MOTIVASI INTRIKSIK AUDITOR DALAM MEMAKNAI FILOSOFI KNOWLEDGE, WISDOM & INTEGRITY
Febe Natalia
Budiono
Universitas Surabaya, Fakultas Bisnis dan Ekonomika
Email: febenatalia97@gmail.com
Abstrak
Tujuan
studi ini adalah peran motivasi intrinsik bagi profesi auditor dalam
menjalankan tanggung jawabnya sebagai public interest melalui filosofi
KWI sehingga daapt memegang nilai-nilai ketulisan, kejujuran, dan integritas.
Menggunakan metode Studi literatur, seluruh data dan informasi berasal dari
jurnal-jurnal yang relevan, artikel berita dan buku yang akan membuat
penelitian ini dapat diandalkan. Temuan utama dari studi ini Membentuk individu
yang lebih peka terhadap sekitar, dan lebih bisa menghargai orang-orang
disekitar. Bagi seorang auditor, memaknai KWI sebagai dorongan intrinsik akan
memberikan perspektif yang baru dan berbeda dalam menjalankan peran sebagai public
interest. Teori yang digunakan adalah peran auditor sebagai public
interest yang akan dikaitkan dengan theory of inspired confidence.
Selanjutnya, kedua teori ini akan dipahami melalui filosofi KWI untuk mendorong
motivasi intrinsik dalam memaknai peran auditor sebagai public interest.
Kata
kunci: pengetahuan; kebijaksanaan; integritas; kepentingan publik; theory of inspired confidence; motivasi
intrinsik
Abstract
This study aims to understand the role of intrinsic
motivation for the auditor profession in carrying out their responsibilities as
a public interest through KWI philosophy so that it can hold the values of
sincerity, honesty, and integrity. This research adopts the literature review,
all data and information come from relevant journals, news articles and books
that will make this research reliable. The main findings of this study are
forming individual auditor who are more sensitive to their surroundings and
able to appreciate the people around them. For an auditor, interpreting KWI as
an intrinsic motivation will provide a new and different perspective in
carrying out the role as a public interest. The theory used is the role of the auditor
as a public interest which will be associated with the theory of inspired
confidence by Limperg (1932). Furthermore, these two theories will be
understood through the KWI philosophy to encourage intrinsic motivation in
interpreting the role of the auditor as a public interest.
Keywords: knowledge,
wisdom, integrity, public interest, theory of inspired confidence, intrinsic
motivation
Pendahuluan
Fakultas Bisnis
dan Ekonomika (FBE) di salah satu
universitas swasta di Surabaya memiliki
3 nilai utama, yaitu knowledge, wisdom, dan integrity
(KWI). Ketiga nilai ini dapat dipahami
dalam konteks yang luas, tidak hanya
terpaku dalam mahasiswa FBE saja. Tepatnya, moto KWI dapat dimaknai juga oleh seluruh profesi agar pekerjaan yang dilakukan dapat lebih bermakna. Fokus studi ini
adalah memaknai filosofi KWI dari perspektif auditor eksternal.
Auditor merupakan sebuah pekerjaan yang tidak hanya berorientasi pada kepentingan klien namun juga harus memastikan bahwa pengguna laporan keuangan eksternal mendapatkan informasi yang sebenar-benarnya. Menurut (Sihotang, 2019) salah satu perbedaan
auditor dengan profesi akuntan lainnya adalah mereka bersedia
menerima tanggung jawab untuk bertindak
bagi kepentingan publik, bukan pada klien saja. Kepatuhan
auditor pada nilai-nilai fundamental memang wajib namun
memiliki kualitas KWI dalam diri akan
membuat pribadi seseorang lebih berkualitas dan bermakna. Hingga kini masih
banyak kasus-kasus yang mengecewakan publik dan masyarakat. Misalnya saja kasus Jiwasraya
dan Garuda Indonesia. Disinilah peran
auditor yang mengupayakan agar kepentingan
umum didahulukan daripada kepentingan orang-orang tertentu saja.
Sudah sejak
lama kecurangan, fraud, manipulasi
dan tindakan buruk lainnya terjadi dalam dunia bisnis yang tentunya juga berdampak negatif pada sistem sosial. Salah satu contohnya adalah hilangnya rasa percaya masyarakat pada organisasi tertentu (Syahroni & Sujarwadi, 2018) (Kismawadi, 2021) (Iwan Putra, 2023). Dalam mengupayakan kembalinya
kepercayaan publik, maka organisasi menerbitkan laporan tentang kondisi keuangannya. Sayangnya, hal ini malah
digunakan untuk menyembunyikan kecurangan dan kelalaian manajemen. Salah satu tujuan dari
profesi auditor eksternal adalah menerima tanggung jawab untuk kepentingan publik, selain untuk memastikan bahwa laporan keuangan
yang dibuat oleh klien sudah sesuai standar
yang berlaku dan bebas dari salah saji material (D. S. T. Putra & Muid, 2012) (Arief, 2016) (Arum Ardianingsih, 2021).
