EVALUASI MANAJEMEN PERPAJAKAN ATAS PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (STUDI KASUS PADA PERUSAHAAN START-UP X)

 

Mardhiyah Alfath Annisaa, Siti Nuryanah

Universitas Indonesia

mardhiyah.alfath11@ui.ac.id

 

 

Abstrak

Kondisi perusahaan Startup identik dengan situasi keuangan yang terus merugi. Meskipun dalam kondisi merugi, Startup tetap memiliki kewajiban menjalankan administrasi perpajakannya. Pelaku usaha apapun termasuk Startup dapat berpotensi menerima STP dan sanksi pajak jika tidak menjalankan kewajiban perpajakannya dengan benar. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi manajemen pajak PT X agar meminimalisasi pengenaan sanksi pajak dan timbulnya beban pajak atas pelaksanaan kewajiban dan haknya terkait PPN. Ruang lingkup penelitian dibatasi pada manajemen pajak atas pelaksanaan kewajiban dan hak PKP terkait PPN pada PT X tahun 2020-2022. Proses evaluasi dihubungkan dengan potensi biaya kepatuhan saat menjalankan manajemen perpajakannya dari tahapan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian. Melalui metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus, penelitian ini menggunakan triangulasi dengan cara analisa dokumentasi terkait PPN serta menganalisis wawancara dengan informan yang berhubungan terkait pengelolaan pajak PT X. Hasil penelitian menunjukkan PT X sudah menerapkan manajemen perpajakan atas pelaksanaan kewajiban dan haknya terkait PPN dengan baik. Namun, PT X dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas manajemen perpajakannya dengan membuat SOP baku tertulis serta menjalankan rekomendasi untuk meminimalisasi permintaan perubahan faktur pajak serta mengatasi faktur pajak tidak valid.

 

Kata kunci: Manajemen Pajak, Kepatuhan Pajak, Pajak Pertambahan Nilai, Start-up

 

Abstract

The current situation of a Startup is the condition of losing money. Even though they are at a loss, Startups still should carry out their tax administration. Any business actor, including Startups, can receive STP and sanctions if they don’t fulfill their tax obligations correctly. This research was conducted to evaluate the tax management implemented by PT X to minimize the imposition of tax sanctions and the emergence of a tax burden on the implementation of its obligations and rights related to VAT. The scope of this research is limited to tax management activities for implementing the obligations and rights of PKP related to VAT at PT X from 2020 to 2022. The evaluation process is related to the compliance costs borne by PT X when carrying out its tax management from stages of planning, organizing, implementing, and controlling. Using a qualitative method with a case study approach, this research uses triangulation through examining documents related to VAT and analyzing interviews with informants responsible for tax management of PT X. The results show that PT X has properly implemented tax management to fulfill its VAT obligations. PT X can improve the efficiency and effectiveness of its tax management by making written SOP and strengthening the management of tax invoices to minimize/prevent invalid tax invoices.

 

Keywords: Tax Management, Tax Compliance, Value Added Tax, Start-up

 

Pendahuluan  

Perkembangan pengguna internet yang sangat masif telah memberikan peluang digitalisasi pada sektor ekonomi yang ditandai dengan naiknya eksistensi dari bisnis rintisan atau lebih dikenal dengan istilah Startup (Sri Adiningsih, 2019). Berdasarkan laporan Startup Ranking yang disajikan dari laman Startupranking.com (2022), Indonesia termasuk dalam sepuluh besar daftar Startup terbanyak di dunia dengan memiliki 2.347 Startup per tahun 2022. Angka ini tergolong sangat potensial untuk meningkatkan pos pendapatan negara, khususnya dari penerimaan pajaknya. Salah satu penyumbang realisasi penerimaan pajak terbesar bagi negara berasal dari komponen Pajak Pertambahan Nilai. Kompleksitas struktur ekonomi digital tentunya menjadi tantangan baru bagi pemerintah untuk dapat memformulasikan kebijakan yang sesuai dengan dinamika kegiatan ekonomi perusahaan Startup digital saat ini (Wijaya, 2019).

Keberadaan perusahaan Startup sendiri dapat dikatakan sedikit berbeda dengan bisnis konvensional yang memiliki kecenderungan fokus mengejar profit (Muttaqin, 2020). Tren yang berkembang di bisnis Startup adalah kondisi perusahaan yang merugi sambil mengejar valuasi. Namun, hal yang perlu diperhatikan bagi para pelaku bisnis Startup adalah situasi keuangan perusahaan yang merugi tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengabaikan kewajiban perpajakannya. Meskipun keberadaan beberapa jenis bisnis Startup tergolong baru dan unik, ketentuan perpajakannya tetap menyesuaikan dengan peraturan perpajakan yang telah berlaku sembari menunggu terbitnya peraturan tambahan yang mengaturnya lebih lanjut.

Peraturan perpajakan yang berlaku sampai sekarang masih dapat digunakan sebagai pedoman bagi perusahaan Startup dalam menjalankan administrasi perpajakannya sebagai Wajib Pajak dan Pengusaha Kena Pajak. Namun, beberapa pendiri Startup cenderung memiliki indikasi pemahaman yang minim terkait perpajakan. Dilansir dari laman (Maxmanroe, 2019) yang memaparkan analisa iPrice Group dan perusahaan Ventura terkait latar belakang pendidikan dari pendiri Startup yang minimal sudah mendapatkan pendanaan seri-A diketahui bahwa sejumlah 43 dari 102 orang pendiri Startup memiliki latar belakang pendidikan dengan jurusan teknologi, sehingga perhatian utama mereka cenderung tertuju pada mengeksplor dunia digital sebanyak mungkin. Kondisi ini dapat menyebabkan teralihnya perhatian pihak manajemen perusahaan saat mengurusi kepentingan perpajakannya. Sejatinya, pelaku usaha apapun termasuk Startup dapat berpotensi mendapatkan Surat Tagihan Pajak (STP) serta sanksi pajak jika tidak menjalankan kewajiban perpajakannya dengan benar. Hal ini juga berlaku bagi salah satu Startup bidang pendidikan yang dijadikan sebagai objek dalam penelitian ini.

Pada penelitian ini akan membahas salah satu Startup bidang pendidikan yang sudah berdiri lebih dari lima tahun namun masih cukup sering mendapatkan produk hukum pajak seperti Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK), Surat Tagihan Pajak (STP) dan sanksi pajaknya. SP2DK diterbitkan untuk meminta penjelasan atas data dan/atau keterangan kepada Wajib Pajak terhadap dugaan belum dipenuhinya kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Sedangkan terbitnya produk hukum STP disebabkan oleh beberapa kondisi, diantaranya oleh keterlambatan membayar kekurangan pajak terutang serta keterlambatan untuk melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) masa atau tahunan. Startup X sendiri sudah beberapa kali mendapatkan SP2DK terkait kesesuaian pengisian dan pelaporan dari faktur pajak, bukti pembayaran dan SPT Masa PPN. Selain itu, Startup X juga cukup sering menerima STP atas kelalaiannya menjalankan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada tahun-tahun awal dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak. Pemberian produk hukum dan sanksi pajak ini dapat menjadi salah satu indikasi bahwa belum dijalankannya manajemen perpajakan di Startup X secara optimal. Oleh karena itu pada 3 tahun terakhir Startup X mulai membenahi pelaksanaan kewajiban perpajakannya dengan melakukan beberapa tindakan yang mengarah pada manajemen perpajakan. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi manajemen pajak yang telah diterapkan oleh Startup X, khususnya dalam menjalani kewajiban dan haknya terkait PPN.

