EVALUASI DISTRIBUSI MANAJEMEN RANTAI PASOK KOMODITAS BAHAN BAKU INDUSTRI SEMEN (STUDI KASUS PADA PT X)

 

Dian Aisyah Rahayu1, Chaerul D. Djakman2

Universitas Indonesia

Email: adinaisyah21@gmail.com

 

 

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi aktivitas dan efisiensi biaya distribusi dalam manajemen rantai pasok sehingga dapat memberikan rekomendasi perbaikan bagi perusahaan. Secara keseluruhan, hasil penelitian ini merupakan evaluasi kualitatif dengan menggunakan analisa isi deskriptif sebagai teknik evaluasi data dengan menggunakan data primer berdasarkan hasil wawancara, observasi dan dokumentasi dan data sekunder yang diperoleh dari data-data relevan perusahaan. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan GM of Department Trading & Business Development, diperoleh fenomena yang melatarbelakangi penelitian ini yaitu terdapat kondisi under supply serta biaya demurrage dan klaim kualitas. Karakteristik orisinalisasi penelitian ini adalah pembahasan yang komprehensif dalam distribusi rantai pasok dalam kaitannya dengan kuantitas supply, product quality serta aktivitas bongkar muat yang belum ada dalam penelitian sebelumnya. Hasil penelitian menunjukkan kondisi distribusi rantai pasok tidak optimal selama tahun 2019-2021 sehingga menyebabkan kondisi under supply dan loss supply dan tingginya demurrage dalam biaya bongkar muat yang disebabkan oleh kualitas komunikasi yang berjalan tidak efektif. Hasil ini mengimplikasikan bahwa komunikasi dan pemantauan yang optimal dalam distribusi rantai pasok sangat berperan penting terhadap kualitas distribusi dan efisiensi biaya yang ditimbulkan.

 

Kata kunci: Rantai Pasokan Distribusi, Bongkar Muat, Kekurangan Pasokan, Demurrage, Klaim Kualitas, Perdagangan Semen

 

Abstract

The purpose of this research is to evaluate the activities and efficiency of distribution costs in supply chain management in order to provide recommendations for improvement to the company. Overall, this research is a qualitative evaluation using descriptive content analysis as a data evaluation technique using primary data based on the results of interviews, observations and documentation and secondary data obtained from relevant company data. Based on the results of interviews conducted with the GM of Trading & Business Development Department, the phenomenon behind this research is that there are undersupply conditions as well as demurrage costs and quality requirements. The original feature of this research is a comprehensive discussion of supply chain distribution in terms of supply quantity, product quality and loading and unloading activities, which has not been included in previous studies. The results show that the supply chain distribution conditions were not optimal during 2019-2021, causing undersupply and loss of supply conditions, and high demurrage in loading and unloading costs due to ineffective communication quality. This result suggests that optimal communication and monitoring in supply chain distribution plays an important role in distribution quality and efficiency of incurred costs

 

Keywords: Supply Chain Distribution, Stevedoring, Under Supply, Demurrage, Quality Claims, Cement Trade.

 

 

Pendahuluan  

Bisnis perdagangan merupakan bisnis yang dinamis, strategis dan berada di garis terdepan dalam ekspansi global, khususnya dalam hal mendukung kegiatan pembangunan di dalam dan luar negeri, sehingga membutuhkan komitmen yang kuat dalam hal pengiriman dan kualitas barang yang akan didistribusikan. Selain tujuan untuk mencapai pasar global, perusahaan juga perlu mencapai hasil yang optimal dalam kegiatan pendistribusian barang pesanan dan efisiensi biaya distribusi yang dapat dikeluarkan untuk memenuhi target bahkan diharapkan dapat melebihi target internal yang telah disusun, sehingga diperlukan kegiatan rantai pasok yang optimal untuk dapat mencapai hasil yang optimal dalam proses pendistribusian dan upaya memenuhi permintaan pelanggan.

Manajemen yang berperan penting dalam upaya mencapai kondisi optimal dalam proses distribusi barang pesanan adalah Supply Chain Management, yaitu suatu kegiatan yang berkaitan dengan seluruh aktivitas dari hulu ke hilir untuk pergerakan barang dan informasi yang dimulai dari tahap pengambilan bahan baku dari supplier sampai dengan pengiriman ke pelanggan, sehingga membentuk suatu hubungan yang saling berkaitan dari seluruh aktivitas yang mampu meningkatkan hubungan dalam rantai pasok untuk mencapai daya saing (Arif, 2018).

Distribusi pasokan dalam manajemen rantai pasok merupakan hal yang penting untuk dikelola dengan baik oleh perusahaan untuk mencapai aktivitas rantai pasok yang efektif dan efisien, begitu pula yang berlaku pada PT X yang menjadi subjek penelitian ini. Dari wawancara awal yang dilakukan dengan Unit of International Trading, Unit of Export, Unit of Infrastructure dan Department of Trade & Business Development, diketahui bahwa terdapat beberapa kondisi yang menunjukkan adanya permasalahan di PT X, antara lain kurang optimalnya pencapaian target kuantitas, adanya demurrage pada proses bongkar muat, dan tidak terpenuhinya kualitas barang ke pelanggan. Biaya demurrage pada proses bongkar muat yang seharusnya dibebankan kepada pihak prinsipal (pemilik barang atau pemilik kapal), namun pada kenyataannya dibebankan kepada PT X sebagai pihak agen. Beberapa kondisi yang dialami oleh PT X tersebut menunjukkan bahwa PT X memiliki latar belakang permasalahan dalam aktivitas distribusi rantai pasok yang membuat terjadinya biaya distribusi pada proses bongkar muat dan pemenuhan kebutuhan pelanggan.

Permasalahan yang dihadapi oleh PT X terkait dengan pelaksanaan distribusi dalam manajemen rantai pasok, yang berakibat pada peningkatan biaya distribusi dan penjualan, oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi aktivitas dan efisiensi biaya distribusi dalam manajemen rantai pasok di PT X, agar dapat memberikan rekomendasi perbaikan bagi perusahaan dalam mengoptimalkan kuantitas penjualan dan mencapai efisiensi biaya yang dikeluarkan dalam proses distribusi. Dalam mencapai tujuan tersebut, terdapat rumusan masalah dalam penelitian yaitu bagaimana mengevaluasi aktivitas dan efisiensi biaya distribusi dalam manajemen rantai pasok di PT X? dengan batasan ruang lingkup penelitian hanya pada perusahaan dengan objek penelitian distribusi dalam rantai pasok di PT X yang bergerak di bidang perdagangan bahan baku industri semen. Dalam menjawab rumusan masalah tersebut, proses evaluasi akan dilakukan berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dalam penelitian dan mengacu pada literatur yang dimiliki terkait dengan konsep manajemen rantai pasok, terminologi dalam proses bongkar muat barang dan konsep kualitas produk dan juga berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang mengangkat permasalahan serupa yang telah dipublikasikan untuk menjadi acuan referensi dalam melakukan evaluasi.

Penelitian ini dilakukan pada PT X yang bergerak dalam kegiatan perdagangan ekspor, impor dan domestik, sehingga sangat bergantung pada manajemen rantai pasok yang baik dan optimal untuk dapat mendistribusikan barang pasokan sesuai permintaan pelanggan, oleh karena itu hasil dari penelitian ini dapat memberikan rekomendasi bagi perusahaan dagang khususnya PT X dalam upaya melakukan perbaikan dalam kegiatan distribusi pada manajemen rantai pasoknya. Permasalahan yang muncul terkait manajemen rantai pasok apabila tidak segera dikendalikan dalam jangka pendek maupun jangka panjang akan berdampak pada kelangsungan operasional bisnis khususnya pada perusahaan dagang yang berperan sebagai distributor, sehingga penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai pelaksanaan kegiatan distribusi pasokan dan memberikan rekomendasi perbaikan bagi perusahaan lain untuk dapat mengantisipasi kondisi distribusi dalam manajemen rantai pasok yang belum optimal.

Dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian ini lebih detail dalam membahas manajemen rantai pasok, yang meliputi evaluasi kegiatan distribusi dalam manajemen rantai pasok serta masalah-masalah yang timbul dari implementasi tersebut dalam hal pengeluaran biaya untuk seluruh kegiatan perencanaan, pengadaan, bongkar muat dan kualitas barang yang mendukung pendistribusian pasokan yang optimal kepada pelanggan. Sedangkan hasil dari beberapa penelitian terdahulu terbatas pada penelitian yang berkaitan dengan evaluasi kinerja rantai pasok saja, atau dampak kejadian pada proses bongkar muat saja, atau bahkan hanya membahas mengenai pengaruh kualitas barang terhadap keputusan pelanggan saja, Sedangkan hasil dari beberapa penelitian terdahulu terbatas pada penelitian yang hanya melakukan evaluasi kinerja rantai pasok saja, atau hanya membahas mengenai dampak kejadian pada proses bongkar muat saja, atau bahkan hanya membahas mengenai pengaruh kualitas barang terhadap keputusan pelanggan saja, sedangkan hasil dari beberapa penelitian terdahulu terbatas pada penelitian yang hanya melakukan evaluasi kinerja rantai pasok saja, atau hanya membahas mengenai pengaruh kualitas barang terhadap keputusan pelanggan saja, sedangkan hasil dari beberapa penelitian terdahulu terbatas pada penelitian yang hanya melakukan evaluasi kinerja rantai pasok saja, atau hanya membahas mengenai pengaruh kualitas barang terhadap keputusan pelanggan saja, termasuk penelitian dengan topik penelitian yang terbatas hanya mengevaluasi kinerja rantai pasok, yang berujung pada kesimpulan bahwa kondisi pelaksanaan rantai pasok sudah cukup baik karena adanya komunikasi yang efektif antara setiap pihak yang terlibat dalam rantai pasok, penelitian ini menemukan kendala lain yaitu harga bahan baku cengkeh yang berfluktuatif, sehingga diperlukan strategi rantai pasok yang tepat dengan desain rantai pasok yang lebih pendek sehingga lebih efektif dan efisien (Ndiba, Wullur, & Tumade, 2016), Selain itu, terdapat penelitian lain yang menjadi referensi namun terbatas membahas mengenai dampak demurrage pada proses bongkar muat barang terhadap penjualan ekspor dan menyimpulkan bahwa permasalahan dalam bongkar muat kapal material klinker yang sering terjadi adalah waktu tunggu kapal atau shifting, sehingga mengakibatkan demurrage bagi kapal terkait selama berada di dalam ruang lingkup Pelabuhan (Nur, Kadir, & Toaha, 2022), serta penelitian lain dengan fokus terbatas pada pengaruh kualitas produk terhadap keputusan pelanggan dan menyimpulkan bahwa jika kualitas produk sesuai dengan harapan konsumen seperti kualitas produk yang terjamin kualitas produk memiliki kesesuaian, memiliki keunggulan produk dibandingkan produk pesaing, maka akan dapat mempengaruhi keputusan pembelian Semen Tonasa (Yanto, 2018), sehingga berdasarkan pemaparan hasil penelitian-penelitian terdahulu tersebut, mendukung bahwa penelitian ini memiliki ciri-ciri orisinalitas, yaitu topik pembahasan yang komprehensif dalam aktivitas distribusi rantai pasok, yang berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu yang aktivitas dan batasan pembahasannya terbatas pada satu jenis saja.

1.        Kerangka Teoritis Dan Pengembangan Hipotesis (jika diperlukan)

Menurut (Hsiao, van der Vorst, & Omta, 2006) mendefinisikan rantai pasok adalah sebuah rangkaian dari aktivitas fisik dan pengambilan keputusan yang didalamnya saling terhubung oleh saluran barang dan informasi serta terkait dengan aliran uang (Hsiao et al., 2006). Oleh karena itu, manajemen rantai pasok penting untuk menciptakan integrasi dari perencanaan, koordinasi, dan pengawasan dari semua proses bisnis dan aktivitas didalam rantai pasok untuk menyampaikan nilai yang diharapkan pelanggan dengan biaya sekecil mungkin terhadap rantai pasok secara keseluruhan yang pada saat bersamaan memenuhi berbagai persyaratan dari pihak-pihak yang terlibat dalam rantai pasok. Dalam buku yang berjudul Supply Chain Management: Strategy, Planning, and Operation, dijelaskan bahwa rantai pasok memiliki sifat yang dinamis namun melibatkan tiga aliran yang konstan, yaitu aliran informasi, produk dan uang serta juga dijelaskan bahwa tujuan utama dari setiap rantai pasok adalah untuk memenuhi kebutuhan pelanggan dan menghasilkan keuntungan (Yunus, 2017). Selain itu tujuan dari evaluasi manajemen rantai pasok bagi perusahaan juga dapat menjadi satu informasi peningkatan pengelolaan untuk penurunan biaya, penurunan modal dan perbaikan layanan (Anatan & Ellitan, 2008). Sebuah rantai pasok terdiri dari pihak-pihak yang terlibat, baik secara langsung dan tidak langsung, dalam memenuhi permintaan pelanggan. Pihak-pihak tersebut antara lain perusahaan manufaktur, pemasok, penyedia transportasi, pergudangan, pengecer, dan pelanggan yang terlibat dalam tahapan rantai pasok yang terdiri atas rantai pasok pemasok, rantai pasok manufaktur, rantai pasok distributor, rantai pasok pengecer dan terakhir rantai pasok pelanggan (Yunus, 2017) (Chopra & Meindl, 2007). Aktivitas dalam manajemen rantai pasok untuk sampai dengan terpenuhinya kebutuhan pelanggan terdiri dari beberapa aktivitas yaitu perkiraan permintaan, penyeleksian pemasok, pemesanan bahan baku, pengendalian persediaan, penjadwalan produksi, pengapalan dan pengiriman, manajemen informasi serta manajemen mutu sebagaimana yang disampaikan oleh (Ma’arif & Tanjung, 2003).

Dalam memahami bagaimana sebuah perusahaan dapat mencapai kondisi yang efektif dan optimal dalam rantai pasok distribusi dalam hal daya tanggap dan efisiensi, maka perlu dilakukan pemeriksaaan terhadap faktor pendorong logistik dan lintas fungsional dari kinerja rantai pasokan yang terdiri atas yang pertama fasilitas yaitu merupakan lokasi fisik sebenarnya dalam jaringan rantai pasokan tempat produk disimpan, dirakit atau dibuat, yang terdiri atas tempat produksi dan tempat penyimpangan, keputusan mengenai peran, lokasi, kapasitas dan fleksibilitas fasilitas berdampak significant terhadap kinerja rantai pasokan; yang kedua persediaan, mencakup seluruh bahan mentah, barang setengah jadi dan barang jadi dalam rantai pasokan, kebijakan pengendalian kapasitas persediaan dapat berdampak terhadap tingkat efisiensi dan data tanggap rantai pasokan; yang ketiga transportasi, merupakan alat yang digunakan dala pemindahan persediaan dari satu titik ke titik yang lain yang dapat terdiri dari beberapa kombinasi moda dan alat, pilihan transportasi berdampak terhadap respons dan efisiensi rantai pasokan; yang keempat informasi, terdiri dari data dan analisis mengenai fasilitas, persediaan, transportasi, harga dan biaya serta inventarisasi pelanggan diseluruh rantai pasokan, informasi memberi kesempatan kepada manajemen untuk membuat rantai pasokan lebih responsive dan lebih efisien; yang kelima sumber, merupakan pemilihan subjek pelaku yang akan melakukan aktivitas rantai pasokan tertentu seperti produksi, penyimpanan, transportasi atau pengelolaan informasi, keputusan penentuan sumber mempengaruhi daya tanggap dan efisiensi rantai pasokan; dan yang keenam adalah harga, penetapan harga ini menentukan berapa besar harga yang akan dikenakan perusahaan untuk barang dan jasa yang disediakan dalam rantai pasokan, penetapan harga mempengaruhi perilaku pembeli barang atau jasa, sehingga mempengaruhi kinerja rantai pasok. Manajemen rantai pasok yang sukses membutuhkan banyak keputusan yang berkaitan dengan arus informasi, produk, dan dana. Setiap keputusan harus dibuat untuk meningkatkan surplus rantai pasokan. Keputusan ini jatuh ke dalam tiga kategori atau fase, tergantung pada frekuensi setiap keputusan dan kerangka waktu selama fase keputusan berdampak, yang terdiri atas fase penetapan strategi atau desain, fase perencanaan dan fase operasional (Haryanto & Santosa, 2022).

Dalam aktivitas distribusi rantai pasokan, terdapat 6 (enam) desain jaringan distribusi yang berbeda yang dapat digunakan untuk memindahkan produk dari pabrik ke pelanggan, antara lain penyimpanan oleh produsen dan pengiriman langsung, penyimpanan oleh produsen dan pengiriman langsung dengan metode pengiriman barang tersebar secara langsung dari sumbernya pada masing-masing jenis pesanan, penyimpanan oleh distributor dan pengiriman bersumber dari satu gudang yang dimiliki untuk didistribusikan kepada pelanggan, penyimpanan oleh distributor dan pengiriman bersumber dari beberapa gudang yang dimiliki untuk didistribusikan kepada pelanggan berdasarkan jarak dengan pelanggan, penyimpanan oleh produsen atau distributor dan pengambilan secara langsung oleh pelanggan serta penyimpanan oleh pengecer dan pengambilan oleh pelanggan (Chopra & Meindl, 2007). Proses bongkar muat berperan dalam aktivitas distribusi tersebut, baik didalam distribusi melalui jalur darat, jalur laut maupun jalur udara, khusus dalam proses bongkar muat dalam pengiriman yang menggunakan jalur laut terdapat beberapa istilah dan potensi kejadian yang disampaikan oleh (Lopez, 1992), yaitu laytime, laycan, demurrage dan despatch. Laytime merupakan waktu yang diperbolehkan bagi kapal dan pihak pelabuhan untuk melakukan bongkar muat kapal, laycan merupakan waktu paling awal (tercepat) dan terlama untuk kapal dapat muat barang di pelabuhan, demurrage merupakan kejadian apabila terjadi aktivitas di pelabuhan (leadtime) yang melebihi waktu laytime sedangkan despatch merupakan kebalikan dari demurrage yaitu merupakan reward apabila pekerjaan pemuatan atau pembongkaran muatan kapal diselesaikan lebih cepat dari pada waktu laycan.