Penelitian kali ini
lebih berfokus pada “public
interest”, sebuah kata yang sangat sering digunakan dalam aspek akuntansi.
Namun, apa arti dari public interest (kepentingan
publik) yang sebenarnya? Menurut (Baker, 2005) ada beberapa arti yang
mengacu pada kepentingan publik, tergantung dari seberapa besar
perspektif ideologi responden. Menurut artikel singkat yang diterbitkan oleh (IFAC, 2012) kepentingan publik adalah manfaat yang diterima oleh seseorang, kelompok, atau badan yang mendapatkan manfaat dari suatu aksi,
keputusan, dan kebijakan
yang dibuat. Dalam perjalanannya
memaknai KWI, salah satu faktor utama yang menjadi pendorong adalah motivasi intrinsik, karena memaknai KWI memerlukan tekad yang kuat dan membutuhkan dorongan dari dalam diri
sendiri. Jika tidak, maka akan sangat susah bagi seseorang
untuk mendalami KWI sebagai prinsip dalam menjalani pekerjaan(Hedlund-de Witt, De Boer, & Boersema,
2014).
Tujuan dari penelitian ini juga mengharapkan agar kedepannya Auditor dapat memaknai KWI dalam profesinya sehingga mendorong auditor lebih tulus dan jujur dalam melakukan pekerjaannya, atau sebagai motivasi intrinsik. Selain itu, diharapkan juga agar dengan adanya penelitian ini semakin sedikit
auditor yang menerima tawaran
suap ataupun melakukan kecurangan. Selain itu, Auditor juga tidak boleh lupa bahwa
salah satu tujuan dari profesi mereka
adalah memastikan perannya yang bertindak mewakili kepentingan publik sehingga integritasnya harus benar-benar terjaga (IAPI, 2020) (Tandiono et al., 2023).
Research question yang akan
terjawab dalam penelitian ini adalah bagaimana memaknai filosofi KWI dalam profesi auditor sebagai motivasi intrinsik untuk mengingatkan bahwa auditor tidak hanya bertanggung
jawab pada klien saja namun mereka
juga harus memastikan bahwa pengguna eksternal pun berhak mendapatkan informasi yang benar-benar sesuai dengan kondisi, bukannya hasil manipulasi. Auditor memikul tanggung jawab yang cukup besar, maka
dari itu memaknai KWI sebagai dorongan intrinsik dalam membantu auditor menjalankan pekerjaan dan tanggung jawabnya agar semakin memegang erat kode etik.
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut tentunya diperlukan kajian-kajian teori yang akan menuntun penelitian
ini agar tetap fokus dan terarah. Secara garis besar, penelitian ini akan menyoroti kepentingan dalam profesi auditor yang memiliki tanggung jawab sebagai public interest. Sangat penting
untuk memahami apa makna dari
istilah “public interest” (IFAC, 2012). selanjutnya, theory of inspired confidence
yang berasal dari hasil pemikiran Profesor Limperg pada tahun 1932 akan dijadikan acuan dalam memaknai peran auditor sebagai public
interest (Limperg, 1932). Selanjutnya, pemahaman
atas motivasi intrinsik akan memberikan pengertian pentingnya dorongan dari dalam diri
sendiri untuk memaknai KWI secara utuh. Terakhir, pemahaman filosofi KWI akan diperdalam dengan membahas nilai-nilai yang terkandung di dalamnya agar dapat menuntun pembaca dalam memaknainya.
Mengutip dari artikel yang diterbitkan oleh (IFAC,
2012) misi IFAC adalah melayani kepentingan publik dengan cara (a) berkontribusi untuk pengembangan, adopsi, dan implementasi dalam standar dan panduan internasional yang berkualitas;
(b) berkontribusi pada mengembangan
organisasi akuntansi profesional serta praktik akuntan profesional yang berkualitas; (c)
mempromosikan nilai-nilai dari akuntan profesional
secara global; dan (d) menyuarakan
isu-isu terkait dengan kepentingan publik (Nurmastadiyah,
2010) (Agustia,
2015) (Harmain
et al., 2019). Dalam rangka
memenuhi misi-misi tersebut, maka menjadi sangat penting untuk memahami maka sebenarnya yang terkandung dalam konsep public interest. Hal ini
perlu dilakukan agar pemahaman atas konsep ini tidak
ambigu dan simpang siur, karena setiap
individu pasti memiliki sudut pandang yang berbeda atas suatu konsep.
Maka dari itu, penjelasan dari konsep ini perlu
dijabarkan agar tidak salah
persepsi. (Baker,
2005) juga menyatakan
bahwa makna dari public interest bisa
sangat bervariasi, tergantung
dari seberapa luas sudut pandang
ideologi seseorang.