Pemilihan fokus penelitian pada klaster PPN sejalan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak termasuk Pengusaha Kena Pajak sehingga dapat membantu mencapai target penerimaan pajak sesuai rancangan APBN yang telah dibuat. Pada situasi yang dialami oleh Startup X memiliki kecenderungan potensi ketidakpatuhan pada aspek PPN jika dibandingkan dengan jenis pajak lainnya. Hal ini dapat diketahui dari intensitas produk hukum dan sanksi pajak yang diterima oleh Startup X hampir selalu berkenaan dengan PPN. Kondisi PPN yang memiliki status lebih bayar secara terus menerus juga perlu diantisipasi dengan pengelolaan pelaksanaan kewajiban PKP secara benar sehingga Startup X selalu siap dan tidak khawatir jika sewaktu-waktu dilakukan pemeriksaan. Dengan naiknya popularitas Startup saat ini membuat kondisi bisnis menjadi lebih kompleks seiring meningkatnya jumlah transaksi setiap bulan, sehingga Startup X yang terus bertumbuh perlu melakukan peninjauan dan menyesuaikan manajemen perpajakannya secara optimal agar bisa meminimalisasi sanksi pajak sekaligus menurunkan biaya kepatuhan yang timbul serta meningkatkan profit bagi perusahaan. Startup X perlu memperhatikan bagaimana pengelolaan keuangannya pada hal-hal yang bersifat prioritas agar operasional perusahaan tidak terganggu dan tidak mempengaruhi keberlangsungan usaha. Selain itu, adanya beberapa penyesuaian ketentuan PPN terbaru yang diatur pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan mengenai perubahan ketentuan jasa Pendidikan yang sebelumnya termasuk sebagai kelompok bukan objek PPN namun saat ini beralih menjadi objek PPN yang mendapatkan fasilitas PPN dibebaskan. Perubahan ketentuan perlakuan objek PPN ini secara otomatis juga dapat berpotensi memengaruhi proses pelaksanaan kewajiban perpajakan Startup X sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Penelitian terdahulu terkait manajemen pajak sudah banyak dilakukan. Diantaranya oleh (Wiratama, 2021) yang melakukan evaluasi manajemen pajak atas kredit pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai Bendaharawan khususnya terkait dengan pengelolaan kredit pajak penghasilan Pasal 22 dan PPN perusahaan penyedia barang atau jasa pemerintah. Selanjutnya, (Setyaningsih & Indrawan, 2023) juga melakukan evaluasi manajemen pajak atas sengketa PPN di Badan Usaha Minyak dan Gas. (Setyaningsih & Indrawan, 2023) menganalisis kronologi dan penyebab sengketa pajak PPN gas bumi PGN untuk tahun pajak 2012 hingga 2017, mengevaluasi pengelolaan sengketa pajak PPN gas bumi yang dilakukan oleh PGN, dan merekomendasikan manajemen pajak PPN gas bumi yang seharusnya dilakukan oleh badan usaha minyak dan gas. Berbeda pembahasan dengan penelitian terdahulu, penelitian ini memiliki fokus pada perusahaan Startup yang sedang booming di Indonesia. Secara nature perusahaan Startup ini merupakan perusahaan baru dimana selain untuk dapat bertahan, perusahaan juga harus taat kepada setiap aturan termasuk aturan perpajakan. Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi manajemen perpajakan terkait PPN PT X yang merupakan perusahaan Startup di bidang pendidikan. Evaluasi manajemen pajak ini terkait dengan pelaksanaan kewajiban dan hak perusahaan sebagai Pengusaha Kena Pajak atas transaksi atau aktivitas yang berkaitan dengan PPN.

Susunan penulisan penelitian ini terdiri dari pendahuluan yang membahas latar belakang dari masalah yang akan diteliti, kemudian pada bagian tinjauan teoritis akan memaparkan teori-teori serta kerangka pemikiran yang menunjang dalam penelitian ini. Selanjutnya pada bagian desain penelitian akan dijelaskan jenis penelitian, sumber data penelitian hingga kriteria yang digunakan untuk menilai manajemen pajak yang baik. Dari kriteria yang sudah ditentukan, pada bagian hasil penelitian akan dipaparkan evaluasi dari setiap tahapan manajemen pajak termasuk rekomendasi yang dapat meningkatkan optimalisasi penerapan manajemen pajaknya. Terakhir pada bagian kesimpulan, implikasi dan batasan penelitian akan disimpulkan apakah manajemen pajak yang diterapkan sudah terlaksana dengan baik atau belum, serta memberikan rekomendasi pada penelitian selanjutnya dari keterbatasan yang dimiliki oleh penelitian ini.

Istilah Startup yang sedang popular di era digital ini tidak memiliki definisi yang mutlak dan sering ditemukan adanya perbedaan pendapat diantara para ahli. Seorang pemodal ventura yang bernama Paul Graham mendefinisikan Startup sama dengan pertumbuhan (Robehmed, 2013). Suatu perusahaan yang dirancang untuk berkembang dengan cepat dapat disebut sebagai Startup. Ruang lingkup bidang Startup tidak selalu berkaitan pada teknologi, atau mengambil dana ventura. Selain itu, tidak semua perusahaan baru dapat dikategorikan sebagai Startup karena hal yang dianggap paling penting dari Startup adalah perkembangan yang cepat dari perusahaan itu sendiri.

(Maxmanroe, 2020) menyebutkan bahwa istilah Startup banyak dikaitkan dengan segala hal yang berbau teknologi, website, aplikasi, internet dan yang berhubungan dengan ranah tersebut. Hal ini dikarenakan istilah Startup sendiri mulai popular secara internasional pada masa buble dot-com yang terjadi pada periode 1998 hingga 2000 dimana banyak perusahaan sedang gencar-gencarnya membuka website pribadi (dot-com) yang didirikan secara bersamaan. Selanjutnya (Maxmanroe, 2020) juga mengutip pernyataan Rama Mamuaya selaku CEO Dailysocial.net yang mengelompokkan Startup di Indonesia menjadi tiga kelompok yaitu Startup pencipta game, aplikasi edukasi dan perdagangan seperti e-commerce dan portal informasi.

Istilah Manajemen pajak menurut Lumbantoruan dalam (Suandy, 2011) adalah sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar, tetapi jumlah yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan. Pendapat Lumbantoruan ini selaras dengan pendapat dari (Pohan, 2013) yang menyatakan bahwa manajemen pajak adalah suatu usaha menyeluruh yang dilakukan oleh manajer pajak dalam suatu perusahaan atau organisasi agar semua hal yang berhubungan dengan urusan perpajakan dapat dikelola dengan baik, efektif dan efisien, sehingga dapat memberikan kontribusi maksimum bagi perusahaan. (Santoso & Rahayu, 2018) menyatakan bahwa efisien dapat dilihat dari efisiensi pemanfaatan dana, penerapan strategi penghematan tanpa menimbulkan masalah perpajakan di masa mendatang, serta pelaksanaan tugas administrasi perpajakan secara memuaskan dalam konteks waktu dan biaya yang terukur. Sedangkan untuk definisi efektif sendiri berkaitan dengan pengukuran bahwa semua pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban dilakukan secara full compliance serta tindak pengawasan otoritas pajak berupa pemeriksaan dan verifikasi pajak dapat dilayani secara memuaskan tanpa adanya distorsi atas kegiatan operasional perusahaan sehari-hari.

