharaan dan sebagainya, jika
merujuk pada defenisi dan ketentuan akad wakālah. Sebab, dana yang
ada dalam akad tabarru’, harus dilaksanakan dan dikelola dengan mengguakan
akad wakālah. Wakālah sendiri adalah pemberian kuasa
kepada orang lain untuk melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa (Hidayat, 2018). Oleh karena itu, aturan dan
kedudukan antara pengelola sebagai penerima kuasa, dan peserta sebagai pemberi
kuasa disusun sedemikian rupa untuk meminimalisir terjadinya perselisihan di
antara pihak.
Kedudukan antara pengelola dan peserta dalam akad tabarru’ pada
asuransi syari’ah telah diatur dalam fatwa DSN-MUI. Kedudukan para pihak
dinyatakan sebagai berikut:
a. Bahwa dalam akad tabarru’, peserta
memberikan dana hibah yang akan digunakan untuk membantu peserta lain yang
sedang mengalami musibah;
b. Bahwa peserta secara individu
bertindak sebagai penerima dana tabarru’ dan secara kolektif bertindak
sebagai penanggung;
c. Bahwa perusahaan asuransi
berkedudukan sebagai pengelola dana tabarru’ berdasarkan akad
wakālah dari para peserta
(Fadilah &
Makhrus, 2019).
Ketentuan akad tabarru' secara detail diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia. Akad tabarru' dalam
peraturan tersebut wajib memuat sekurang-kurangnya :
a. kesepakatan di antara peserta
untuk saling menolong satu sama lain (ta’āwun);
b. hak dan kewajiban masing-masing
peserta baik secara individu maupun secara kolektif;
c. cara dan waktu pembayaran
kontribusi dan klaim;
d. ketentuan mengenai boleh atau
tidaknya kontribusi ditarik kembali oleh peserta dalam hal terjadinya
pembatalan;
e. ketentuan mengenai alternatif
dan persentase pembagian surplus underwriting; dan
f.
ketentuan lain yang disepakati.
Beberapa ketentuan yang telah ditetapkan di atas, menjadi acuan pembuatan
suatu perjanjian di antara perusahaan asuransi syari’ah dan peserta dalam akad tabarru’.
Ketentuan-ketentuan tersebut harus adil dan berimbang sebagaimana asas
konsensualitas dan kebebasan berkontrak, serta tidak adanya unsur penipuan dan
paksaan.
2.
Akad
Tijārah
Akad tijārah merupakan salah satu akad dalam ekonomi syari’ah
yang digunakan untuk tujuan komersial (for profit transaction).
Bentuk akad yang digunakan pada akad tijārah
(dalam hal asuransi syari’ah) adalah akad wakālah bil ujrah,
akad muḍārabah, dan akad muḍārabah musytarakah.
Ketentuan akad tijārah dapat beralih menjadi akad tabarru' apabila
pemilik dana (ṣaḥibul māl) bersedia melepaskan haknya,
sehingga perusahaan tidak mempunyai kewajiban apapun terhadap pemilik dana.
Akad tijārah digunakan untuk mengelola dan dari premi yang
dibayarkan oleh peserta kepada perusahaan yang berkedudukan sebagai pengelola (muḍārib),
sedangkan peserta diposisikan sebagai pemilik dana
(ṣāḥibul māl). Apabila perjanjian berakhir karena
sebab tertentu, maka premi yang menggunakan akad tijārah harus dikembalikan
beserta bagi hasilnya.
Adapun jenis-jenis akad tijārah pada praktik asuransi
syari’ah sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan adalah
sebagai berikut:
a. Akad Wakālah bil Ujrah
(Agency)
Akad wakālah bil ujrah adalah suatu akad dengan memberikan kewenangan kepada perusahaan
asuransi untuk mengelola dana peserta dengan memberikan suatu ujrah (fee)
tertentu. Akad ini dapat digunakan pada produk asuransi yang memuat unsur
tabungan (saving, maupun tabarru’ (non-saving). Akan tetapi jika akad wakālah bil
ujrah digunakan untuk mengelola dana tabarru’, maka perusahaan wajib
melakukan pemisahan antara dana dari
akun tabarru’ dan dana dari akun tijārah.