Pengertian demurrage adalah lamanya waktu kapal berlabuh yang diperbolehkan dikenakan biaya atau denda (time allowed) untuk setiap kali bongkar muat yang ditentukan berdasarkan kecepatan dalam melakukan bongkar muat barang (loading rate dan discharging rate), sehingga dapat diartikan bahwa demurrage merupakan batas waktu bongkar muat yang melebihi dari waktu yang telah disepakati sehingga perusahaan dikenakan denda (Dewi & Majid, 2020). Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya demurrage antara lain yang pertama karena keterlambatan akibat dermaga penuh (tight schedule) yaitu banyaknya ketidakpastian yang terjadi di pelabuhan berupa waktu kedatangan kapal dan jika proses bongkar muat sudah menimbulkan antrian di dermaga, maka keterlambatan akibat dermaga penuh tidak sesuai dengan yang telah dijadwalkan. Tidak hanya itu, ada kapal lain yang tiba-tiba datang dan harus melakukan bongkar muat terlebih dahulu karena sudah waktunya bongkar muat di pelabuhan lain, karena muatan kapal akan segera rusak, atau karena terjadi hal-hal yang tidak terduga seperti cuaca buruk; yang kedua adalah karena adanya kerusakan pada alat bongkar muat, karena pada saat kegiatan bongkar muat berlangsung ada banyak kendala yang harus dilalui. Kurangnya suku cadang untuk peralatan pada saat proses bongkar muat sering menyebabkan kerusakan pada peralatan untuk bongkar muat, yang menyebabkan terhentinya kegiatan bongkar muat memakan waktu yang cukup lama; hal ini berakibat kegiatan bongkar muat menjadi lebih lama, sehingga pada saat pelaksanaan bongkar muat di pelabuhan terjadi keterlambatan waktu bongkar muat kargo batu bara yang menyebabkan demurrage; ketiga, pengurusan dokumen-dokumen pendukung bongkar muat menjadi terhambat; dan keempat, cuaca yang kurang mendukung pada saat pelaksanaan kegiatan bongkar muat kargo. Pada saat bongkar muat, sebaiknya semuanya dilakukan dengan tertib, cepat dan sistematis. Namun pada kenyataannya, cuaca juga dapat mempengaruhi kegiatan operasional pada saat bongkar muat. Jika terjadi kondisi cuaca buruk yang tidak terduga seperti hujan, angin kencang atau badai. Dalam hal ini kegiatan bongkar muat dan seluruh operasional kapal dihentikan sementara agar tidak terjadi hal-hal yang dapat membahayakan pengguna jasa pelabuhan maupun menimbulkan kecelakaan pada awak kapal.

Pada dasarnya, demurrage bukan merupakan pembayaran pajak atau denda kepada pemerintah, namun bagi industri pelayaran yang melakukan perjanjian, ada demurrage sebagai denda atau sanksi karena terlambat melakukan bongkar muat sesuai dengan batas waktu yang telah disepakati dalam perjanjian. Namun tidak hanya demurrage, perusahaan pelayaran juga melakukan perjanjian dengan despacth, yaitu bonus atau imbalan yang dibayarkan oleh pemilik kapal kepada penyewa kapal karena telah melakukan pekerjaan dengan cepat sehingga waktu bongkar muat di kapal berakhir lebih awal tanpa mengalami keterlambatan bongkar muat. Dampak yang ditimbulkan dari adanya demurrage antara lain adalah tidak stabilnya manajemen keuangan perusahaan, kesulitan dalam pembiayaan dokumen kapal dan kesulitan dalam melakukan pembayaran operasional kapal.

Dalam upaya mengoptimalkan kualitas pendistribusian barang yang dipesan oleh pelanggan, salah satu hal yang perlu diperhatikan oleh supplier dan distributor adalah kualitas produk, karena kualitas produk merupakan suatu hal yang penting dalam mengoptimalkan kualitas pendistribusian pasokan kepada pelanggan, karena kualitas produk merupakan kemampuan suatu produk untuk melakukan fungsi-fungsinya, kemampuan tersebut meliputi daya tahan, keandalan, ketepatan, yang diperoleh produk secara keseluruhan (Kotler & Keller, 2016). Perusahaan harus selalu meningkatkan kualitas produk atau jasanya, karena dengan meningkatkan kualitas produk dapat membuat pelanggan merasa puas terhadap produk atau jasa yang diberikan dan akan mempengaruhi pelanggan untuk melakukan pembelian ulang terhadap produk tersebut, sehingga dapat ditegaskan bahwa kualitas produk adalah keseluruhan ciri, sifat dan spesifikasi yang dimiliki oleh suatu barang atau jasa yang bergantung pada kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan pelanggan, karena pelanggan akan lebih menyukai dan memilih produk yang memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan produk lain yang sejenis yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya.

 

Metode

Strategi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah evaluasi dengan jenis studi kasus, yang merupakan penelitian dengan pendekatan kualitatif, Penelitian evaluasi adalah penelitian yang menggunakan metode sistematis untuk mengetahui tingkat keefektifan suatu program, kegiatan, kebijakan atau objek lain yang diteliti dibandingkan dengan tujuan atau standar yang diterapkan (Sugiyono, 2013). Dalam evaluasi ini, kriteria-kriteria yang mempengaruhi terjadinya demurrage, under supply, klaim kualitas dan klaim kontaminasi pada perusahaan diperoleh dari pendapat para ahli dan hasil penelitian terdahulu.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara, observasi dan dokumentasi, yang menghasilkan data primer dan data sekunder sebagai data penelitian. Sumber data primer berasal dari hasil wawancara dan dokumentasi yang dilakukan terhadap 7 (tujuh) responden dari unit yang berbeda namun berkaitan erat dengan fungsi-fungsi manajemen rantai pasok yang berjalan di PT X dan hasil observasi yang dilakukan untuk memvalidasi informasi mengenai kondisi pabrik. Sedangkan sumber data sekunder berasal dari realisasi kuantitas penjualan, realisasi kinerja laba, realisasi biaya demurrage dan realisasi biaya ganti rugi atas kualitas barang yang tidak sesuai pesanan serta dokumentasi laporan lainnya yang relevan yang memiliki hubungan dengan implementasi rantai pasok distribusi di PT X. Dalam teknik analisis data, penelitian ini menggunakan analisis isi deskriptif kualitatif, analisis isi kualitatif bersifat sistematis, analitis namun tidak kaku seperti pada analisis isi kuantitatif. Kategorisasi hanya digunakan sebagai panduan, sehingga memungkinkan munculnya konsep-konsep atau kategorisasi lain selama proses penelitian berlangsung (Rachmat, 2006). Analisis isi deskriptif adalah analisis isi yang bertujuan untuk menggambarkan secara detail suatu pesan atau teks tertentu. Desain analisis isi ini tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu atau menguji hubungan antar variabel. Analisis isi murni bersifat deskriptif, menggambarkan aspek-aspek karakteristik dari suatu pesan (Eriyanto, 2011).

Dalam proses penelitian terdapat kerangka kerja penelitian yang menjadi panduan dalam tahapan proses penelitian, seperti di dalamnya terdapat penentuan kriteria evaluasi yang digunakan dalam penjabaran evaluasi setiap kondisi yang terjadi pada proses bisnis rantai pasok, kerangka kerja penelitian diawali dengan penentuan rumusan masalah serta tujuan dan manfaat penelitian dengan tujuan untuk mendapatkan dasar dan arah penelitian yang dilakukan. Tahapan selanjutnya adalah menentukan tinjauan pustaka yang relevan, yang akan digunakan sebagai panduan dalam melakukan evaluasi terhadap data dan informasi yang diperoleh dalam observasi, sehingga proses selanjutnya adalah melakukan pengumpulan informasi mengenai kondisi yang berjalan dan terjadi di perusahaan dengan menggunakan instrumen wawancara kepada responden, melakukan observasi ke lapangan dan mendokumentasikan hasil wawancara dan informasi yang diperoleh. Proses dilanjutkan dengan pengumpulan data, data yang dimaksud berupa data notulen rapat mengenai topik yang berkaitan dengan manajemen rantai pasok, data kondisi pasokan tidak optimal dan tidak terealisasinya volume pasokan, data kejadian dan biaya demurrage, data kejadian dan biaya klaim kualitas, dan kontaminasi produk yang terjadi di perusahaan.