Manajemen pajak merupakan upaya sistematis yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian di bidang perpajakan. Tujuan utama dari dilakukannya manajemen pajak menurut (Pohan, 2013) adalah untuk melaksanakan kewajiban perpajakan dengan benar dan meminimalkan beban pembayaran pajak untuk memaksimalkan keuntungan. Untuk mewujudkan tujuan utama dari manajemen pajak ini, maka perlu disusun strategi pajak yang tepat. (Pohan, 2013) menjabarkan beberapa strategi pajak yang dapat ditempuh untuk meminimalkan beban pajak secara legal, salah satunya dengan menghindari pelanggaran peraturan. Dalam melaksanakan manajemen pajaknya, timbul biaya kepatuhan (Compliance cost) sebagai bagian dari beban yang harus ditanggung oleh Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Dalam compliance cost tidak hanya mencakup biaya yang dapat diukur dengan uang (tangible), tetapi juga biaya yang tidak dapat diukur dengan uang (intangible) yang ditanggung oleh Wajib Pajak dalam proses pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakannya. Compliance cost terbagi menjadi tiga (Irianto, Rosdiana, Sunaryo, Tambunan, & Inayati, 2017), yaitu Fiscal Cost, Time Cost, dan Psychological Cost.

 

 

Metode

Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus.  (Creswell & Creswell, 2017) menjelaskan bahwa studi kasus sebagai sebuah strategi penelitian kualitatif dimana peneliti mengkaji suatu program, kejadian, aktivitas, proses atau satu atau lebih individu secara lebih mendalam. Kasus yang dikaji akan dibatasi oleh waktu dan aktivitas, sehingga peneliti harus mengumpulkan informasi yang detail dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data selama periode waktu tertentu. Penelitian ini menggunakan metode triangulasi sumber data dan triangulasi metode untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik atas permasalahan yang diteliti. Triangulasi adalah metode pengumpulan data yang menggabungkan berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data (Sugiyono, 2018). Triangulasi sumber data terdiri dari dokumen milik PT X berupa faktur pajak, bukti pembayaran, bukti pelaporan, kontrak dan invoice serta hasil wawancara dengan para narasumber, sedangkan pada triangulasi metode terdiri dari metode dokumentasi dan metode wawancara. Untuk metode pengambilan sampel dalam penelitian dilakukan secara purposive karena sampel yang dipilih telah melalui pertimbangan dan tujuan tertentu yang sejalan dengan maksud penelitian. Oleh karena itu penelitian ini menggunakan informan dari Wajib Pajak (PT X) dan Konsultan Pajak dengan kriteria memiliki pengetahuan atau pengalaman atas pembahasan pelaksanaan hak dan kewajiban PKP.

 

Hasil dan Pembahasan

Perencanaan Pajak

Dari hasil wawancara dengan narasumber pihak PT. X menunjukkan bahwa selama tahun 2020 hingga 2022 PT X sudah memiliki perencanaan pajak untuk setiap pelaksanaan kewajiban dan haknya sebagai Pengusaha Kena Pajak. Tabel 1 berikut menyajikan bentuk perencanaan pajak sesuai dengan kewajiban dan haknya dalam menjalankan administrasi Pajak Pertambahan Nilai:

 

Tabel 1: Perencanaan PPN PT X

Variabel Kewajiban & Hak PKP

Manajemen Pajak PT X

Pemungutan PPN

Pengawasan pembuatan kontrak kerja dan penerbitan Invoice

Penyetoran PPN

Pengawasan pembayaran PPN Jasa Luar Negeri

Pelaporan PPN

1.   Pengawasan batas waktu dan proses pelaporan PPN

2.   Pemanfaatan proses Pelaporan dari Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan

Penerbitan Faktur Pajak

Pengawasan kesesuaian penerbitan faktur pajak

Pengkreditan PPN

1.    Pengawasan Penerimaan Faktur Pajak Masukan

2.    Pengkreditan Pajak Masukan dengan metode proporsional

Penentuan Opsi atas kondisi Lebih Bayar

Pemilihan opsi Kompensasi atas SPT PPN Lebih Bayar

Sumber: Diolah Penulis (2023)

 

Secara keseluruhan perencanaan pajak yang didesain oleh PT X telah memenuhi ketentuan dari syarat manajemen pajak yang baik dinilai sudah mencapai tujuan efisien sebagai bagian dari tahapan manajemen perpajakan. Setiap poin perencanaan pajak tidak melanggar ketentuan pajak dan secara bisnis dapat dianggap masuk akal. Berdasarkan strategi yang dijelaskan dalam buku (Pohan, 2013), PT X menggunakan strategi menghindari pelanggaran peraturan yang dapat berpotensi dikenakan sanksi administrasi agar tidak menimbulkan biaya kepatuhan baru bagi perusahaan. Dari hasil peninjauan dokumentasi berupa kontrak kerjasama, invoice, faktur pajak, bukti bayar, SPT PPN hingga bukti lapor juga menunjukkan bahwa perencanaan pajak ini didukung oleh bukti-bukti pendukung yang memadai.

 

Pengorganisasian

Pada tahapan pengorganisasian, tiga unsur penting yang menjadi poin evaluasi dalam rangka mencapai manajemen perpajakan yang efektif dan efisien terdiri dari tax personel, infrastruktur pekerjaan, serta proses dan prosedur kerja. Dari hasil wawancara diketahui bahwa PT X sudah memiliki sumber daya manusia (tax personel) yang menjalankan pekerjaannya di lingkup perpajakan dengan adanya divisi pajak yang anggota timnya memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman di bidang perpajakan. Secara khusus divisi pajak PT X menugaskan salah satu anggota timnya untuk menjalankan administrasi PPN dari PT X. Pada level manajer turut dilakukan pengawasan dan peninjauan atas pelaksanaan administrasi PPN tersebut. Berdasarkan kualifikasi ideal dari seorang staf perpajakan menurut (Santoso & Rahayu, 2018), anggota tim dari divisi pajak PT X sudah memiliki kecakapan dan pengetahuan yang baik dalam hal operasional perusahaan, pencatatan pembukuan (akuntansi), pembaharuan pengetahuan akan regulasi serta penguasaan teknologi informasi.