Dari sudut pandang
AICPA yang disimpulkan oleh (Baker,
2005) public interest diartikan sebagai mencapai kesejahteraan komunitas tertentu dan organisasi yang dilayani oleh profesi akuntan secara kolektif. Namun, masih ada
beberapa istilah yang tidak spesifik, seperti kata kesejahteraan yang kolektif (bersamaan). Apakah maksudnya kesejahteraan bersama antara komunitas tertentu dengan organisasi yang dilayani? Ataukah public interest juga melingkupi
orang-orang yang bukan merupakan
bagian dari komunitas dan organisasi yang dilayani?
Berdasarkan hasil pemikiran (Sawabe,
2005) public interest sebenarnya sama saja dengan private interest
jika dilihat dari perspektif teori ekonomi neoklasik,
biasanya teori ini cenderung didukung
oleh ahli teori yang memegang prinsip rasional. Secara umum ada empat
asumsi dasar yang disetujui oleh mereka yang mendukung prinsip rasional, yaitu: (1) mementingkan keuntungan maksimal, (2) struktur preferensi, (3) pengambilan keputusan pada kondisi yang tidak menentu, dan (4) memberikan penjelasan hasil kolektif yang berfokus pada kepentingan
orang-orang tertentu di dalam
suatu kelompok (Sawabe,
2005). Selanjutnya,
poin keempat benar-benar menunjukan bahwa pilihan rasional
disertai pula dengan sifat yang individualis dan mementingkan orang-orang tertentu
dalam sebuah kelompok. Jika konsep ini diaplikasikan, maka konsep public interest
tidak akan berbeda dengan “private
interest”. Sedangkan (IFAC,
2012) memberikan
definisi yang lebih detail,
bahkan menerbitkan artikel yang khusus membahas konsep public
interest dalam konteks
Auditor. Pertama, dijelaskan
bahwa istilah “publik” dan “interest”. berikutnya
akan membahas penilaian umum tentang keputusan dan kebijakan dalam public
interest (Suwitri, 2008) (Nasir, 2017).
Istilah “publik” yang dimaksud oleh (IFAC,
2012) mengacu
pada seluruh masyarakat secara inklusif (mengidentifikasi kelompok secara general yang disebut publik) dan bagaimana profesi akuntan memengaruhi setiap kelompok.
Investor, pemegang saham, dan pemilik bisnis. Mereka merupakan individu-individu yang kesejahteraannya
sangat bergantung dengan performa sebuah organisasi, biasanya hal itu akan
dinilai dari laporan keuangan (Purwani
& Oktavia, 2018) (Anggita,
Rinofah, & Sari, 2021). Makanya, kelompok di poin (a) sangat mengandalkan laporan keuangan sebagai dasar untuk mengambil
keputusan.
Konsumen dan supplier. Mereka adalah kelompok yang akan terpengaruh dengan hasil keputusan
yang dibuat oleh organisasi,
terutama dalam hal biaya, kualitas,
dan ketersediaan produk (Meithiana,
2019) (Sulistya
& SRI, 2013).
Wajib pajak dan masyarakat
yang merujuk pada kelompok
yang akan terkena dampak dari hasil
kerja akuntan yang memfasilitasi informasi keuangan dan melakukan pengambilan keputusan (Firmansyah,
Ak, Estutik, & Ak, 2021) (Azzahra,
2023). Meski dampak yang terjadi pada setiap jenis kelompok
berbeda, ada satu hal yang sama,
yaitu kewajiban Auditor untuk bertindak sebagai public interest tanpa
memandang kedekatannya dengan kelompok tertentu.
Secara umum interest
berarti seluruh hal yang bernilai bagi individu dan masyarakat. Maka interest ini
lebih terfokus pada hak-hak yang diterima oleh setiap orang. Interest inilah
yang harus diusahakan dan dikontrol. Profesi akuntan akan membantu
merealisasikan beberapa tujuan yang umumnya berkaitan dengan ekonomi dan manajemen sumber daya yang efisien, seperti (IFAC, 2012): meningkatkan kepastian dalam pasar melalui infrastruktur keuangan, pelaporan informasi finansial dan non finansial yang berguna bagi investor dan stakeholder,
adanya laporan finansial dan non finansial yang dapat dibandingkan diberbagai yurisdiksi, dan transparansi atas laporan finansial dan non finansial, terutama yang berkaitan dengan organisasi publik dan pemerintahan, dan lain-lain. Dari poin-poin
diatas, dapat dilihat bahwa Auditor memiliki peran penting untuk mewujudkannya.
Secara keseluruhan, profesi akuntan harus menghasilkan laporan keuangan dan non keuangan yang transparan dan jujur serta menjaga
akuntabilitas. Disinilah pentingnya memaknai filosofi KWI dalam memenuhi peran auditor sebagai publik interest
seutuhnya.
Metode
Metode penelitian akan bersifat studi
literatur, di mana seluruh
data-data dan informasi yang didapatkan
berasal dari jurnal-jurnal yang relevan, artikel berita dan buku yang akan membuat penelitian ini dapat diandalkan.