Pada penelitian ini, evaluasi didasarkan pada beberapa indikator kriteria, yang diperoleh dari pendapat para ahli serta hasil penelitian terdahulu dan beberapa peneliti. Menurut (Kotler & Keller, 2012), terdapat kriteria yang digunakan sebagai alat evaluasi, antara lain kecepatan dan transparansi, kecepatan distribusi pada rantai pasok merupakan hal yang penting dan harus selalu ditingkatkan untuk menyesuaikan kondisi pasar, dan transparansi informasi harus selalu dijaga untuk memudahkan dalam melakukan kontrol terhadap rantai pasok yang digunakan (Rochmato, 2016). Beberapa indikator kriteria lainnya yang bersumber dari penelitian-penelitian terdahulu antara lain diperoleh indikator kriteria komunikasi (Ndiba et al., 2016), kesiapan persediaan (Muhammad & Sumarauw, 2014), kecepatan (Rochmato, 2016), keakuratan jadwal laycan, kesesuaian spesifikasi kapal dan kesiapan persediaan (Nur et al., 2022), waktu tunggu bongkar muat (Dewi & Majid, 2020), kerusakan alat bongkar muat (Praharsi & Maulana, 2020), cuaca buruk dan kesiapan dokumen (Indriyani & Anggoro, 2022) serta kepatuhan terhadap prosedur dalam meningkatkan kualitas produk (Halin, 2018). Setelah proses evaluasi dilakukan, hasil yang diharapkan adalah diperolehnya kriteria-kriteria yang mempengaruhi terjadinya permasalahan yang terjadi pada manajemen distribusi rantai pasok di PT X, kemudian tahap akhir adalah memberikan rekomendasi untuk tujuan perbaikan bagi perusahaan dalam mengelola manajemen distribusi rantai pasok agar dapat mengoptimalkan kuantitas pasokan, meminimalisir biaya demurrage dan mengoptimalkan kualitas produk sesuai dengan pesanan pelanggan.

 

Hasil dan Pembahasan

Hasil penelitian ini membahas tentang evaluasi implementasi rantai pasok pada PT X yang menghasilkan bahwa dalam hal perkiraan permintaan terdapat kondisi yang tidak optimal yaitu dalam pembentukan RKAP, unit of export menerima arahan dari perusahaan induk untuk pemenuhan target dari pemegang saham, namun tidak terdapat kontrol dalam hal komitmen dengan pabrik pihak berelasi/OPCO dalam hal pemenuhan jumlah produksi untuk kuota ekspor yang diberikan kepada PT X sehingga hal tersebut menyebabkan terjadinya kondisi under supply atau wanprestasi dari PT X kepada pelanggan dalam hal pemenuhan kuantitas pesanan dikarenakan persediaan yang tidak memadai, kondisi ini memiliki keterkaitan dalam hal pengendalian persediaan yang juga diperoleh hasil yang tidak optimal yaitu terkait erat dengan kualitas komunikasi, kualitas koordinasi, kualitas transparansi informasi serta kualitas komitmen dari induk perusahaan sebagai regulator serta dari pabrik berelasi/OPCO sebagai produsen barang dalam memenuhi persediaan sebagaimana nilai perencanaan target yang telah ditetapkan perlu adanya peningkatan dan dukungan dari seluruh pihak yang terkait. Kondisi yang tidak optimal tersebut menyebabkan adanya under supply dan loss supply serta menyebabkan kondisi target tidak tercapai yang terjadi pada PT X dalam aktivitas distribusi pasokan, sebagaimana dalam tabel 1 berikut ini:

 

Tabel 1: Kuantitas Kontrak Tidak Terpenuhi

Sumber: Data Sekunder (diolah)

 

Selanjutnya hasil evaluasi dalam hal pengapalan dan pengiriman diperoleh kondisi bahwa dalam penyelesaian demurrage dan klaim kualitas dalam proses distribusi barang pesanan, terdapat kondisi yang menjadi kendala antara lain tidak adanya ketegasan klausul didalam kontrak, terdapat perbedaan standar dalam perhitungan LTC yang menyebabkan kondisi pada beberapa kejadian PT X yang menanggung kerugian biaya, serta adanya metode pemotongan (net off) secara langsung atas tagihan atas material oleh pelanggan yang terlibat dalam kasus tersebut. Kondisi ini tentu saja sangat merugikan bagi PT X baik secara finansial maupun non finansial yang seharusnya bukan merupakan tanggung jawab PT X yang berperan sebagai agent, melainkan merupakan tanggung jawab pemasok selaku pemilik barang atau tanggung jawab pelanggan selaku penerima barang ataupun pihak pemilik kapal yang berperan dalam penyedia sewa kapal serta dalam penyelesaian overnight maupun kontaminasi barang yang sudah terjadi, diperlukan adanya upaya lebih dari PT X untuk menghindari klaim biaya. Kasus overnight yang telah terjadi merupakan kasus pembongkaran yang terlambat dalam pengiriman menggunakan jalur darat dan berpotensi pada biaya armada yang menginap atau bahkan pembatalan pesanan, sedangkan kontaminasi barang terjadi dalam transaksi ekspor karena barang tercampur oleh material lain. Apabila kedua kondisi tersebut dihitung menjadi biaya, maka biaya akan ditagihkan oleh pelanggan dan pemilik armada kepada PT X, sehingga untuk menghindari kondisi tersebut, PT X melakukan negosiasi secara persuasif namun tidak menutup kemungkinan terdapat dampak kepada reputasi. Kondisi tersebut merupakan kondisi yang dapat dihindari apabila terdapat perjanjian yang jelas mengatur potensi kejadian tersebut serta terdapat komitmen dari pemasok barang untuk menjaga kualitas barang yang didistribusikan kepada pelanggan PT X, sehingga dapat dikatakan bahwa penerapan aktivitas rantai pasok tidak optimal dalam hal pengapalan dan pengiriman. Kondisi yang tidak optimal tersebut menyebabkan adanya biaya demurrage yang terjadi pada PT X dalam aktivitas distribusi pasokan, sebagaimana dalam tabel 2 berikut ini:

 

Tabel 2: Biaya Demmurrage

Sumber: Data Sekunder (diolah)

 

Disamping itu dalam hal manajemen informasi juga diperoleh kondisi penerapan yang tidak optimal yang terlihat dari kondisi penerbitan perjanjian penjualan dilakukan oleh unit of international trading dengan tanpa memperoleh informasi yang pasti dan komitmen yang penuh dari unit of export dan pihak berelasi/OPCO atas kepastian ketersediaan barang sehinga berpotensi adanya kondisi cancel supply yang berdampak kepada kerugian secara finansial yang tidak tercapai dan penalty yang ditanggung oleh PT X serta penyelesaian masalah atas wanprestasi kontrak kerjasama yang melibatkan aspek hukum serta kondisi perjanjian jual-beli hanya diterbitkan oleh PT X untuk transaksi ekspor pada dengan pihak pelanggan saja, sedangkan perjanjian dengan pihak pemasok yang merupakan pabrik pihak berelasi tidak dilakukan penerbitan perjanjian dan hanya dalam bentuk PO (purchase order), kondisi tersebut menyebabkan adanya kerancuan dalam memutuskan permasalahan yang timbul dalam proses transaksi jual-beli maupun distribusi barang dikarenakan tidak terdapat kesepakatan yang sah secara hukum yang dapat dijadikan pedoman. Hal tersebut juga berlaku sama pada jenis transaksi impor, domestik dan transaksi sewa kapal, tidak terdapat perjanjian yang mendasari perikatan jual-beli, melainkan hanya berdasarkan PO (purchase order) yang disepakati oleh pihak penyewa kapal dengan PT X yang tidak menuliskan secara rinci hak dan kewajiban masing-masing pihak dan kondisi serupa juga terjadi dalam hal manajemen mutu yang menunjukkan hasil bahwa tidak terdapat aktivitas yang terkait dengan pengendalian dan pemantauan atas kualitas barang pesanan yang dilakukan oleh pabrik pihak berelasi/OPCO sebelum didistribusikan kepada PT X maupun pemantauan yang dilakukan oleh PT X kepada pelanggan, sehingga menyebabkan adanya kualitas barang yang tidak sesuai pesanan yang diterima pelanggan sehingga menyebabkan kondisi klaim ganti rugi yang pada akhirnya ditanggung oleh PT X.