Selanjutnya terkait infrastruktur pekerjaan, berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa PT X menyediakan laptop bagi setiap karyawannya dan khusus bagi divisi pajak disediakan pula database peraturan perpajakan serta software pelaporan PPN yang bekerja sama dengan Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan. Dengan infrastruktur yang memadai, pengerjaan kewajiban pajak akan lebih mudah dilakukan oleh staf perpajakan perusahaan. Terakhir mengenai proses dan prosedur kerja, divisi pajak PT X tidak memiliki SOP tertulis khusus terkait perpajakan yang dibuat secara baku dan terstruktur. Pelaksanaan pekerjaan untuk administrasi perpajakan sehari-harinya menyesuaikan dengan instruksi langsung dari manajer pajak. Meskipun demikian, seluruh dokumentasi terkait perpajakan dan akuntansi sudah disimpan secara rapi oleh tim keuangan, baik salinan fisik maupun salinan elektronik.

Dari sisi efisiensi manajemen pajak dapat dinilai bahwa unsur sumber daya manusia (tax personel) dan infrastruktur pekerjaan sudah dapat dikategorikan memenuhi kriteria komponen manajemen pajak yang baik. Namun pada unsur proses dan prosedur kerja dapat dikategorikan belum memenuhi sepenuhnya komponen manajemen pajak yang baik. Hal ini dikarenakan belum adanya SOP baku yang menjadi pedoman bagi divisi pajak dalam menjalankan tugas yang berhubungan dengan administrasi perpajakan. Dengan kondisi semakin besarnya lingkup dan ukuran dari organisasi perusahaan, maka kebijakan dan proses implementasi pengorganisasian perpajakannya tidak bisa bergantung pada sumber daya manusianya secara terus menerus. (Santoso & Rahayu, 2018) menyebutkan bahwa secara perlahan ketergantungan pada orang akan bergeser menjadi ketergantungan pada sistem. Oleh karena itu, perusahaan perlu membuat Tax manual atau SOP perpajakan yang secara garis besar berisikan Manual Kebijakan dan Panduan Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Pajak Perusahaan. Simpulannya, penilaian pada tahap pengorganisasian pajak PT X belum efisien mendukung proses pelaksanaan manajemen pajak.

 

Pelaksanaan

Dari perencanaan pajak yang telah dibuat sebelumnya, PT X sudah melaksanakan secara maksimal setiap poin perencanaan tersebut. Berikut pemaparan terkait pelaksanaan beserta evaluasinya yang ditinjau dari tujuan manajemen pajak dalam rangka pemenuhan aspek formal dan material serta aspek pencapaian beban minimum.

 

Pengawasan Pembuatan Kontrak Kerjasama dan Penerbitan Invoice

     Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber PT X, diperoleh informasi bahwa divisi pajak PT X turut terlibat dalam pengawasan pembuatan kontrak kerjasama khususnya pada klausul terkait Pajak Pertambahan Nilai. Pada proses penyusunan kontrak kerjasama, divisi pajak secara langsung menyesuaikan jenis produk jasa yang ditawarkan dengan perlakuan PPN atas produk jasa tersebut. Penentuan ini untuk memetakan apakah jasa yang dilakukan akan dikenakan PPN terutang atau mendapatkan fasilitas PPN dibebaskan. Lawan transaksi yang terlibat dalam kerjasama penyerahan jasa ini juga menjadi pertimbangan apakah PPN tersebut dipungut oleh PT X atau sebaliknya, terutama saat berhubungan dengan para pemungut PPN.

     Selanjutnya saat penerbitan invoice, divisi pajak akan memastikan kembali pengisian komponen pada invoice seperti deskripsi produk atau jasa, tanggal invoice, nominal invoice dan besaran PPN terutang agar telah sesuai dengan informasi yang tercantum dalam kontrak kerjasama. Proses pembuatan faktur pajak akan diproses jika invoice yang terbit sudah benar dan disetujui oleh atasan dari tim keuangan. Pengawasan ini dilakukan agar penerbitan faktur pajak dengan dokumen pendukungnya mencapai kesesuaian dan tidak menimbulkan perbedaan dengan informasi yang telah disepakati pada kontrak kerjasama.

Berdasarkan pemenuhan kepatuhan aspek formal dan material, PT X sudah menerapkan pengawasan pembuatan kontrak kerjasama dan penerbitan Invoice yang efektif. Mekanisme pengawasan kontrak kerjasama dan penerbitan invoice merupakan bentuk pengendalian yang baik untuk memastikan kebenaran formal dan material dokumen pendukung yang menjadi acuan pembuatan faktur pajak sehingga diharapkan faktur pajak keluaran yang diterbitkan oleh PT X dapat dipertanggungjawabkan. PT X juga dapat memilah-milah dengan tepat, mana objek penyerahan yang harus dipungut PPN atau yang mendapatkan fasilitas PPN dibebaskan. Dari hasil dokumentasi menunjukkan adanya kesesuaian dan keterkaitan antara pembuatan invoice dan kontrak kerja. Secara ketentuan material dapat dilihat bahwa kesesuaian nominal yang dijadikan sebagai Dasar Pengenaan Pajak serta hitungan PPN terutang yang benar juga mencerminkan bahwa penilaian aspek materialnya sudah efektif terpenuhi.

Pada aspek meminimalisasi biaya kepatuhan, tindakan pencegahan untuk terjadinya kesalahan yang dilakukan sejak proses pembuatan kontrak kerjasama dapat menghindari potensi fiscal cost seperti biaya bea meterai dan biaya pencetakan invoice yang berulang jika terdapat ketidaksesuaian antara yang disepakati di kontrak dengan invoice yang diterbitkan. Selain itu pengawasan invoice dan kontrak kerjasama dapat meminimalisasi time cost dari divisi pajak untuk memeriksa ulang setiap transaksi di tiap bulannya. PT X dapat memastikan kesepakatan dan memberikan kepastian dengan pihak lawan transaksi sehingga meminimalisasi perbaikan invoice dan faktur pajak saat terbit. Dari sisi psychological cost, PT X cenderung merasa lebih tenang dan tidak terbebani jika sewaktu-waktu dilakukan permintaan konfirmasi atau pemeriksaan oleh kantor pajak atas kesesuaian informasi di kontrak kerjasama, invoice dan faktur pajak yang telah diterbitkan. Oleh karena itu mekanisme pengawasan transaksi melalui kontrak kerjasama dan invoice berdasarkan aspek meminimalisasi biaya kepatuhan sudah tergolong efisien.

Pengawasan Pembayaran PPN Jasa Luar Negeri

     Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber PT X, diperoleh informasi bahwa divisi pajak PT X melakukan pengawasan atas pembayaran PPN Jasa Luar Negeri. Pengawasan ini dilakukan untuk memastikan bahwa keseluruhan PPN Jasa Luar Negeri sudah dibayarkan sesuai dengan total penyerahan pada pengenaan pajak penghasilan pasal 26 di bulan tersebut. Selain itu manajer divisi pajak selalu memberikan reminder kepada staf divisi pajak yang mendapatkan penugasan khusus untuk menyiapkan pembayaran PPN Jasa Luar negeri. Reminder ini termasuk dalam kesesuaian pengisian kode billing serta batas waktu pembayaran PPN Jasa Luar Negeri setiap tanggal 15 di tiap bulannya.