Kemudian, fokus utama penelitian adalah memahami motivasi intrinsik yang terkandung dalam filosofi KWI, sehingga dapat dipahami apa makna sesungguhnya
dalam peran auditor sebagai public interest.
Hasil dan Pembahasan
Menurut (Limperg,
1932) audit merupakan
salah satu institusi penting dalam kerangka
sosial. Maka sangat penting
untuk berfokus pada peran auditor sebagai public
interest yang harus benar
harus dilakukan dan dijalani. Ini berarti, auditor dipercaya oleh khalayak umum, oleh kelompok-kelompok yang
mengandalkan kinerjanya,
dan oleh orang-orang yang akan dipengaruhi
oleh hasil audit (Daraba,
2019). Kepercayaan
inilah yang harus selalu diingat oleh auditor ketika menjalankan tugasnya. Jika auditor secara sengaja tidak mengutamakan
perannya sebagai public
interest, maka untuk apa seseorang menjadi
auditor?
Salah satu cara
dalam menggerakan individu adalah dengan memberikannya motivasi, baik yang bersifat intrinsik maupun ekstrinsik. Fokus penelitian ini adalah peran
motivasi intrinsik melalui filosofi KWI. Melalui dorongan instrinsik, auditor tidak perlu lagi memaksakan
diri menjalankan peran sebagai public interest
hanya karena takut tidak dipercayai,
namun lebih kearah: “jika peran
public interest terpenuhi, maka
akan membawa kepuasan tersendiri”. Itulah makna yang ingin dicapai. (Rezaee,
2004) berpendapat
bahwa kasus-kasus terdahulu, seperti kasus Enron dan WorldCom membuat masyarakat mempertanyakan apakah fungsi audit dapat dipercaya? Dorongan auditor ketika memutuskan untuk membantu klien memanipulasi laporan keuangan adalah dorongan ekstrinsik (Eryanto,
2020) (Balleisen,
2023). KAP Arthur Andersen dengan sadar sepenuhnya
melakukan hal yang salah
demi tujuan tertentu. Maka dari itu, peran
motivasi intrinsik dalam menggerakan auditor sangat penting, agar peran sebagai public interest dapat
dilakukan tanpa paksaan dan ketika berhasil menjalankan perannya akan timbul
kepuasan dari dalam diri (Sulistiawan
& Januarsi, 2011) (Azaro,
Ekasari, & Susilowati, 2020) (Ainun
& Sari, 2021).
Rezaee melanjutkan, di tahun 1990-an profesi
akuntansi gagal memelihara fungsinya sebagai public interest. pertama,
kepercayaan terhadap
auditor sangat berkurang karena
gagal memberikan pelaporan keuangan yang dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan. Kedua, kegagalan audit sering dikaitkan dengan kegagalan bisnis sehingga masyarakat semakin meragukan kredibilitas dan fungsi dari audit. Terakhir, meski institusi profesi akuntan sudah mencoba memperbaiki
citra, mereka telah dianggap gagal mengadvokasi anggotanya dan masyarakat luas, atau karena
publik sudah terlalu kecewa sehingga menutup mata pada perubahan-perubahan yang
sudah diupayakan untuk meningkatkan keandalan dan integritas.
Disinilah peran membangun karakter menjadi sangat penting. Auditor
yang berkarakter cenderung memegang nilai-nilai yang dipercayainya dengan kuat dan tidak goyah. Pembentukan karakter yang seperti ini sangat membutuhkan dorongan instrinsik, karena sifat-sifat seperti integritas dan kebijaksanaan tidak dapat dipaksakan pada seseorang. Sering kali fraud dan penyelewengan
lain terjadi karena seseorang tidak memiliki integritas. Salah satu komponen paling penting dalam menjalani
kehidupan dan pekerjaan adalah memiliki integritas, manusia tanpa integritas cenderung lebih rentan terhadap tindakan menyeleweng. Dari filosofi KWI, integritas merupakan konsep yang paling susah direalisasikan namun juga bersifat menyeluruh. Integritas adalah sikap dan tindakan yang harus dibangun atau dimiliki
sejak awal. Memiliki dan membangun integritas akan menuntun individu pada kebijaksanaan dan pengetahuan.
Maka pembahasan pada penelitian
ini akan dimulai dari integritas.
Menanamkan Integritas
Ada empat komponen
penting dalam integritas, yaitu honour, kejujuran, akuntabilitas, dan reliability. Keempat
hal ini tidak
terpisahkan dan saling berkaitan. Tanpa salah satu komponen, maka seseorang tidak bisa disebut
berintegritas. Seseorang
yang jujur, tentunya akan bangga dan menghormati pekerjaannya sehingga akan bertanggung
jawab pada tugas dan fungsinya agar dapat diandalkan.
Peran Auditor sangat erat kaitannya dengan integritas. Dalam kode etik profesi yang dibuat oleh (IESBA,
2014) integritas
merupakan komponen pertama yang harus dimiliki oleh setiap Auditor.