Akad wakālah sejatinya adalah kontrak yang tidak mengikat
dengan artian, bahwa baik yang diwakilkan (pemberi kuasa: dalam hal ini pemilik
modal) ataupun agen (penerima kuasa: dalam hal ini perusahaan asuransi) boleh
menarik diri kapanpun dengan persetujuan bersama, meskipun batas waktu di dalam
kontrak belum berakhir. Hal tersebut berangkat dari pemahan definisi akad wakālah
itu sendiri (Muchtar & Najma,
2019).
Meskipun akad wakālah tidak mengikat seperti akad lainnya,
namun kedudukan serta ketentuannya tetap mengikat dan menjadi hukum bagi para
pihak. Adapun beberapa ketentuan yang
terdapat dalam akad wakālah bil ujrah antara lain:
1) perusahaan merupakan wakil atau
penerima kuasa untuk mengelola dana;
2) peserta baik secara individu
ataupun kelompok dalam produk saving dan tabarru’, bertindak
sebagai muwakkil (pemberi kuasa);
3) perusahaan tidak diperkenankan
untuk mewakilkan kembali atas kuasa yang diterimanya kepada pihak lain, kecuali
adanya izin dari pemberi kuasa;
4) akad wakālah
bersifat amanah (yad amānah) dan bukan merupakan tanggungan (yad ḍaman).
Dengan demikian, penerima kuasa tidak menanggung risiko terhadap kerugian
investasi dengan mengurangi biaya yang telah diterimanya, kecuali kerugian
tersebut disebabkan oleh kelalaian atau wanprestasi yang dilakukan penerima
kuasa;
5) erusahaan tidak berhak menerima
bagian dari keuntungan investasi, karena akad yang digunakan adalah akad wakālah (Nomor,
2AD).
Ketentuan akad wakālah bil ujrah selanjutnya diatur secara
rinci dalam Peraturan Menteri Keuangan dengan memuat ketentuan
sekurang-kurangnya:
1) Adanya objek yang diberikan
kuasa untuk pengelolaannya;
2) Aturan mengenai hak dan
kewajiban peserta baik secara kolektif dan/atau individu sebagai pemberi kuasa;
3) Aturan hak dan kewajiban
penerima kuasa termasuk kewajiban untuk bertanggungjawab terhadap segala bentuk
kerugian yang terjadi dalam mengelola risiko dan/atau mengelola investasi yang
disebabkan oleh kesalahan yang disengaja, kelalaian, atau wanprestasi yang
dilakukan oleh penerima kuasa;
4) Aturan mengenai batasan kuasa
atau kewenangan yang diberikan;
5) Ketentuan mengenai jumlah, cara
serta waktu pemotongan upah (fee);
6) ketentuan lain yang disepakati.
Beberapa ketentuan dalam akad wakālah bil ujrah yang telah
diatur sedemikian rupa, merupakan suatu ketentuan yang harus dipatuhi bersama
agar pihak pemberi kuasa ataupun penerima kuasa dapat memberikan kepercayaan
terhadap satu sama lain. Pelaksanaan wakālah bil ujrah harus
dilakukan dengan bijaksana agar tujuan akad tersebut, yaitu investasi berjalan dengan
baik dan memperoleh keuntungan.
b. Akad Muḍārabah (Partnership)
Akad muḍārabah adalah akad kerjasama atas suatu usaha
tertentu di antara satu pihak sebagai pemilik modal (ṣāḥibul
māl) dan pihak lain sebagai pengelola, dengan ketentuan keuntungan
dibagi berdasarkan nisbah yang disepakati (Al-Jaziri, 1991). Sedangkan apabila usaha yang
dijalankan itu tidak berjalan dengan baik sampai mengalami kerugian, maka
kerugian tersebut ditangguh penuh oleh pemilik modal selama tidak ditemukan
adanya unsur kesengajaan, kelalaian dan wanprestasi yang dilakukan oleh si pengelola (MA’INAH &
MAZHAB, n.d.). Dalam kaitannya dengan
asuransi syari’ah, peserta asuransi berkedudukan sebagai pemilik dan penyedia
seluruh modal (ṣāḥibul māl), dan perusahaan
asuransi berkedudukan sebagai pengelola (muḍārib).