Berdasarkan pemenuhan kepatuhan aspek formal dan material, pengawasan pembayaran PPN Jasa Luar Negeri menjadi bentuk tindakan pengendalian yang tepat karena pembayaran PPN Jasa Luar Negeri sudah dibayarkan secara benar dan tepat waktu. Pengisian kode billing PPN Jasa Luar negeri yang tidak sesuai dengan ketentuan dapat merugikan PT X karena pembayaran tersebut berpotensi tidak dapat dikreditkan pada SPT Masa PPN. Sedangkan keterlambatan pembayarannya dapat berpotensi dikenakan sanksi pajak. Sejalan dengan penilaian analisis dokumen atas bukti bayar PPN Jasa Luar Negeri menunjukkan kondisi kepatuhan pembayaran pajak, oleh karena itu pelaksanaan pengawasan pembayaran PPN Jasa Luar Negeri dapat dinilai sudah efektif.

Selanjutnya berdasarkan aspek meminimalisasi biaya kepatuhan, bentuk manajemen pajak ini dapat meniadakan potensi fiscal cost berupa beban pajak yang timbul akibat sanksi keterlambatan membayar pajak. Dari sisi time cost, PT X juga sudah meminimalisasi waktu proses ekualisasi tiap bulannya dengan menyesuaikan periode pencatatan terutangnya PPN dari Jasa Luar Negeri dengan periode pencatatan pajak penghasilan pasal 26 sehingga meminimalisasi perbedaan saat proses ekualisasi antara PPN JLN dengan pajak penghasilan pasal 26. Selain itu, dengan membayar PPN terutang secara tepat waktu dan mempermudah proses ekualisasi akan berpengaruh pada unsur meminimalisasi psychological costs dimana divisi pajak PT X tidak perlu khawatir dengan potensi tambahan sanksi pajak serta tidak perlu melakukan proses ekualisasi yang lebih lama sehingga dapat berfokus untuk mengerjakan pekerjaan yang lain. Oleh karena itu, pelaksanaan pengawasan atas penyetoran ini sudah tergolong efisien dalam memenuhi aspek meminimalisasi biaya kepatuhan.

Pengawasan Batas Waktu dan Proses Pelaporan PPN

     Pada proses pelaporan PPN, PT X melakukan pengawasan di setiap alur proses penyiapan pelaporan dan batas waktu pelaporannya. PT X memastikan setiap komponen yang berhubungan dengan pelaporan PPN tidak ada yang terlewat dan pengisiannya sudah dilakukan dengan benar. Selain memperhatikan proses pelaporannya, PT X juga memastikan untuk tidak pernah terlambat lapor agar menghindari dikenakannya sanksi pajak. Setiap menjelang akhir bulan, staf pajak yang bertugas khusus pada fungsi pelaporan PPN akan diberikan reminder oleh atasan dari divisi pajak serta melaporkan progres pengerjaan penyiapan pelaporan SPT PPN. Namun, melanjutkan dari hasil dokumen reviu diketahui bahwa PT X rutin melakukan pembetulan SPT. Setelah dikonfirmasi ke PT X diketahui penyebabnya berasal dari perubahan yang terjadi pada faktur pajak keluaran dan faktur pajak masukan sehingga mempengaruhi besaran angka PPN lebih bayar tiap bulannya serta angka kompensasi untuk PPN di masa mendatang.

Dari pemenuhan kepatuhan aspek formal dan material, pengawasan proses penyiapan dan batas waktu pelaporan termasuk sebagai upaya manajemen pajak yang efektif. PT X sudah patuh dengan ketentuan pasal 3 UU KUP dengan tidak pernah terlambat melakukan pelaporan yang melebihi batas waktu penyampaian SPT. PT X juga sudah mengisi SPT secara lengkap dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani SPT tersebut secara digital sebelum dilanjutkan dengan proses pelaporan. Dengan memastikan setiap prosesnya dilakukan dengan benar dan sesuai ketentuan pajak, maka bentuk manajemen atas pelaporan PPN ini dapat mendukung ketercapaian efektivitas yang manajemen pajak yang baik.

Jika dinilai dari aspek meminimalisasi biaya kepatuhan, PT X dapat meminimalisasi fiscal cost atas pelaporan pajak yang selalu tepat waktu. Dengan kata lain PT X sudah menghindari sanksi pajak atas pelaporan SPT PPN selama tiga tahun terakhir. Namun, dengan kondisi pembetulan SPT yang terus menerus dapat menunjukkan terdapat indikasi ketidakbenaran dengan pengisian Surat Pemberitahuannya sehingga harus dilakukan pembetulan pelaporan yang berulang-ulang. Secara ketentuan pajak, SPT diperbolehkan untuk dilakukan pembetulan tanpa batas. Akan tetapi, dengan adanya indikasi SPT Pembetulan yang diajukan secara rutin dapat menunjukkan kondisi bahwa belum terpenuhinya ketentuan pasal 3 UU KUP dimana setiap Wajib Pajak wajib mengisi SPT dengan benar. Pembetulan SPT sendiri dapat menimbulkan time cost bagi PT X karena secara terus menerus angka PPN di SPT tidak bisa difinalisasikan dengan sempurna. Dari sisi psikologis juga menimbulkan ketidakpastian bagi PT X atas SPT yang selalu dilakukan pembetulan karena adanya perubahan pada komponen faktur pajak keluaran dan faktur pajak masukan yang secara otomatis akan mempengaruhi komponen angka kompensasi di SPT masa pajak kedepannya. Oleh karena itu, dari aspek meminimalisasi biaya kepatuhan atas pelaksanaan pengawasan proses pelaporan ini tergolong belum efisien.

 

Pemanfaatan Proses Pelaporan Dari Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan

            Dalam rangka untuk mendukung proses pelaporan PPN bagi divisi pajak, PT X menyediakan fasilitas penggunaan software pelaporan PPN yang menggunakan bantuan pihak ketiga yaitu Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan (PJAP). Bentuk manajemen pajak dengan pemanfaatan jasa pihak ketiga untuk mendukung proses administrasi perpajakan merupakan pilihan yang efektif terutama bagi perusahaan besar dengan banyak data dan memerlukan dokumentasi perpajakan yang lebih rapih. Berdasarkan pemenuhan kepatuhan aspek formal dan material, fitur kemudahan yang diberikan oleh aplikasi PJAP sudah membantu PT X untuk melaksanakan kewajiban pelaporan PPN secara lengkap dan tepat waktu. Dilain sisi, PT X juga sudah menjalankan kewajiban pasal 28 UU KUP yang mewajibkan penyimpanan dokumen selama sepuluh tahun.

     Selanjutnya dari aspek meminimalisasi biaya kepatuhan, PT X cenderung fokus pada meminimalisasi psychological cost dimana PT X sangat menghindari sanksi pajak atas keterlambatan lapor serta kemudahan proses pelaporan PPN. Dari sisi time cost, PT X juga merasa bahwa penggunaan fasilitas dari PJAP dapat mempercepat proses administrasi PPN, terutama saat kondisi server DJP sedang down dan divisi pajak PT X masih tetap bisa menjalankan aktivitas administrasi PPN seperti biasa. Namun jika dikaitkan dengan fiscal cost, terdapat biaya kepatuhan yang harus dibayarkan setiap bulannya atas penggunaan software dari PJAP. Dengan kondisi perusahaan yang masih merugi, kebijakan penghematan merupakan salah satu langkah baik bagi PT X. Kemampuan staf pajak yang mumpuni serta aplikasi PPN dari Direktorat Jenderal Pajak yang kini sudah semakin baik dapat menjadi pertimbangan bagi PT X dalam hal perpanjangan penggunaan jasa pihak ketiga dengan tujuan untuk meminimalisasi adanya fiscal cost. Dari keseluruhan aspek biaya, pemanfaatan jasa aplikasi pihak ketiga ini cukup menunjukkan penilaian yang efisien terutama apabila data perusahaan sudah sangat banyak dan penilaian sisi keuangan perusahaan lebih stabil.