Pada section 110 (IESBA,
2014) dan subseksi
111 (IAPI,
2020) integritas
mengandung komponen kejujuran. Dorongan intrinsik, seperti senang dapat memenuhi
tugasnya sebagai public
interest akan sangat membantu
dalam mencapai integritas. Hal ini juga sangat membantu auditor mendapatkan kepercayaan dari kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan dengan hasil kerja auditor. Orang yang memiliki integritas adalah orang yang dapat dipercayai namun sebaliknya, orang yang tidak berintegritas, cepat atau lambat, akan
kehilangan kepercayaan masyarakat, timnya sendiri, bahkan dengan orang-orang terdekatnya.
Tidak berintegritas sama saja artinya merusak
kepercayaan orang lain.
Public interest sangat erat kaitannya
dengan integritas. Auditor tidak bisa menjalankan
perannya sebagai public
interest atau kepercayaan
masyarakat sosial bila tidak memiliki
integritas. Karena tanpa integritas, nilai dan prinsip moral yang dipegang seseorang mudah goyah. Tanpa adanya
motivasi intrinsik, individu tidak akan dapat memaknai
integritas. Alasannya sederhana: karena integritas muncul dari dalam diri
sendiri, tidak dapat dipaksakan. Maka dari itu, bagaimana
cara memunculkan motivasi intrinsik?
integritas membuat seseorang lebih mudah untuk tidak
terpengaruh dalam melakukan penyelewengan dan mengorbankan kepercayaan masyarakat. Integritas juga dapat berperan sebagai kompas moral dan etika bagi auditor sehingga dapat membatasi diri dari tindakan menyimpang
yang tidak sesuai dengan nilai dan prinsip yang dipegang.
Honour. Auditor memikul
tanggung jawab yang berat. Mereka diandalkan oleh banyak orang. Langkah awal dalam membangun integritas adalah rasa bangga terhadap suatu pekerjaan yang dilakukan. Rasa bangga akan mendorong individu lebih tulus dalam bertindak,
berpendapat, dan bekerja.
Rasa bangga juga cenderung menumbuhkan rasa ingin membuktikan diri, membuktikan bahwa memang pekerjaannya membanggakan. Menghormati pekerjaan dan fungsi dari auditor akan membuat seorang auditor paham betapa pentingnya
menjaga kepercayaan masyarakat.
Poin penting dalam motivasi intrinsik adalah melakukan suatu kegiatan atau aktivitas
tanpa adanya paksaan dari luar,
melainkan dari keinginan sendiri. Jika seorang auditor memang memiliki rasa bangga pada profesinya, maka mereka akan melakukan
pekerjaannya dengan baik dan maksimal karena hal tersebut
akan membawa kepuasaan. Auditor yang secara sukarela menjalankan perannya sebagai public
interest merupakan bentuk
dari usaha untuk mencapai instrinsik reward, dalam bentuk sense of achievement (Bajracharya,
2018). Maksudnya
adalah hasil kerja kerasnya terbayarkan lewat perasaan puas dan senang.
Menurut (Robinson,
2016) sikap menghormati akan mendorong seseorang untuk fokus pada janji. Peran auditor sebagai public
interest membuat mereka
dibebani tanggung jawab. Tanggung jawab inilah yang akan dianggap sebagai
janji. Auditor berjanji memberikan laporan audit yang jujur tanpa condong
pada kelompok tertentu. Honour juga sangat penting
dalam menjaga kepercayaan yang sudah diberikan oleh masyarakat, karena untuk menjaga
rasa kehormatan dan kebanggan
auditor akan mengatakan
yang sejujurnya dalam hasil auditnya. Hal ini akan menuntun
penelitian pada poin berikutnya yang berbicara tentang kejujuran.
Truthfulness. Salah satu bentuk
integritas adalah kejujuran. Bahkan, fokus utama integritas
dalam konteks kode etik profesi
sangat erat kaitannya dengan kejujuran dan kebenaran. Menurut (Robinson,
2016) kejujuran bukanlah sekedar konsep atau ide, namun lebih ke
arah bagaimana seseorang merepresentasikan dirinya sendiri. Kedepannya, kejujuran akan menjadi titik
balik dalam memaknai self-worth dan reputasi.
Self-worth sendiri merupakan
bentuk dari kesadaran bahwa diri sendiri memiliki
makna yang berarti. Menyadari bahwa diri sendiri juga penting. Keinginan mencapai self-worth adalah
salah satu bentuk dari dorongan intrinsik.
Dalam kehidupan dan pekerjaan,
kejujuran merupakan aspek yang sangat penting. Termasuk juga pekerjaan sebagai auditor, yang mana memikul
tanggung jawab yang sangat besar karena dipercayai
oleh masyarakat. Untuk menjaga keutuhan kepercayaan ini, aspek kejujuran menjadi krusial bagi auditor dalam menjalankan tugas dan pekerjaannya. (Robinson,
2016) menekankan
bahwa motivasi yang layak dalam melakukan
kejujuran adalah memiliki passion dalam kebenaran.