Dalam hal manajemen mutu barang pesanan pelanggan, PT X mempercayakan sepenuhnya kepada pabrik/OPCO yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab penuh dalam memastikan barang telah sesuai dengan standar mutu dan telah sesuai dengan spesifikasi pesanan pelanggan yang disepakati. Hal tersebut dikarenakan PT X hanya berperan sebagai distributor yang tidak bertanggung jawab atas kualitas barang yang telah keluar dari pabrik/OPCO dikarenakan desain distribusi barang yang dimiliki PT X adalah distribusi secara langsung dari pabrik atau produsen kepada pelanggan tanpa adanya proses transit dikarenakan tidak adanya mekanisme werehouse yang diterapkan oleh manajemen PT X, sehingga manajemen mutu menjadi tanggung jawab penuh dari pihak pabrik berelasi/OPCO. Adapun poin utama dalam aktivitas ini yang tidak optimal yaitu terkait dengan adanya kondisi klaim kualitas dan barang terkontaminasi, maka diperoleh hasil evaluasi bahwa tidak terdapat aktivitas yang terkait dengan pengendalian dan pemantauan atas kualitas barang pesanan yang dilakukan oleh pabrik pihak berelasi/OPCO sebelum didistribusikan kepada PT X maupun pemantauan yang dilakukan oleh PT X kepada pelanggan, sehingga menyebabkan adanya kualitas barang yang tidak sesuai pesanan yang diterima pelanggan sehingga menyebabkan kondisi klaim ganti rugi yang pada akhirnya ditanggung oleh PT X. Kondisi yang tidak optimal tersebut menyebabkan adanya biaya klaim kualitas serta keluhan pelanggan atas barang terkontaminasi yang terjadi pada PT X dalam aktivitas distribusi pasokan, sebagaimana dalam tabel 3 dan 4 berikut ini:

 

Tabel 3: Biaya Klaim kualitas

Sumber: Data Sekunder (diolah)

 

Tabel 4: Kuantitas Barang Terkontaminasi

Sumber: Data Sekunder (diolah)

 

Berdasarkan evaluasi yang dilakukan dalam penelitian ini, maka dapat diperoleh hasil bahwa terdapat beberapa kriteria kondisi yang menjadi penyebab terjadinya under supply, antara lain (1) komunikasi, alokasi perencanaan kuantitas kurang tepat yang dilakukan oleh unit of international trading bersama dengan induk perusahaan dan pihak berelasi/OPCO menjadi faktor utama dalam permasalahan yang terbentuk dari pemasok. Kondisi ini terjadi secara berulang pada setiap tahunnya dalam pembentukan prognosa ataupun rencana kerja anggaran perusahaan (RKAP) dalam hal penentuan alokasi kuantitas baik secara jumlah kuantitas pada setiap bulannya maupun penentuan alokasi kuantitas berdasarkan jenis transaksi baik domestik maupun ekspor yang tentu saja menciptakan kondisi tidak kondusif bagi PT X dalam upaya pendistribusian barang pesanan kepada pelanggan. Adapun kondisi perencanaan yang tidak akurat tersebut juga menyebabkan informasi yang tidak akurat perihal potensi posisi dan jumlah stok persediaan pada masing-masing perusahaan pihak berelasi/OPCO yang menyebabkan terganggunya PT X dalam pemenuhan pesanan pelanggan, disamping itu komunikasi yang terbentuk dalam internal PT X dengan perusahaan induk maupun pihak berelasi/OPCO yang tidak berjalan baik menyebabkan informasi bias atau bahkan perbedaan persepsi dan perbedaan data persediaan yang dijadikan pedoman bagi PT X dalam melakukan bisnis menjadi tidak tepat. Komunikasi interpersonal dan komunikasi dalam formal forum perlu dilakukan secara berkelanjutan dan tidak terpisah satu sama lain dalam seluruh agenda yang ada terkait dengan penyusunan potensi dan prognosa persediaan dan harga diantara PT X sebagai pihak penjual, pihak berelasi/OPCO sebagai pihak pemasok serta induk perusahaan sebagai regulator, maka akan dapat diminimalisir potensi loss kuantitas yang dapat terjadi; (2) kerusakan alat (pabrik), tidak optimalnya kontrol Unit of Infrastruktur dari induk perusahaan dalam menetapkan perencanaan dan jadwal aktivitas maintenance mesin (overhaul) di pabrik pihak berelasi/OPCO dengan rata-rata membutuhkan selama 14 (empat belas) sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kalender, sehingga kondisi tersebut membuat proses produksi terhenti untuk sementara waktu yang berdampak secara tidak langsung kepada okupasi ketersediaan stok barang. Pada kondisi tersebut, terjadi secara bergantian diantara satu pabrik pihak berelasi/OPCO dengan satu pabrik pihak berelasi/OPCO yang lain, sehingga merupakan suatu sistem yang tidak terkendali secara berkelanjutan dan merupakan suatu kondisi yang tidak dapat dihindarkan apabila tidak terdapat pemahaman dan komitmen bersama untuk melakukan perubahan dan perbaikan. Dalam kaitannya dengan peran dan tanggung jawab pemeliharaan mesin ini merupakan peran dari unit operation & shipping yang berada pada perusahaan induk yang dapat diindikasikan dikarenakan jumlah tenaga kerja yang terbatas, keahlian yang kurang optimal ataupun adanya unsur kelalaian pada karyawan sehingga menyebabkan kondisi tersebut terjadi. Bagi PT X, kondisi ini merupakan kondisi yang fatal dikarenakan perbaikan pada waktu yang tidak diprediksi dan tidak dapat diperkirakan untuk dikomunikasikan dengan pelanggan akan berdampak terhadap kondisi persediaan dan kemampuan supply kepada pelanggan, sehingga akan berpotensi terjadinya wanprestasi dalam kontrak kerjasama dikarenakan tidak optimalnya kuantitas yang dapat didistribusikan oleh PT X kepada pelanggan sebagaimana pesanan; (3) kesiapan persediaan, tidak adanya kontrol dari Unit of export dari induk perusahaan dalam menetapkan target perusahaan dengan tanpa memperhatikan komitmen atas ketersediaan stok, sehingga pada saat PT X tidak memiliki permasalahan dengan market demand, namun PT X tetap tidak akan mampu melakukan penjualan secara optimal dan akan terjadi wanprestasi dalam pemenuhan kontrak pesanan ataupun tidak mampu melakukan penjualan akibat tidak didukung dengan persediaan yang memadai. Tidak terpantaunya kondisi stok dan proses distribusi barang kepada pelanggan diakibatkan tidak adanya sistem terintegrasi yang menjembatani untuk dapat dinikmati oleh seluruh fungsi dari PT X, pihak berelasi/OPCO dan induk perusahaan. Pemantauan yang dilakukan saat ini berjalan secara terpisah dan tidak terintegrasi menjadi data akurat, sehingga menyebabkan adanya pengelolaan informasi yang tidak optimal, analisa prognosa yang tidak akurat serta penyelesaian masalah yang tidak realtime. Adapun sistem yang dimiliki PT X hanya berkaitan dengan sistem pengelolaan keuangan, namun secara khusus untuk sistem terkait penjualan dan distribusi masih belum dimiliki secara mandiri, sedangkan sistem persediaan yang dimiliki induk perusahaan dan pihak berelasi/OPCO tidak dapat diakses oleh PT X sebagaimana regulasi induk perusahaan serta untuk sistem pemantauan distribusi masih dalam tahap perencanaan oleh induk perusahaan, tentu saja ketiga faktor diatas sudah jelas memberikan gambaran bahwa terdapat kekurangan sistem yang akurat dan realtime yang dapat akses ooleh seluruh fungsi secara komprehensif dan berkelanjutan. Bagi PT X kondisi ini merupakan kendala yang besar, dikarenakan informasi yang diperoleh berpotensi besar adalah bias dan tidak akurat, sehingga akan berdampak kepada kesalahan dalam penentuan keputusan penjualan dalam pengelolaan bisnis dengan pelanggan dan mengakibatkan wanprestasi dalam pemenuhan pesanan ataupun mengakibatkan adanya permasalahan dalam proses distribusi yang tidak dapat langsung ditangani sebagai akibat perlu waktu yang lama dalam proses penelusuran dan pengidentifikasian penyebab; (4) kecepatan, kriteria kecepatan berkaitan erat dengan kriteria kesiapan persediaan. Apabila kesiapan persediaan cukup memadai permintaan pelanggan, maka PT X akan dapat mengkondisikan ritme kecepatan pemenuhan tersebut, dan sebaliknya ritme kecepatan tidak akan dapat dilakukan apabila persediaan tidak cukup menunjang sebagaimana yang terjadi pada PT X; (5) transparansi, terjadi kondisi penyampaian prediksi dan informasi yang tidak transaparan dalam penentuan prognosa tahunan, sehingga menyebabkan unit pengadaan dan unit penjualan tidak dapat memprediksikan secara akurat untuk potensi optimalisasi kinerja produksi dalam pabrik pihak berelasi/OPCO sehingga berdampak terhadap tidak akuratnya prognosa kuantitas penjualan yang dapat dilakukan. Adapun kondisi tersebut terjadi dapat diindikasikan dalam 3 (tiga) faktor yaitu faktor rendahnya fungsi komunikasi diantara unit yang terkait dalam pembentukan prognosa, terdapat kondisi kurangnya keahlian yang dimiliki, tidak berjalanannya alur pelaksanaan pengecekan secara optimal sehingga menyebabkan hasil kinerja pengecekan tidak komprehensif atau terdapat unsur kelalaian dari unit operation & shipping. Bagi PT X, kondisi ini merupakan kondisi yang fatal dikarenakan tidak diperolehnya transparansi informasi yang akurat membuat adanya kesalahan dalam penentuan target bulanan dan tahunan yang berdampak kepada kesalahan dalam penentuan persediaan dan kemampuan supply kepada pelanggan, sehingga akan berpotensi terjadinya wanprestasi dalam kontrak kerjasama dikarenakan tidak optimalnya kuantitas dalam proses distribusi yang dilakukan kepada pelanggan. Dampak dari kondisi under supply dan loss supply dalam rantai pasok distribusi PT X mengakibatkan tidak optimalnya pencapaian kuantitas dan pendapatan yang menunjukkan bahwa terdapat kondisi realisasi kuantitas penjualan yang tidak mencapai target yang terjadi pada setiap tahunnya sejak tahun 2019 sampai dengan 2021 dengan prosentase pencapaian sebesar 81% pada tahun 2019, 94% pada tahun 2022 dan 72% pada tahun 2021 yang mana pada setiap tahunnya menunjukkan bahwa terjadi peningkatan target kuantitas persediaan untuk dapat dilakukan penjualan ekspor namun dalam realisasinya tidak pernah tercapai dengan total loss kuantitas penjualan mencapai 4.543.405 metric ton. Disamping itu, terjadi kondisi loss kuantitas selama tahun 2019 sampai dengan tahun 2021 dikarenakan tidak terpenuhi jumlah pengiriman sebagaimana yang seharusnya telah disepakati dalam kontrak yang menyebabkan adanya loss kuantitas sejumlah 540.737 metric ton dengan potensi pendapatan yang loss sebesar 275,1 miliar rupiah. Sehingga kondisi tersebut selaras dengan paparan diatas bahwa terdapat alokasi perencanaan yang tidak tepat sehingga menyebabkan tidak seimbangnya persediaan dengan jumlah target yang direncanakan serta tidak optimalkan dukukan atas komitmen ketersediaan barang sebagaimana dalam target oleh pabrik berelasi/OPCO, sehingga hal tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat permasalahan bagi PT X dalam melakukan pemasaran dan memperoleh pasar, namum permasalahan yang terjadi justru dalam hal ketersediaan pasokan barang yang menjadi penghambat dalam proses distribusi barang kepada pelanggan secara optimal.