Sebagaimana akad wakālah pada pembahasan sebelumnya, akad muḍārabah
pada prinsipnya juga merupakan akad yang tidak mengikat (akad jāiz). Oleh
karena itu, baik pemilik modal ataupun pengelola, boleh membatalkan kontrak
dengan syarat harus adanya persetujuan bersama di antara mereka (AL-GHAZZI, n.d.).
Meskipun akad muḍārabah digolongkan kepada akad jāiz,
namun ketentuan-ketentuan akad muḍārabah harus diatur dan
ditetapkan sedetail mungkin demi tercapainya perlindungan hukum serta kepastian
di antara pihak. Ketentuan tersebut harus memuat paling sedikit antara lain:
1) hak dan kewajiban peserta
secara kolektif dan/atau individu sebagai ṣāḥibul māl
(pemilik dana);
2) hak dan kewajiban perusahaan
sebagai muḍārib (pengelola dana);
3) batasan kewenangan yang
diberikan peserta kepada perusahaan;
4) pembagian, cara dan waktu
pembagian keuntungan; dan
5) ketentuan lain yang disepakati.
Akad muḍārabah yang diterapkan pada sistem perbankan
dan yang diterapkan pada asuransi syari’ah mempunyai perbedaan dalam
pelaksanaannya. Di dalam sistem perbankan, biasanya pemilik modal adalah bank
dan pengelolanya adalah nasabah. Sementara dalam asuransi syari’ah adalah
kebalikannya. Oleh karena itu, akad muḍārabah dalam asuransi
syariah adalah akad muḍārabah-musytarakah. Akan tetapi,
ketentuan umum akad muḍārabah tetap melekat dan harus
dipenuhi dalam sistem asuransi syari’ah.
Sakir Sula dalam bukunya memberikan gambaran terhadap pengimplementasian
akad muḍārabah pada asuransi syari’ah. Ia menggambarkan bahwa
ketentuan muḍārabah harus dihitung berdasarkan pada kinerja
yang sebenarnya. Selain itu, pembayaran tidak dilakukan dengan cara offset secara
langsung dengan premi renewel kecuali atas permintaan peserta. Oleh karena
itu, pembayaran muḍārabah tidak dapat dilakukan di muka.
Mengenai persyaratan pembayaran muḍārabah, juga harus
dilakukan ketika polis telah jatuh tempo, premi (kontribusi) telah dibayar
penuh, serta tidak ada pembayarnn klaim selama periode convered.
Sementara mengenai perhitungan muḍārabah, dilakukan dengan
formula periode takāful (perusahaan, kontribusi, tanggal
pembayaran, dan rate muḍārabah.
Adapun mengenai tata cara perhitungan muḍārabah, besarnya
muḍārabah yang dihitung, diperoleh dengan cara rata-rata
tertimbang dari surplus underwraiting. Selain itu, rasio muḍārabah
dapat diperoleh dengan membagi
rata-rata tertimbang muḍārabah yang akan dibagikan dengan
premi bruto rata-rata dan dibulatkan ke atas.
Mengenai tata cara pembayaran muḍārabah, cadangan muḍārabah
harus dibagikan kepada peserta yang selesai masa pertanggungannya dengan
menggunakan rate atas premi yang disetor oleh peserta. Sedangkan
kriteria peserta, adalah peserta yang yang tidak mendapatkan manfaat klaim.