Sebagai auditor, mengungkapkan
kebenaran adalah hal mutlak, tidak
dapat ditawar. Kebohongan yang terbongkar akan merusak seluruh
reputasi seseorang atau bahkan organisasi
secara utuh. Kebohongan tentunya berakibat fatal pada hancur kepercayaan dan citra diri. Pada akhirnya, seseorang yang sudah tidak dapat dipercayai
sangat susah untuk mendapatkan kembali kepercayaan. Komponen penting dalam theory of confidence
adalah selalu berkata apa adanya
dan sejujur-jujurnya.
Accountability. Tujuan dari public interest
adalah memastikan transparansi, akuntabilitas, dan keandalan dari laporan keuangan (IESBA,
2014). Dalam mempertanggungjawabkan
tugas dan fungsinya sebagai auditor, sebelumnya mereka harus memaknai
honour dan kejujuran.
Jika dari awal tidak jujur, bagaimana
mau bertanggung jawab? Maka, akuntabilitas dapat juga disebut sebagai bukti dari
kejujuran. (Bovens,
2010) menyimpulkan
bahwa konsep akuntabilitas sebagai nilai kebajikan sering kali hanya dijadikan alat retorik untuk memberikan
citra yang transparan dalam konteks politik.
Kekurangannya lagi, akuntabilitas sebagai kebajikan tidak memiliki standar yang pasti. Maka Bovens mengemukakan
ide akuntabilitas sebagai sebuah mekanisme. Dalam bentuk mekanisme, akuntabilitas dapat dijadikan sebagai alat untuk mencapai
pertanggungjawaban organisasi
dan memastikan mereka berada di jalan yang benar.
Tujuan utama dari
akuntabilitas adalah membuktikan bahwa tindakan individu dapat dipercaya. Berarti, bisa dikatakan
bahwa tujuannya untuk mendapatkan kepercayaan dari orang lain, dalam konteks penelitian
kali ini adalah mendapatkan kepercayaan publik. Maka, keinginan agar dipercayai merupakan motivasi intrinsik bagi auditor, sedangkan reward-nya akan berbentuk
kepercayaan. Artinya, kepuasan dan kebahagiaan auditor akan tercapai ketika
berhasil dipercayai karena hasil pekerjaannya
dapat ia pertanggungjawabkan di depan publik.
Reliability. Komponen terakhir
dalam integritas memiliki tingkat kepentingan yang sama besar dalam membentuk
seseorang menjadi pribadi yang berintegritas. Reliability
bersifat komplementer bagi akuntabilitas. Salah satu bentuk pertanggungjawaban
yang harus dipenuhi oleh
auditor adalah menghasilkan
laporan yang hasilnya dapat diandalkan. Selain itu, reliability juga berkaitan
erat dengan kejujuran. Kebenaran yang diinformasikan harus dapat diandalkan. Jika disederhanakan, dari konsep reliability ini, tujuan yang ingin dicapai adalah dapat dipercaya karena sudah melakukan
kewajibannya sehingga dapat diandalkan. Dalam konteks auditor, beberapa hal yang perlu diandalkan adalah perilaku, tindakan, dan hasil auditnya. Ketika dorongan ingin dipercayai oleh publik muncul, maka dalam
mencapai keberhasilannya
auditor akan berusaha untuk bekerja dengan
jujur (berintegritas) sehingga publik dapat menilai, bisakah auditor ini diandalkan.
Begitu pula dalam
theory of inspired confidence. Kepercayaan dibangun dengan dasar kejujuran dan tanggung jawab, namun ini saja
tidak cukup. Auditor harus dapat menghasilkan
informasi yang dapat diandalkan untuk memenuhi perannya sebagai public interest dalam
memuaskan kebutuhan masyarakat. Reliability tidak
hanya mengacu pada hasil saja namun
juga harus berkaitan dengan sikap dan tindakan seorang auditor. Seseorang yang berintegritas sudah pasti memiliki
sikap dan hasil yang dapat diandalkan.
Menumbuhkan Kebijaksanaan
Integritas akan menuntun seseorang lebih bijaksana dalam mengambil keputusan atau pun dalam menjalani kehidupan dan pekerjaan. Kebijaksanaan berarti memahami apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak. Bertindak jujur dan bertanggung jawab adalah sebuah pilihan
yang dapat dipilih oleh setiap individu. Memutuskan untuk melakukan fraud juga bentuk dari pilihan menolak
jujur, memilih untuk merugikan orang lain.
Menjadi seorang
auditor memerlukan kebijaksanaan
dalam memahami setiap pilihan yang ada. (West,
2017) tanpa kebijaksanaan karakter yang luar biasa pun akan menjadi orang dalam kegelapan, tidak tahu harus
berbuat apa. Namun sebaliknya, tanpa knowledge dan karakter
yang baik kebijaksanaan tidak akan ada.