 

Pengawasan Kesesuaian Penerbitan Faktur Pajak

     Bentuk manajemen pajak atas kewajiban penerbitan faktur yang dilakukan oleh PT X adalah pengawasan kesesuaian penerbitan faktur pajak keluaran. Kesesuaian disini dinilai dari aspek formal dan material dari pembuatan faktur pajaknya serta waktu penerbitannya. Staf pajak PT X secara khusus akan memperhatikan kelengkapan dan kebenaran pembuatan faktur pajak serta tidak terlambat saat proses upload faktur pajaknya ke sistem ­e-faktur. Selanjutnya pada tahun 2022 ini PT X juga lebih memerhatikan tanggal invoice dengan batas waktu penerbitan faktur pajaknya mengingat adanya ketentuan batas upload faktur pajak yaitu setiap tanggal 15 bulan berikutnya setelah tanggal invoice dan faktur pajak Meskipun demikian, masih terdapat pihak lawan transaksi yang meminta pembetulan faktur pajak karena kesalahan pengisian deskripsi atau nominal dan penggantian tanggal Invoice.

            Dari pemenuhan kepatuhan aspek formal dan material, pelaksanaan manajemen pajak pada penerbitan faktur pajak tergolong sudah efektif. PT X sebagai Pengusaha Kena Pajak ingin menerbitkan faktur pajak yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan syarat formal dan material dari pembuatan faktur pajak yang mengacu pada pasal 13 UU PPN dan PER – 03/PJ/2022. Selain itu perhatian dengan batas upload faktur pajak juga menjadi bentuk pengendalian yang baik untuk menghindari sanksi keterlambatan pembuatan faktur pajak.

Selanjutnya berdasarkan hasil analisis dokumen, selama tahun 2020 hingga 2022 telah dilakukannya penggantian dan pembatalan faktur pajak yang cukup intens. Untuk penyebabnya sendiri cukup beragam, baik karena permintaan ganti tanggal, penggantian identitas lawan transaksi hingga transaksinya dibatalkan. Rumitnya proses pembetulan dan pembatalan faktur pajak dapat menimbulkan time cost karena perusahaan harus mengalokasikan sumber daya dari divisi pajak secara khusus agar menyiapkan waktunya untuk melakukan konfirmasi, mengulang pembuatan faktur pajak dan memeriksa faktur pajak yang berubah. Dari sisi psychological cost juga berdampak pada kinerja pegawai dan unit yang menangani proses tersebut karena menimbulkan rasa ketidakpastian saat membuat faktur pajak yang pada akhirnya juga dapat mempengaruhi angka kompensasi lebih bayar dari SPT PPN. Sedangkan dari sisi fiscal cost dapat timbul karena dengan semakin banyak terjadi perubahan pada faktur pajak, maka semakin banyak pula faktur pajak yang harus dicetak ulang terutama saat melakukan transaksi dengan instansi pemerintah yang biasanya membutuhkan cetakan faktur pajak dalam bentuk kertas. Oleh karena itu, frekuensi pembetulan dan pembatalan faktur pajak sudah seharusnya diminimalisir dengan tindakan tambahan yang perlu dilakukan oleh PT X. Jika dinilai dari aspek meminimalisasi biaya kepatuhan, pelaksanaan manajemen pada penerbitan faktur pajak ini tergolong belum efisien.

     Berdasarkan rekomendasi narasumber dari konsultan pajak, PT X dapat meminimalisir perubahan faktur pajak keluaran dengan menerapkan prinsip kehati-hatian melalui pemeriksaan ulang saat membuat faktur pajak terutama pada komponen pengisian identitas, deskripsi serta nominal dari dasar pengenaan PPN dan besaran PPN terutang. Selanjutnya PT X dapat melakukan komunikasi dan membentuk standarisasi saat proses negosiasi. PT X dapat memastikan terlebih dahulu dengan pemberian preview faktur pajak sebelum dicetak serta memberi batas waktu untuk mengajukan perubahan. 

 

Pengawasan Penerimaan Faktur Pajak Masukan

     Manajemen PPN berikutnya yang diterapkan oleh PT X adalah pengawasan penerimaan faktur pajak masukan. PT X melakukan pemeriksaan kebenaran dan keabsahan data yang ada di dalam faktur pajak tersebut melalui perbandingan faktur pajak yang diterima dengan data tarikan dari prepopulated system faktur pajak. PT X memastikan agar pajak masukan yang diterimanya tidak dikategorikan sebagai Faktur Pajak cacat. Berdasarkan dokumen reviu ditemukan faktur pajak masukan yang rutin mengalami perubahan serta faktur pajak masukan yang tidak valid sehingga PT X tidak dapat mengkreditkannya. Dari hasil wawancara diketahui bahwa penyebabnya berasal dari kesalahan pengisian komponen pada faktur pajak atau memang dari penerapan transaksinya berubah atau dibatalkan.

Berdasarkan pemenuhan kepatuhan aspek formal dan material, mekanisme pengawasan penerimaan faktur pajak merupakan bentuk pengendalian yang baik untuk memastikan kebenaran formal dan material faktur pajak sehingga faktur pajak masukan dapat dikreditkan secara optimal. Dengan masih adanya temuan faktur pajak masukan pengganti, faktur pajak batal dan faktur pajak yang tidak valid dan tidak bisa dikreditkan cukup menunjukkan bahwa sebagian besar faktur pajak masukan yang diterima oleh PT X sudah memenuhi ketentuan syarat formal dan material dari pembuatan faktur pajak yang mengacu pada pasal 13 UU PPN dan PER – 03/PJ/2022 namun belum cukup optimal. Oleh karena itu, penilaian pemenuhan kepatuhan aspek formal dan material dapat dikatakan belum efektif.

Selanjutnya dari sisi meminimalisasi biaya kepatuhan, mekanisme pelaksanaan manajemen PPN ini masih tergolong belum efisien, khususnya dikarenakan masih ada faktur pajak yang rutin berubah baik karena diganti atau dibatalkan serta adanya faktur pajak tidak valid. Dampak perubahan faktur pajak masukan dan indikasi faktur pajak masukan tidak valid juga menimbulkan time cost dan psychological cost bagi PT X. Hal ini dikarenakan untuk perubahan faktur pajak masukan dan indikasi faktur pajak tidak valid ini perlu dikonfirmasi kembali ke pihak penjual sehingga membutuhkan waktu dan sumber daya untuk mengatasinya. Selama dokumennya belum diperbaiki dan diterima oleh PT X, maka PT X belum bisa mengkreditkannya di SPT Masa PPN.