Oleh karena itu, peserta yang melakukan keterlambatan pelunasan, diberikan muḍārabah
secara proporsional. Peserta yang telah jatuh tempo polis
asuransinya, dikirimi surat konfirmasi untuk menentukan pembayaran muḍārabah.
Pengiriman surat konfirmasi tersebut, bersamaan dengan pengiriman surat
konfirmasi perpanjangan yang dilakukan customer care. Apabila peserta
memberikan konfirmasi muḍārabah, maka diserahkan ke divisi
keuangan untuk segera dibayarkan.
Sistem pembayaran muḍārabah kepada peserta, dapat
dilakukan melalui bank dengan cara transfer, pemberian dalam bentuk cek, atau
diberikan secara tunai. Selain itu, dapat juga melalui koperasi peserta. Pembayaran
dapat diberikan kepada lembaga zakat, berdasarkan persetujuan peserta.
c. Akad Muḍārabah Musytarakah
Akad muḍārabah musytarakah—(perpaduan akad muḍārabah
dan akad musyarakah)—adalah akad muḍārabah yang
pengelola atau muḍāribnya (dalam hal ini perusahaan asuransi
syari’ah) turut menyertakan modalnya dalam kegiatan usaha yang
disepakati. Artinya perusahaan asuransi selain bertindak sebagai pengelola
dana, juga sekaligus menjadi pemilik dana itu sendiri. Merujuk kepada fatwa
DSN-MUI, mekanisme pembagian hasil investasi dalam akad muḍārabah
musytarakah adalah sebagai berikut: (Ubaidillah, 2022)
Cara pertama :
1) hasil investasi dibagi terlebih
dahulu antara perusahaan asuransi (sebagai muḍārib) dengan peserta
(sebagai ṣāḥibul māl) sesuai dengan nisbah yang disepakati;
2) bagian hasil investasi sesudah
disisihkan untuk perusahaan asuransi (sebagai muḍārib),
dibagi antara perusahaan asuransi (sebagai musytarik) dengan peserta
sesuai dengan porsi modal atau dana masing-masing.
Cara kedua :
1) hasil investasi dibagi secara
proporsional antara perusahaan asuransi (sebagai musytarik) dengan
peserta berdasarkan porsi modal atau dana masing-masing;
2) bagian hasil investasi sesudah
disisihkan untuk perusahaan asuransi (sebagai musytarik) dibagi antara
perusahaan asuransi sebagai muḍārib dengan peserta sesuai
dengan nisbah yang disepakati.
Dalam akad muḍārabah musytarakah sebagaimana ketentuan yang diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip
Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip
Syari’ah dan juga dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan, harus memuat
ketentuan sekurang-kurangnya:
1) hak dan kewajiban peserta
secara kolektif dan/atau secara individu sebagai ṣāḥibul
māl (pemilik dana);
2) hak dan kewajiban perusahaan
sebagai muḍārib (pengelola dana) termasuk kewajiban
perusahaan untuk menanggung seluruh kerugian yang terjadi dalam kegiatan
pengelolaan investasi yang diakibatkan oleh kesalahan, kelalain, atau
wanprestasi yang dilakukan perusahaan secara sengaja;
3) batasan wewenang yang diberikan
peserta kepada perusahaan;
4) cara dan waktu penentuan besaran kekayaan peserta dan kekayaan
perusahaan;
5) bagi hasil (nisbah), cara, dan
waktu pembagian hasil investai; dan
6) ketentuan lain yang disepakati.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam fatwa MUI serta
Peraturan Menteri Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan tersebut, maka perbedaan
yang mendasar antara akad muḍārabah dan muḍārabah
musytarakah adalah terletak pada penyertaan modal. Dalam akad
muḍārabah, perusahaan hanya bertindak sebagai
muḍārib (pengelola dana/penerima kuasa) dan seluruh dana murni
bersumber dari peserta. Sementara dalam akad muḍārabah musytarakah,
perusahaan bukan hanya bertindak sebagai muḍārib (pengelola
dana/penerima kuasa), tetapi juga sebagai investor atau pemilik dana untuk
kegiatan suatu usaha yang diperjanjikan (Rampai, n.d.). Dengan demikian, maka
perusahaan asuransi syari’ah dalam akad muḍārabah musytarakah menduduki
tiga posisi (peran) yaitu, sebagai wakil (penerima kuasa), sebagai muḍārib
(pengelola), dan sebagai syārik (pemberi modal).