Dalam membangun kepercayaan,
kebijaksanaan sangat diperlukan,
Selain itu, dalam melakukan pekerjaannya mereka akan menemui
banyak sekali dilema, sehingga sangat memerlukan kebijaksanaan. Bagi seorang auditor, professional judgement sudah seperti makanan
sehari-hari. Sangat dibutuhkan
dalam banyak kegiatan audit. Dalam mengambil keputusan yang tepat, wisdom
sangat diperlukan oleh auditor. Ketika tujuan auditor mengarah pada professional
judgement, maka motivasi
intrinsiknya adalah pengambilan keputusan yang bijak. Ketika motivasinya sudah mengarah pada tujuan tersebut saatnya menggunakan komponen-komponen wisdom.
Trust. Auditor harus mampu
menjaga kepercayaan yang diterima dari masyarakat
sekaligus juga mempercayai tim auditnya. Ini berarti, kepercayaan dibutuhkan baik dari sisi internal maupun eksternal. Sekilas, kepercayaan sedikit berlawanan arah dengan skeptisisme,
namun sebenarnya tidak. Selain mempercayai klien, Auditor tetap harus bersikap skeptis dalam rangka
menjadi bijaksana. Kepercayaan juga berkaitan dengan reputasi seseorang atau organisasi. Melalui kepercayaan yang dititipkan oleh masyarakat, auditor diingatkan bahwa tanggung jawabnya tidak hanya sebatas pada klien namun juga pada masyarakat yang menaruh kepercayaan ditangan auditor. Memiliki kepercayaan berarti meyakini suatu hal, meyakini
nilai-nilai etika dan moral
yang dianut akan mengacu pada integritas.
Kepercayaan harus dibangun dengan kata “saling”. Saling percaya. Memerlukan minimal dua orang. Ingin
dipercaya dan mempercayai merupakan tujuan yang didorong oleh faktor intrinsik. Cara-cara yang dapat dilakukan adalah (a) langkah pertama yang harus dilakukan adalah jujur, karena hal
ini merupakan unsur terpenting dalam kepercayaan. Ketika auditor
salah melakukan audit, maka
harus bisa berlapang dada untuk mengakui kesalahan sebagai bentuk kejujuran. Selain itu, menepati janji juga merupakan bagian dari jujur. Auditor sudah berjanji dengan sumpah profesi,
dengan salah satu tugasnya sebagai public interest,
maka tepatilah hal itu. Kedua
(b) teguh pada pendirian.
Orang yang plin-plan akan susah mendapatkan kepercayaan, juga menunjukan bahwa tidak memiliki
ketegasan pada diri sendiri. Memiliki pendirian juga menandakan arah tedensi seseorang.
Auditor yang berpegang teguh
pada integritas, akan lebih mudah dipercayai.
Ketiga (c) menghargai hubungan, baik dengan tim audit maupun dengan klien.
Sebagai auditor, mendapatkan
kepercayaan publik memang penting, namun dipercayai oleh klien akan membuat
pekerjaan lebih ringan, tidak perlu
saling curiga.
Cooperation. Bekerja sama
berkaitan dengan seluruh level sosial. auditor bekerja sama dengan
timnya, di dalam tim audit, setiap anggota saling membantu dan mempercayai, memikul tanggung jawab bersama. Kemudian bekerja sama dengan klien,
dalam artian klien tidak perlu
bertindak penuh kerahasiaan, karena saling mempercayai berarti tidak mencurigai
sesama. Lalu yang terakhir bekerja sama dengan
pemegang saham, stakeholder,
dan masyarakat dengan cara menjaga kepercayaan
yang sudah diberikan pada
Auditor.
Kontek kerja sama erat kaitannya
dengan saling menguntungkan (Sterenly, 2016) dengan begitu sifatnya
akan menjadi symbiosis mutualisme. Biasanya, arah tujuan yang ingin dicapai juga sejalan. Menginginkan kerja sama dapat
dijadikan sebagai motivasi intrinsik. Berhasil bekerja sama akan menimbulkan
perasaan bangga dan puas. Namun jangan
sampai bekerja sama ini didasari
oleh motivasi yang salah, misalnya
melakukan kecurangan bersama, atau membantu
kelompok lain untuk bertindak semena-mena. Jika bekerja sama dilakukan
dalam konteks fraud, maka hal tersebut
tidak dapat dikategorikan sebagai komponen kebijaksanaan.
Holistic Perspective. Menurut (Fidiana,
2020) perilaku manusia itu holistik,
tidak hanya dapat dinilai atau
dihakimi dari satu sisi saja.