Setiap ada perubahan baik faktur pajak keluaran dan faktur pajak masukan, PT X harus selalu siap untuk melakukan penyesuaian karena angkanya di SPT pasti akan selalu berubah. Selain pencatatan penyesuaian, pembetulan SPT Pembetulan menjadi rutinitas yang berulang serta tidak menutup kemungkinan bahwa target pengkreditan pajak masukan menjadi tidak tercapai dengan maksimal terutama saat faktur pajak dibatalkan dan adanya faktur pajak masukan tidak valid yang tidak bisa diperbaiki.

Berdasarkan rekomendasi narasumber dari konsultan pajak, PT X dapat melakukan pemeriksaan secara rutin atas prepopulated pajak masukan karena adanya indikasi bahwa sinkronisasi data pada sistem prepopulated membutuhkan waktu yang lebih lama, khususnya apabila faktur pajak tersebut baru di upload oleh lawan transaksi. Kemudian untuk memastikan bahwa tidak ada faktur pajak masukan yang terlewatkan, PT X dapat membuat daftar transaksi sambil melakukan pemeriksaan ulang. PT X juga harus bertindak aktif menyiapkan kelengkapan administrasi yang diperlukan dalam proses transaksi jual-beli serta rajin melakukan konfirmasi ulang kepada lawan transaksi jika ditemukan adanya indikasi faktur pajak masukan tidak valid. Atas faktur pajak masukan yang terlambat diberikan, PT X masih bisa untuk melakukan pengkreditan pajak masukan melalui pembetulan SPT atau pengalihan pengkreditan di masa-masa berikutnya. Sejatinya, proses pengkreditan pajak masukan secara maksimal dapat memperbesar angka kompensasi lebih bayar PT X untuk digunakan di masa-masa berikutnya. Dengan meminimalisir perubahan faktur pajak masukan dan indikasi faktur pajak masukan tidak valid, PT X dapat mengurangi biaya kepatuhan seperti biaya psikologi dan biaya waktu untuk melakukan konfirmasi dan pembetulan SPT.

 

Pengkreditan Pajak Masukan dengan Metode Proporsional

            Sebagai perusahaan yang memiliki bentuk penyerahan yang terutang PPN dan mendapatkan fasilitas PPN dibebaskan, ada masanya atas pembebanan biayanya tidak bisa dipisahkan atas transaksi dengan bentuk penyerahan terutang PPN dan bentuk penyerahan dengan fasilitas PPN. Untuk itu PT X melakukan penghitungan secara proporsional untuk menentukan besaran pajak masukan yang dapat dikreditkan. Berdasarkan aspek pemenuhan syarat formal dan material, penggunaan metode proporsional sifatnya lazim dan diperbolehkan dalam ketentuan pajak. Untuk ketentuan materialnya mengenai cara penghitungan proporsional yang dilakukan oleh PT X sudah sesuai dengan ketentuan pada PMK 135/PMK.011/2014 yang mengatur tentang pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan bagi pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak Oleh karena itu, pelaksanaan pengkreditan pajak masukan dengan metode proporsional berdasarkan pemenuhan aspek kepatuhan formal dan material dapat dinilai efektif.

Sedangkan dari sisi pencapaian beban minimum dengan meminimalisasi biaya kepatuhan, metode proporsional ini memudahkan bagi staf divisi pajak tanpa harus melakukan konfirmasi secara detail satu persatu atas faktur yang diterimanya. Mengingat setiap bulannya sekitar 300an lebih faktur pajak masukan yang masuk ke system faktur pajak, tentunya bentuk manajemen ini dapat meminimalisasi time cost dan psychological cost bagi divisi pajak. Dari sisi fiscal cost juga tidak ada biaya yang timbul atas pelaksanaan manajemen PPN ini. Simpulannya, pelaksanaan penggunaan metode proporsional dapat dinilai efisien dari sisi meminimalisasi biaya kepatuhan.

 

Pemilihan Opsi Kompensasi atas SPT PPN Lebih Bayar

     Berdasarkan hasil dokumen reviu atas SPT PPN selama tiga tahun terakhir, SPT PPN PT X berada dikondisi Lebih Bayar PPN. Dari informasi wawancara narasumber PT X diketahui bahwa kondisi lebih bayar ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti pembebanan pembelian yang relatif besar, transaksi dengan pemungut PPN, serta akumulasi kompensasi dari periode-periode sebelumnya. Sejak awal ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, PT X selalu memilih opsi kompensasi untuk perlakuan SPT PPN Lebih Bayar.

Berdasarkan aspek pemenuhan kepatuhan syarat formal dan material, pemilihan opsi kompensasi dan restitusi diperbolehkan dalam ketentuan perpajakan. Mengacu pada pasal 9 ayat 4 UU PPN dinyatakan bahwa apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya. Kemudian pada pasal 4A UU PPN disebutkan pula atas kelebihan Pajak Masukan dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku. Dengan kata lain, atas opsi PT X memilih kompensasi sebagai treatment atas kondisi lebih bayarnya masih tergolong memenuhi ketentuan kepatuhan formal dalam UU PPN. Dalam wawancaranya PT X juga menyebutkan bahwa opsi kompensasi lebih praktis karena untuk menggunakan opsi kompensasi cukup memberi ceklis pada SPT Induk PPN. Dengan demikian, pemilihan opsi kompensasi atas kondisi SPT PPN lebih bayar dapat dinilai sudah efektif dari aspek pemenuhan kepatuhan syarat formal dan materialnya.

Penentuan opsi kompensasi atau restitusi memiliki kesempatan yang sama untuk dilakukan pemeriksaan. Namun untuk potensi yang terlihat lebih tinggi, pengajuan restitusi cenderung terlihat lebih berpotensi tinggi dilakukan pemeriksaan dengan segera bagi Wajib Pajak. Dari sisi pencapaian beban minimum dengan meminimalisasi biaya kepatuhan, PT X memilih kompensasi dengan mempertimbangkan cost yang muncul cenderung lebih kecil daripada dilakukan pemeriksaan setelah pengajuan restitusi. Saat dilakukan pemeriksaan setelah pengajuan restitusi, PT X akan mengeluarkan fiscal cost berupa biaya konsultan untuk mengurusi proses pemeriksaan. Dari sisi time cost juga muncul karena divisi pajak harus mengerahkan sumber dayanya untuk menyiapkan dokumen yang diperlukan. Secara otomatis aktivitas pemeriksaan ini juga pastinya menimbulkan biaya psikologi seperti rasa cemas dan khawatir bagi divisi pajak PT X. Dengan pertimbangan cost tersebut, PT X lebih memilih opsi kompensasi dibanding restitusi. Namun dengan besaran lebih bayar yang sangat besar tentunya juga dapat mempengaruhi cashflow perusahaan. Dengan kondisi merugi saat ini, nominal sebesar itu cukup membantu pembiayaan operasional perusahaan. Opsi manajemen pajak ini dapat dinilai efisien jika motifnya untuk menghindari biaya yang lebih tinggi saat terjadinya proses pemeriksaan. Tetapi tetap terlihat kurang baik bagi kondisi cashflow perusahaan yang khususnya kini sudah dalam kondisi merugi beberapa tahun. Oleh karena itu, dari sisi aspek pencapaian beban minimum dengan meminimalisasi biaya kepatuhan, manajemen pajak melalui pemilihan opsi kompensasi ini tergolong cukup efisien bagi PT X dengan pertimbangan potensi biaya-biaya yang muncul jika memilih opsi restitusi. Adapun tindakan selanjutnya yang dapat dilakukan PT X adalah selalu melaksanakan kewajiban dan haknya sebagai PKP secara benar agar apabila sewaktu-waktu dilakukan pemeriksaan tetap teratasi dengan baik.