Dari beberapa akad di atas, yang lebih disukai dalam penggunaannya adalah
akad wakālah bil ujrah. Akad wakālah lebih disukai
karena dianggap memberikan perlindungan asuransi yang lebih baik daripada jenis
akad muḍārabah dan akad muḍārabah musytarakah.
Hal itu didasarkan pada asumsi bahwa peran perusahaan sebagai muḍārib
dan/atau sebagai syārik
lebih dominan daripada peserta (pemilik modal). Sedangkan apabila berkaitan dengan dana tabarru’, dalam
akad wakālah memisahkannya menjadi dana risiko (risk fund) dan
dana investasi (invesment fund). Dana risiko diperuntukkan untuk
membayar klaim/santunan terhadap pihak yang membutuhkan ataupun peserta yang
mengalami kerugian. Sementara dana investasi, digunakan untuk usaha investasi
dengan prinsip syari’ah (Ashal, 2017).
Banyaknya ketentuan dan aturan mengenai penerapan akad-akad umum dalam
asuransi syari’ah merupakan suatu upaya preventif atas terjadinya hal-hal yang
dapat merugikan pihak, terutama peserta asuransi. Hal itu tentu saja berangkat
daripada definisi asuransi itu sendiri yang mana adalah sebagai lembaga
penjamin, dan bukan sebagai lembaga keuangan yang berorientasi kepada pengembangan
dana. Dengan demikian, praktik investasi yang dilakukan oleh lembaga asuransi
syari’ah yang melibatkan peserta secara langsung, harus dilakukan pengawasan
secara baik demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan
syari’ah di Indonesia.
Kesimpulan
Dari hasil
pembahasan di atas tentang akad-akad umum dalam penyelenggaraan asuransi
syari’ah di Indonesia, serta ketentuan-ketentuannya, maka dapat diambil
beberapa kesimpulan antara lain:
1.
Asuransi
syari’ah adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih dimana pihak yang satu
merupakan pengelola yang bertindak sebagai penanggung, dan pihak lain sebagai
pemberi dana yang bertindak sebagai tertanggung. Kegaiatan asuransi harus
berdasarkan prinsip syari’ah dengan tujuan utama untuk tolong-menolong sesama
peserta, dan di sisi lain juga sebagai kegiatan berinvestasi untuk mencari
keuntungan.
2.
Akad
tabarru’ merupakan akad dengan bentuk hibah, dan akad untuk pengelolaan
dana. Akan tetapi, meskipun dana tabarru’ merupakan dana hibah, lembaga
asuransi yang merupakan lembaga profit oriented diperbolehkan untuk
menginvestasikan dana tersebut agar lebih produktif.
3.
Akad tijārah
adalah akad dengan jenis bisnis atau komersial. Akad ini lebih cenderung kapada
orientasi keuntungan. Pelaksanaan asuransi dengan akad tijārah
memberikan pengelolaan secara penuh kepada pihak perusahaan, dengan harapan
dana yang dikumpulkan dapat diinvestasikan dalam bentuk usaha berprinsip syari’ah
dengan keuntungan dibagi sesuai porsi dalam akad.
4.
Akad muḍārabah
adalah bagian dari akad tijārah yang mana peserta asuransi
bertindak sebagai ṣāḥibul māl dan perusahaan
asuransi bertindak sebagai muḍārib. Dalam akad ini peserta
menyetorkan sejumlah premi untuk diinvestasikan, sementara muḍārib
adalah pengelolanya. Keuntungan dari hasil investasi adalah profit sharing
sesuai dengan akad dalam perjanjian.