Berdasarkan evaluasi yang dilakukan dalam penelitian ini, maka dapat diperoleh hasil bahwa terdapat beberapa kriteria kondisi yang menjadi penyebab terjadinya demurrage, antara lain (1) waktu bongkar muat, waktu penyelesaian pemuatan tidak sesuai dengan jadwal laycan sebagai akibat dari stok persediaan barang yang tidak memenuhi jumlah pesanan, sehingga kondisi tersebut menimbulkan waktu tunggu dari kapal untuk pemenuhan muatan yang berdampak terhadap waktu pemuatan barang yang melebihi batas waktu dari pengaturan laytime sehingga berdampak terhadap terjadinya demurrage, waktu penyelesaian pemuatan tidak sesuai dengan jadwal sebagai akibat dari rendahnya maintenance control atas fasilitas loading-unloading dari Unit of infrastructure, yang menyebabkan terjadinya kerusakan fasilitas loading pada saat pemuatan. Kondisi kerusakan yang mendadak tersebut menyebabkan adanya penghentian sementara atas proses pemuatan yang sedang berlangsung tersebut dan mengakibatkan adanya waktu tunggu kapal dengan rentang waktu selama 14 (empat belas) hari sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kalender sampai dengan proses perbaikan selesai dilakukan dan perhitungan waktu tunggu tersebut termasuk dalam kategori perhitungan demurrage, waktu penyelesaian pemuatan tidak sesuai dengan jadwal sebagai akibat dari kapal yang akan melakukan pemuatan barang tertahan dalam posisi menunggu antrian dikarenakan proses pemuatan pada kapal sebelumnya belum selesai dilakukan sebab adanya kondisi cuaca ekstrem yang mengharuskan penghentian sementara atas kegiatan pemuatan, sehingga kondisi tersebut menimbulkan waktu tunggu dari kapal untuk pemenuhan muatan yang berdampak terhadap waktu pemuatan barang yang melebihi batas waktu dari pengaturan laytime sehingga berdampak terhadap terjadinya demurrage serta waktu penyelesaian pemuatan tidak sesuai dengan jadwal sebagai akibat dari kapal yang akan melakukan pemuatan barang tertahan dalam posisi menunggu antrian dikarenakan proses pemuatan pada kapal sebelumnya belum selesai dilakukan sebab adanya kondisi keterlambatan sandar pada kapal tersebut yang melebihi range waktu laytime yang dijadwalkan, sehingga kondisi tersebut menimbulkan waktu tunggu dari kapal untuk pemenuhan muatan yang berdampak terhadap waktu pemuatan barang yang melebihi batas waktu dari pengaturan laytime sehingga berdampak terhadap terjadinya demurrage; (2) kerusakan alat (bongkar muat), tidak optimalnya kontrol Unit of infrastructure dari induk perusahaan dalam menetapkan perencanaan dan jadwal aktivitas perawatan dan perbaikan pelabuhan atau yang sering disebut dengan dredging, yaitu aktivitas pembersihan di sekitar wilayah pemuatan dari sisa barang terjatuh yang tidak terangkut dalam muatan, sehingga kondisi tersebut membuat dampak adanya pemberhentian secara mendadak untuk sementara waktu dalam proses pemuatan; (3) kesiapan dokumen (bongkar muat), dokumen bill of lading (B/L) tidak siap pada saat proses bongkar, sedangkan dalam kondisi normalnya dokumen bill of lading (B/L) seharusnya siap sebelum kapal tiba di pelabuhan bongkar. Dalam kasus yang telah terjadi di PT X, penyebab dokumen tidak siap pada saat kapal tiba di Pelabuhan bongkar ini dikarenakan masih menunggu konfirmasi dari pemiliki kapal yang disewa untuk merilis bill of lading (B/L). Dalam kasus ini terjadi keterlambatan dalam pembongkaran di Pelabuhan bongkar sehingga mengakibatkan terjadi demurrage yang dibebankan kepada PT X. Adapun dalam kasus ini, besarnya nilai demurrage yang ditagihan oleh pemiliki kapal yang disewa kepada PT X dapat ditagihkan kembali kepada pelanggan walaupun dengan proses yang cukup panjang dan memerlukan proses negosiasi; (4) kesiapan dokumen (pembayaran L/C), kesiapan dokumen letter of credit (L/C) menjadi salah satu faktor yang penting dalam proses pembongkaran di Pelabuhan bongkar. Dalam kasus yang telah terjadi di PT X terdapat kondisi dimana pelanggan di Bangladesh tidak bisa memberikan konfirmasi atas bill of lading (B/L) kepada pemilik kapal yang disewa sebagaimana paparan nomor 3 (tiga) diatas dikarenakan dokumen letter of credit (L/C) yang belum terbit di Bangladesh sebagai akibat perbankan di Bangladesh pada saat tersebut dalam kondisi libur atau tutup. Sehingga kondisi tersebut menyebabkan pelanggan tidak dapat melakukan pengecekan atas kesesuaian nilai bill of lading (B/L) dengan letter of credit (L/C) yang seharusnya terbit, maka pelanggan memilih untuk tidak melakukan konfirmasi sampai dengan dokumen letter of credit (L/C) telah siap; (5) keakuratan jadwal laycan, tingkat akurasi yang tinggi atas jadwal laycan dalam penentuan bongkar muat kapal sangat berdampak significant terhadap penurunan potensi waktu tunggu bongkar muat yang dapat disebabkan oleh jadwal yang bentrok maupun jadwal yang tidak sesuai dengan kesiapan pemasok maupun pelanggan. Tingkat akurasi jadwal laycan yang rendah juga dapat membuat terganggunya proses bongkar muat bagi kapal pada antrian selanjutnya, sehingga membuat terjadinya waktu tunggu dan keterlambatan yang beruntun dari satu kapal dengan kapal yang lainnya diakibatkan kesalahan penentuan jadwal laycan. Dalam PT X terdapat kondisi serupa yang terjadi namun tidak dalam tingkat pengulangan yang tinggi terjadi, hal tersebut disebabkan karena adanya kualitas komunikasi yang tidak baik diantara unit of operational & shipping & shipping & shippingal PT X dengan pelanggan, sehingga mengakibatkan adanya biaya keterlambatan waktu bongkar pada pelabuhan bongkar yang menjadi beban dan tanggung jawab PT; (6) kesesuaian spesifikasi kapal, kesesuaian spesifikasi kapal terkait erat dengan kapasitas loading rate dalam proses pemuatan di kapal. Apabila besaran kuantitas pemuatan melebihi ataupun dibawah dari kapasitas loading rate kapal, maka akan berdampak kepada demurrage yang dapat diindikasikan salah satunya karena faktor spesifikasi kapal yang tidak sesuai dalam pemesanan sewa. Dalam kondisi yang terjadi pada PT X tidak dijumpai adanya kesalahan dalam pengadaan sewa kapal, sehingga kriteria kesesuaian spesifikasi kapal dalam proses distribusi dan bongkar muat telah dipenuhi oleh PT X; (7) kesiapan persediaan, kesiapan persediaan berkaitan dengan potensi terjadinya waktu tunggu pemuatan, apabila kapal telah berjalan sesuai dengan jadwal laycan yang disepakati namun tidak didukung dengan adanya persediaan yang memadai dari pemasok yaitu pabrik berelasi/OPCO, maka akan menyebabkan waktu tunggu pada kapal yang telah sampai di pelabuhan muat tersebut. Waktu tunggu yang terbentuk tersebut mengakibatkan terjadinya biaya demurrage yang harus ditanggung oleh pemasok. Kapal yang telah terlanjur berlayar mengikuti laycan dan menjadi menunggu tersebut tidak dapat melakukan tindakan pembatalan pemuatan dikarenakan kerugian biaya yang ditanggung akan semakin besar, sehingga kondisi tersebut memaksakan kapal untuk menunggu sampai dengan persediaan telah siap dilakukan pemuatan keatas kapal. Kondisi ini telah terjadi dalam PT X dikarenakan berkaitan erat dengan kriteria kesiapan persediaan dan kesiapan alat (pabrik) yang masih tidak optimal dikelola oleh masing-masing pabrik berelasi/OPCO; (8) kepatuhan terhadap prosedur, kepatuhan terhadap prosedur dapat dikategorikan sebagai salah satu faktor penting dalam menjalankan aktivitas rantai pasok, tidak terlepas berlaku dalam upaya preventif maupun mitigasi dari terjadinya demurrage dalam proses distribusi dan bongkar muat. Dalam PT X maupun pabrik berelasi/OPCO tidak terdapat SOP yang mengatur secara spesifik perihal pihak yang bertanggung jawab serta instruksi yang komprehensif dalam penyelesaian maupun upaya mitigasi diantara pabrik berelasi/OPCO sebagai pemasok dan PT X sebagai distributor, sehingga kondisi tersebut menyebabkan terjadinya kesulitan dalam penentuan tindakan penyelesaian maupun dalam penentuan keputusan dan siapa yang berwenang memberikan keputusan apabila terjadi kondisi demurrage, dan akibatnya adalah penyelesaian demurrage menjadi membutuhkan waktu yang lama dan membuat adanya potensi PT X sebagai distributor menjadi pihak yang menjadi penanggung dengan alasan menjaga hubungan baik dengan pelanggan dan penyelesaian dengan pihak pabrik berelasi/OPCO dapat dilakukan secara internal, yang tentu saja kondisi tersebut dalam kenyataannya sangat merugikan bagi PT X yang mana terbebani biaya demurrage dengan nilai yang besar; (9) cuaca buruk, cuaca merupakan faktor yang tidak dapat diprediksi dan tidak dapat hindari (force majure) sebagai salah satu potensi terjadinya kondisi yang tidak terduga, namun lingkungan dapat diantisipasi untuk tidak menjadi permasalahan yang menimbulkan biaya dan rasa tidak puas dalam layanan dengan melakukan diskusi dan komunikasi secara terbuka pada tahap awal pembentukan kerjasama diantara PT X dengan pemasok dan pelanggan. Dalam penerapannya di PT X, faktor cuaca buruk telah dituliskan dalam perjanjian kontrak kerjasama sebagai suatu kesepakatan kondisi yang tidak dapat dihindari (force majure) sehingga termasuk didalam kondisi pengecualian biaya demurrage apabila disebabkan adanya cuaca buruk dalam proses bongkar muat. Terjadinya demurrage merupakan kondisi yang merugikan bagi kinerja keuangan PT X. Demurrage merupakan biaya yang seharusnya tidak ditanggung oleh PT X yang tidak berperan sebagai pemilik barang maupun pihak pemiliki armada, malainkan berperan sebagai distributor. Terjadinya biaya ini tentu saja mengganggu kondisi keuangan PT X terlepas dari besar ataupun kecil nominal yang tertanggung, antara lain sebagaimana yang terjadi pada PT X yaitu adanya biaya demurrage sejak tahun 2019 sampai tahun 2021 dengan total nilai biaya yang ditanggung PT X adalah sebesar 12,1 miliar rupiah yang seharusnya merupakan tanggungan dari pemasok yaitu pabrik berelasi/OPCO, serta juga terdapat piutang yang menggantung dan berpotensi menjadi biaya bagi PT X sebesar 13,5 miliar rupiah, adapun kondisi tersebut disebabkan beberapa faktor internal dan eksternal sebagaimana paparan diatas yang melibatkan internal PT X dan perusahaan berelasi namun secara penanggungan biaya merugikan bagi PT X yang menjadi penanggung yang berperan sebagai distributor.