 

 

 

Pengendalian

Pada tahap pengendalian atau controlling, PT X melakukan proses penelaahan pajak atau Tax review. Adapun tujuan pengendalian pajak menurut (Pohan, 2013) adalah untuk memastikan bahwa kewajiban pajak telah dilakukan sesuai dengan apa yang sudah direncanakan serta memenuhi persyaratan formal maupun material. Kegiatan penelaahan ini dilakukan terhadap seluruh kewajiban perpajakan baik dari proses pemungutan PPN, penerbitan faktur pajak, penyetoran, pengkreditan PPN, hingga proses pelaporan PPN. Selain melakukan Tax review, PT X juga melakukan ekualisasi PPN setiap bulannya sebelum melakukan pelaporan SPT Masa PPN. Dari keseluruhan proses pengendalian yang dilakukan secara mandiri, PT X sudah memenuhi daftar prosedur yang diperiksa.

Dari hasil proses pengendalian yang dilakukan oleh PT X dapat disimpulkan bahwa PT X sudah menerapkan tahapan pengendalian sesuai dengan teori manajemen perpajakan, khususnya yang tercantum pada buku (Pohan, 2013). Strategi perencanaan pajak yang ditetapkan juga sudah cukup berhasil dilaksanakan. Jika dinilai dari tujuan manajemen pajak yang ingin dicapai oleh PT X secara keseluruhan, maka dapat dikatakan bahwa tujuan tersebut sudah hampir sepenuhnya tercapai yaitu dokumentasi dari proses administrasi PPN yang lebih rapi dan terkoordinir, pembayaran serta pelaporan yang selalu tepat waktu serta meminimalisasi sanksi pajak yang muncul karena kelalaian atas keterlambatan pembayaran dan pelaporan pajak. 

Berdasarkan proses ekualisasi yang dilakukan, tidak terdapat kekeliruan atau perbedaan yang tidak dapat dijelaskan antara peredaran usaha menurut SPT masa PPN dengan peredaran usaha menurut SPT Tahunan Badan. Dalam rangka untuk memastikan tujuan manajemen pajak tercapai, baik proses ekualisasi dan tax review yang dilakukan oleh PT X sudah maksimal untuk meminimalisasi terjadinya kesalahan. Dengan demikian, pelaksanaan program pengendalian pajak PT X yang optimal sudah dapat menunjukkan tahapan manajemen pajak yang efisien dalam penerapan strategi tanpa menimbulkan masalah perpajakan di masa mendatang.

 

Kesimpulan

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa PT X sudah menerapkan manajemen PPN atas pelaksanaan kewajiban dan haknya sebagai Pengusaha Kena Pajak dengan baik. Secara praktik komponen manajemen pajak yang dilakukan oleh PT X dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian sudah sesuai dengan teori Manajemen Pajak yang dibahas dalam buku (Pohan, 2013) dan (Santoso & Rahayu, 2018). Meskipun demikian, PT X dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas manajemen perpajakannya yang sudah baik dengan membuat Standar Operasional Prosedur baku yang tertulis dan menjalankan rekomendasi dalam rangka meminimalisir permintaan perubahan faktur pajak serta mengatasi indikasi faktur pajak masukan yang tidak valid. Dengan penerapan manajemen pajak yang optimal, semua hal yang berhubungan dengan urusan perpajakan dapat dikelola dengan baik, efektif dan efisien, sehingga dapat memberikan kontribusi maksimum bagi perusahaan

Manajemen pajak yang dibahas pada penelitian ini hanya membahas praktik perpajakan atas pelaksanaan kewajiban dan hak Pengusaha Kena Pajak (PKP) terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada PT X. Oleh karena itu, evaluasi dan rekomendasi yang diberikan hanya terbatas pada praktik manajemen PPN secara prosedural selama periode tiga tahun terakhir. Pada penelitian selanjutnya dapat mengevaluasi proses manajemen pajak secara keseluruhan baik PPN atau jenis pajak lainnya dari berbagai industri perusahaan yang berbeda secara mendalam. Penelitian selanjutnya juga dapat menggambarkan lebih detail dampak dari penerapan manajemen pajak yang dilakukan dengan pengaruhnya terhadap komponen biaya dan pendapatan sesuai laporan keuangan.


DAFTAR PUSTAKA

 

Creswell, John W., & Creswell, J. David. (2017). Research design: Qualitative, quantitative, and mixed methods approaches. Sage publications.

 

Irianto, Edi Slamet, Rosdiana, Haula, Sunaryo, Sunaryo, Tambunan, Maria R. U. D., & Inayati, Inayati. (2017). Konstruksi Ulang Kebijakan Fasilitas Bea Masuk untuk Meningkatkan Produktivitas Industri Galangan Kapal di Indonesia. IPTEK Journal of Proceedings Series, 3(5).

 

Maxmanroe. (2019). Latar Belakang Pendidikan Para Founder Startup Sukses Indonesia.

 

Maxmanroe. (2020). Apa Itu Startup: Pengertian, dan Perkembangan Bisnis Startup di Indonesia.

 

Muttaqin, Ridlwan. (2020). Analisis distruptive marketing pada perusahaan startup (PT. Gojek Indonesia). Jurnal Kajian Manajemen Bisnis, 9(2), 101–113.

 

Pohan, Chairil Anwar. (2013). Manajemen Perpajakan: Strategi Perencanaan Pajak & Bisnis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

 

Robehmed, Natalie. (2013). What is a Startup. Forbes/Bussines. Pozyskano z: Www. Forbes. Com. Data Dostępu, 1, 2017.

 

Santoso, Iman, & Rahayu, Ning. (2018). Corporate tax management.

 

Setyaningsih, Eni Wahyu, & Indrawan, Rizki. (2023). Analysis of Tax Planning Implementation to Minimize Value Added Tax Load. JASa (Jurnal Akuntansi, Audit Dan Sistem Informasi Akuntansi), 7(1), 1–8.

 

Sri Adiningsih, S. E. (2019). Transformasi ekonomi berbasis digital di Indonesia: lahirnya tren baru teknologi, bisnis, ekonomi, dan kebijakan di Indonesia. Gramedia Pustaka Utama.

 

Suandy, Erly. (2011). Perencanaan pajak, edisi 5. Jakarta: Salemba Empat.

 

Sugiyono. (2018). Metode Penelitian Kualitatif (3rd ed.). Alfabeta.

 

Wijaya, Abi Surya. (2019). Manajemen Rancang Bangun Website Berbasis Database Di Desa Tuk Kecamatan Kedawung. Jurnal Ilmiah Sosial Teknik, 1(2), 70–77.

 

Wiratama, Isnu Rahadi. (2021). Evaluasi Manajemen Pajak Atas Kredit Pajak PPH Dan PPN Bendaharawan: Studi Kasus PT. X.