5.
Akad muḍārabah
musytarakah yang juga merupakan bagian akad tijārah adalah akad
yang pengelola dana, juga menyertakan modalnya terhadap kegiatan investasi yang
diperjanjikan. Sistem keuntungan dari investasi dibagi berdasarkan modal yang
disetor sesuai dengan yang telah diperjanjikan akad.
DFTARPUSTAKA
Ajib, Muhammad. (2019).
Asuransi syariah.
Al-Ghazzi, I. B. N. Qasim. (N.D.). Produk
Standar Ekonomi Syariah Dalam Kitab Fath Al-Qarib Al-Mujib Karya Muhammad.
Al-Jaziri, Abdul Rahman. (1991). Al-Fiqh’ala
al-Mazahib al-Arba’ah. Hakikat Kitabevi.
Amrin, Abdullah. (2006). Sharia
Insurance. PT. Elex Media Komputindo Gramedia Group: Jakarta.
Anwar, Khoiril. (2007). Asuransi
syariah, halal & maslahat. Tiga Serangkai.
Ashal, Farid Fathony. (2017).
Kedudukan Akad Tijarah dan Akad Tabarru’Dalam Asuransi Syariah. HUMAN FALAH:
Jurnal Studi Ekonomi Dan Bisnis Islam, 3(2), 238–252.
Azizah, Imaniar Mahmuda Umi
Karimatul. (2019). Studi Komparasi Asuransi Syariah Dengan Asuransi
Konvensional. Al Yasini: Jurnal Keislaman, Sosial, Hukum Dan Pendidikan,
4(1), 56–69.
Fadilah, Amalia, & Makhrus,
Makhrus. (2019). Pengelolaan dana tabarru’pada asuransi syariah dan relasinya
dengan fatwa dewan syariah nasional. Jurnal Hukum Ekonomi Syariah, 2(1),
87–103.
Fauzi, Wetria. (2019). Hukum
Asuransi di Indonesia. Padang. Andalas University Press. Ichsan, Reza
Nurul.(2020). Pengaruh Sistem ….
Hidayat, Enang. (2018). Transaksi
Ekonomi Syariah. Remaja Rosda Karya.
Ichsan, Nurul. (2014). Pengantar
Asuransi Syariah. Referensi (Gaung Persada Press Group).
Ma’inah, M. U. D., & Mazhab,
Perbandingan. (N.D.). Ketentuan Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
Pembunuhan Studi Komparasi Antara Hukum Positif Dan.
Muchtar, Evan Hamzah, & Najma,
Siti. (2019). Aplikasi Sistem Keuangan Syariah pada Pasar Uang. Jurnal
Asy-Syukriyyah, 20(1), 1–25.
Nomor, Peraturan Mahkamah Agung.
(2AD). Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah. Analisa Bahan
Hukum Yang Digunakan Dalam Penelitian Tesis Ini Adalah.
Rafsanjani, Haqiqi. (2016). Akad
Tabarru’Dalam Transaksi Bisnis. Jurnal Masharif Al-Syariah: Jurnal Ekonomi
Dan Perbankan Syariah, 1(1).
Rampai, Bunga. (n.d.). Mindset.
Sudarsono, Heri. (2018). Bank dan
Lembaga Keuangan Syariah; deskripsi dan ilustrasi. Ekonisia FE UII.
Sula, Muhammad Syakir. (2004). Asuransi
syariah: life and general: konsep dan sistem operasional. Gema Insani.
Ubaidillah, M. Ibnu. (2022). Implementasi
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 51/DSN MUI/III/2006 Tentang Akad Mudharabah
Mustarakah Pada Asuransi Syariah Di PT. Aj Central Asia Raya Cabang Cirebon.
S1 Hukum Ekonomi Syariah/Muamalah IAIN Syekh Nurjati Cirebon.