Berdasarkan evaluasi yang dilakukan dalam penelitian ini, maka dapat diperoleh hasil bahwa terdapat beberapa kriteria kondisi yang menjadi penyebab terjadinya klaim kualitas dan contaminated product, antara lain (1) komunikasi, tidak optimalnya komunikasi diantara PT X dengan pemasok membuat PT X tidak dapat memberikan penjelasan yang logis kepada pelanggan atas kualitas barang yang terjadi. Dan disamping itu tidak efektifnya komunikasi tersebut membuat adanya waktu menunggu bagi pelanggan untuk memperoleh konfirmasi dan penjelasan dari PT X selaku penjual dalam kurun waktu yang lama. Adapun kondisi tersebut menyebabkan pelanggan melakukan langkah sepihak untuk melakukan net off dengan jenis tagihan dalam transaksi lainnya tanpa melalui komunikasi dengan PT X. Kondisi ini seharusnya dapat dihindari apabila diantara pemasok dan PT X memiliki kualitas komunikasi yang bagus dan transparan; (2) kepatuhan terhadap prosedur, rendahnya product awareness dari fungsi quality control (QC), merupakan salah satu penyebab dari terjadinya kondisi wanprestasi PT X kepada pelanggan dalam hal pemenuhan kualitas dan kontaminasi barang serta tidak adanya SOP yang memadai terkait dengan manajemen mutu yang dimiliki secara mandiri oleh PT X sebagai bentuk pemantauan secara internal kepada pabrik berelasi/OPCO sebelum barang didistribusikan kepada pelanggan. Dampak dari kondisi kualitas yang tidak memenuhi spesifikasi permintaan pelanggan tersebut menyebabkan adanya biaya klaim kualitas barang yang ditanggung oleh PT X terhadap pelanggan dengan nilai sebesar 4, miliar rupiah dengan nilai kuantitas sebesar 25.000 metric ton pada tahun 2019 serta tercatat sebesar 13.383 metric ton kontaminasi produk yang telah terjadi selama tahun 2019 sampai dengan tahun 2021 dalam aktivitas distribusi barang kepada pelanggan.

Adapun berdasarkan beberapa indikator kriteria diatas yang menyebabkan beberapa permasalahan dalam distribusi rantai pasok, maka beberapa rekomendasi pengendalian yang dapat dilakukan antara lain, (1) peningkatan komunikasi untuk seluruh unit yang terkait dalam hal pembentukan komitmen ketersediaan barang yang sejalan dengan target yang telah ditetapkan; (2) pola komunikasi yang diterapkan dapat berlaku 2 (dua) arah, baik dari pemasok dan induk perusahaan (regulator) kepada PT X maupu dari PT X kepada pemasok dan induk perusahaan (regulator) untuk dapat memperoleh  kesepakatan dalam penentuan target dengan kapasitas persediaan dan kondisi pasar; (3) Unit of infrastructure wajib berkomitmen dalam melakukan maintenance dan pengecekan secara berkelanjutan untuk menghindari adanya kerusakan mesin yang mendadak yang dapat menghentikan proses produksi; (4) Unit of infrastructure wajib mengkomunikasikan secara transparan jadwal yang dimiliki untuk rencana perbaikan kepada unit of export dan Department of trading & business development, sehingga dapat dikondisikan dengan jadwal pengiriman pesanan kepada pelanggan; (5) peningkatan penggunaan sistem berbasis teknologi dalam fasilitas arus informasi dan monitor data maupun persediaan dan distribusi, sehingga pihak pemasok (pabrik berelasi/OPCO) dan distributor (PT X) dapat secara bersama-sama memantau secara real time kondisi persediaan sebelum dilakukan pemasaran, sehingga risiko gagal supply dapat teratasi dengan cepat dan efektif; (6) transparansi dalam informasi kapasitas produksi berdasarkan kemampuan mesin produksi, kondisi ini dapat dilakukan oleh unit of infrastructure pada saat agenda penyusunan target bersama dengan PT X dan pabrik berelasi/OPCO; (7) penetapan waktu laycan dengan lebih akurat supaya tidak mengganggu jadwal bongkar muat setelahnya sehingga tidak terdapat waktu tunggu; (8) komitmen dari Unit of infrastructure dalam menentukan jadwal perbaikan alat dan fasilitas bongkar muat, sehingga tidak terdapat waktu tunggu; (9) peningkatan kualitas komunikasi dengan pelanggan untuk mengetahui update informasi perihal kendala yang menyebabkan konfirmasi bill of lading (B/L) belum dapat dilakukan serta peningkatan fungsi double checking administrasi sebelum proses bongkar muat dikerjakan; (10) peningkatan pengecekan dan validasi dokumen atas letter of credit (L/C) untuk menghindari kesalahan yang berdampak terhadap berhentinya kegiatan bongkar muat; (11) keakuratan jadwal laycan yang dapat didukung dengan persiapan pelabuhan yang optimal untuk melakukan proses bongkar muat serta ketepatan dalam penentuan ship-owner; (12) peningkatan kesadaran atas pentingnya kepatuhan untuk penerbitan dokumen perjanjian jual beli yang disepakati bersama dan diakui oleh hukum sebelum dilakukan proses transaksi dengan adanya penjelasan klausul penyelesaian demurrage secara rinci dan jelas; (14) tindakan preventif untuk kondisi cuaca buruk dapat dilakukan dengan peramalan cuaca yang lebih logis, berdasarkan analisa yang tepat dan berdasarkan history kondisi alam yang telah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya serta pengikatan force majure dalam perjanjian jual beli yang disepakati oleh pemasok, agen, pelanggan dan PT X sendiri sebagai distributor; (15) peningkatan komunikasi diantara PT X, unit of export, fungsi quality control serta fungsi produksi dalam menjaga komitmen bersama untuk menjaga kualitas barang sebagaimana standar yang dimiliki dan sesuai dengan spesifikasi pesanan pelanggan; (16) pemantauan terhadap kesesuaian penerapan SOP dalam hal menjaga kualitas barang untuk menghindari adanya kualitas buruk, kualitas tidak sesuai pesanan maupun kontaminasi pada barang sebelum barang didistribusikan oleh PT X kepada pelanggan.

 

Kesimpulan

   Hasil penelitian ini menunjukkan bukti bahwa aktivitas distribusi rantai pasok pada PT X berjalan tidak optimal selama kurun waktu tahun 2019 sampai dengan 2021 sehingga menyebabkan terjadinya kondisi pemenuhan permintaan pelanggan yang kuantitas yang tidak terpenuhi, kondisi hilangnya potensi kuantitas penjualan, terjadinya kondisi demurrage dalam proses bongkar muat barang pesanan, terjadinya wanprestasi dalam pemenuhan komitmen kualitas barang yang tidak sesuai dengan spesifikasi permintaan pelanggan serta terjadi kontaminasi jenis material lain. Keseluruhan kondisi tersebut menyebabkan dampak secara keuangan, antara lain menunjukkan tingkat efisiensi biaya yang rendah dengan terbentuknya biaya atas demurrage dengan total sebesar 25,6 miliar rupiah, biaya atas klaim kualitas sebesar 4,1 miliar rupiah serta juga terdapat pendapatan yang gagal diperoleh sebagai akibat pemenuhan kuantitas distribusi yang tidak sesuai dengan kontrak adalah sebesar 271,1 miliar rupiah. Adapun keseluruhan kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa indikator dalam pengelolaan rantai pasok distribusi perusahaan antara lain indikator kecepatan, transparansi, komunikasi, kesiapan persediaan, waktu tunggu bongkar muat, kerusakan alat, cuaca buruk, kesiapan dokumen, kesesuaian spesifikasi kapal, keakuratan jadwal laycan serta kepatuhan terhadap prosedur yang mana keseluruhan indikator tersebut menunjukkan kondisi yang tidak optimal, dan apabila ditarik satu kesimpulan yang menjadi indikator kriteria utama adalah komunikasi yang saling terkait didalam seluruh indikator kriteria yang ada tidak berjalan efektif. Hasil ini menunjukkan bahwa komunikasi dan pemantauan yang optimal dalam distribusi rantai pasok sangat berperan penting terhadap kualitas dari aktivitas distribusi rantai pasok yang dilakukan serta berdampak terhadap efisiensi biaya yang dapat ditimbulkan dalam proses distribusi pasokan.

Penelitian ini memiliki keterbatasan yang berkaitan dengan keterbatasan dalam memperoleh informasi dan data-data yang lebih rinci pada setiap aspek dikarenakan kebijakan perusahaan sehingga diperlukan adanya konfirmasi yang berulang untuk memperoleh informasi yang akurat serta dalam penentuan indikator kriteria yang digunakan dalam proses evaluasi cukup terbatas, sehingga dapat dikembangkan kembali dalam penentuan jenis dan batas kriteria tersebut untuk penelitian selanjutnya. Dalam penelitian selanjutnya juga disarankan untuk dapat melakukan wawancara kepada responden dengan jumlah yang lebih banyak yang tentu saja yang memerlukan upaya dan waktu yang lebih banyak, namun hal ini bertujuan untuk keakuratan data yang lebih baik dalam penelitian serta tetap melakukan penelitian yang berkelanjutan dengan harapan agar dapat melihat dan menilai setiap perubahan perilaku responden dari waktu ke waktu yang menunjuk kepada perubahan pola dalam menjalankan aktivitas distribusi dalam rantai pasok.

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Anatan, Lina, & Ellitan, Lena. (2008). Supply chain management teori dan aplikasi. Bandung: Alfabeta.

 

Arif, Muhammad. (2018). Supply Chain Management. Deepublish.

 

Chopra, Sunil, & Meindl, Peter. (2007). Supply chain management. Strategy, planning & operation. Springer.

 

Dewi, Shinta Mardiana, & Majid, Mustaqim. (2020). Upaya Pengurangan Demurrage Terhadap Pelaksanaan Bongkar Muat Kapal Chemical Tanker Pada PT Samudera Indonesia Jakarta. MUARA: Jurnal Manajemen Pelayaran Nasional, 3(1), 39–45.

 

Eriyanto. (2011). Analisis isi: Pengantar metodologi untuk penelitian ilmu komunikasi dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Kencana Prenada Media Group.

 

Halin, Hamid. (2018). Pengaruh kualitas produk terhadap kepuasan pelanggan semen baturaja di palembang pada pt semen baturaja (PERSERO) Tbk. Jurnal Ecoment Global, 3(2), 79–94.

 

Haryanto, Jennifer Victoria Astari, & Santosa, Wahyuningsih. (2022). Pengaruh Strategi Manajemen Rantai Pasok Terhadap Kinerja Operasional Pada Usaha Mikro Kecil Dan Menengah. Sains: Jurnal Manajemen Dan Bisnis, 15(1), 63–88.

 

Hsiao, H. I., van der Vorst, J. G., & Omta, S. W. F. (2006). Logistics outsourcing in food supply chain networks: Theory and practices. International Agri-Food Chains and Networks, 135.

 

Indriyani, Indriyani, & Anggoro, Retno. (2022). Analisis Biaya Tambahan (Demurrage) di Perusahaan Keagenan Kapal Akibat Penundaan Penerbitan Surat Persetujuan Berlayar (SPB)(Studi Pada PT. Adi Bahari Nuansa Banten). Saintara: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Maritim, 6(2), 127–132.

 

Kotler, Philip, & Keller, Kevin Lane. (2012). Marketing Management 14th ed. Global Edition. Harlow: Pearson Education Limited.

 

Kotler, Philip, & Keller, Kevin Lane. (2016). A framework for marketing management. Pearson Boston, MA.

 

Lopez, Norman J. (1992). Bes’ Chartering and Shipping Terms. Barker & Howard.

 

Ma’arif, M. Syamsul, & Tanjung, Hendri. (2003). Manajemen operasi: Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.

 

Muhammad, Mubaroq Rayan, & Sumarauw, Jacky S. B. (2014). Evaluasi kinerja manajemen rantai pasok pada pemasok daging ayam, Jeky PM. Jurnal EMBA: Jurnal Riset Ekonomi, Manajemen, Bisnis Dan Akuntansi, 2(4).

 

Ndiba, Tirsa A. F., Wullur, Magdalena, & Tumade, Petrus. (2016). Evaluasi kinerja rantai pasok komoditas cengkeh (studi pada Desa Lalumpe Kabupaten Minahasa). Jurnal EMBA: Jurnal Riset Ekonomi, Manajemen, Bisnis Dan Akuntansi, 4(1).

 

Nur, Zulhajriani, Kadir, Rahman, & Toaha, Muhammad. (2022). Dampak Demurrage Terhadap Penjualan Ekspor di PT Semen Tonasa. SEIKO: Journal of Management & Business, 4(3), 496–501.

 

Praharsi, Yugowati, & Maulana, Danis. (2020). Analisa kinerja bongkar muat dengan lean six sigma untuk mengurangi demurrage di pelabuhan PT. Petrokimia Gresik. Jurnal Manajemen Maranatha, 19(2), 105–114.

 

Rochmato, Kevin Prayogo. (2016). Evaluasi Manajemen Rantai Pasok Pada Usaha Global Pamungkas. Jurnal Performa: Jurnal Manajemen Dan Start-up Bisnis, 1(6), 642–650.

 

Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. (Bandung Alf.).

 

Yanto, Agus Fitri. (2018). Analisis Pengaruh Kualitas Produk dan Promosi terhadap Keputusan pembelian produk kartu seluler indosat. AKSES: Jurnal Ekonomi Dan Bisnis, 13(1).

 

Yunus, Muhammad. (2017). Pengaruh Teknologi Rantai Pasokan, Kolaborasi Rantai Pasokan, Terhadap Kinerja Rantai Pasokan Yang di Mediasi Kapabilitas Inovasi (Studi Pada Usaha Kecil Menengah Di DI Yogyakarta).