Makanya, dalam memahami manusia tidak boleh berprasangka
buruk atau berasumsi atas dasar yang tidak jelas. Perspektif holisik membantu individu untuk lebih memahami alasan terjadinya suatu hal, memahami
cara pandang orang lain tanpa menghakimi. Menguasai cara berpikir holistik akan menuntun auditor menjadi individu yang bijaksana. Menurut (Robinson,
2016) berpikir menggunakan sudut pandang holistik merupakan integrasi dari emosional, psikologi, dan intelektual yang nantinya akan membuat
individu lebih menghargai sesama. Rasa kemanusiaan dan menghormati perbedaan berasal dari cara pandang
holistik. Maka dari itu, perspektif holistik merupakan komponen yang sangat penting bagi a uditor. Karena melalui pandangan holistik auditor dapat membuka wawasannya, dan belajar memahami sesuatu dari berbagai
sudut pandang.
Humanity. Pernah mendengar atau membaca istilah
"memanusiakan manusia"?
Dalam beberapa aspek terkadang manusia lupa untuk merangkul
sesama manusia. Sama halnya dengan auditor, harus selalu ingat
bahwa manusia adalah makhluk sosial yang pastinya berinteraksi, dengan klien ataupun dengan
masyarakat (publik). Andaikata seorang Auditor menolong klien untuk memanipulasi data, sudah pasti mereka
lupa bahwa ada banyak orang yang dirugikan, sekaligus mengecewakan masyarakat.
Makna dari “memanusiakan manusia” mencangkup seluruh dimensi dalam kehidupan
manusia. Sejatinya, konsep ini sejalan
dengan nilai humanisme, di mana tujuannya adalah pengembangan rasa kemanusiaan dalam segala bentuk hingga
maksimal. mendorong potensi manusia yang masih bisa lebih
baik, bukannya memburuk baik dalam
sikap, perilaku, dan pola pikir (Siahaan,
2015) (Grudin,
2020). Pada intinya,
tidak peduli pada ras, budaya, agama, dan status sosial, semua manusia
harus diperlakukan dengan sama dan adil. Humanity akan menjadi salah satu motivasi intrinsik yang sangat kuat. Mengapa demikian?
Karena auditor akan berusaha
memerangi segala bentuk ketidakadilan (misalnya: fraud) dan memiliki
rasa empati yang besar.
Meritokrasi. Konsep meritokrasi sangat erat kaitannya dengan keadilan dan kesetaraan. Siapapun yang layak berhak mendapatkan reward atau kenaikan pangkat.
Jadi, dasar pemberiannya berasal dari performa
kinerja, bukan berdasarkan hubungan teman ataupun darah.
Contoh sederhananya,
auditor junior yang sudah bekerja
lembur akan diberikan gaji tambahan. Maka, hal ini akan dilihat
sebagai bentuk menghargai usaha seseorang. Konsep ini menjunjung tinggi kesetaraan, mirip seperti egalitarianisme.
Segala ras, suku, etnis, agama, dan status sosial tidak dianggap penting dalam konteks
meritokrasi. Penilaiannya murni berdasarkan kelayakan. Namun, harus dipastikan bahwa tetap berada
di jalan yang etis dan bermoral.
Respect for Multiculturalism. Sebenarnya,
tujuan utama dari menghormati multikultural adalah saling menghargai dan saling menerima, di mana pada dasarnya sudah merupakan basic knowledge. Perbedaan,
apapun bentuknya, tidak layak dijadikan
alasan untuk memperlakukan orang lain dengan semena-mena. Memperlakukan orang
lain secara berbeda hanya karena “tidak
sama” merupakan perilaku rasis yang seharusnya sudah punah. Sebagai auditor pun, memang sudah seharusnya
menghormati orang lain, meski
orang lain yang dimaksud adalah
OB, tetap perlu dihormati sebagai human being.
Mirip seperti konsep
humanity, saling menghargai
multikultural merupakan dorongan intrinsik yang sangat berguna dalam kehidupan.
Ketika memiliki dorongan untuk memperlakukan orang lain dengan tulus, maka
individu termasuk memiliki kompas moral yang sangat
bagus. Tanpa rasa hormat, seseorang tidak bisa menjadi
bijaksana, karena pemikirannya masih sempit. Saling menerima adalah tanda bahwa
pola pikir seseorang lebih luas dan tidak mempermasalahkan hal-hal yang tidak perlu.
Menggali Pengetahuan
Pengetahuan adalah sahabat dari kebijaksanaan,
keduanya memiliki sifat yang saling melengkapi. Bagi auditor, pengetahuan
merupakan aspek yang sangat
penting dalam menjalankan perannya, termasuk juga peran sebagai public interest. Umumnya,
manusia akan cenderung lebih mempercayai orang yang pintar daripada yang bodoh. Sama halnya dengan publik
yang pastinya ada tendensi lebih percaya pada auditor yang berwawasan
luas. Perlu diingat juga bahwa pengetahuan tidak hanya sebatas teori,
bida bermanifestasi menjadi pemahaman atas pengalaman yang sudah berlalu.
Selain faktor diatas,
auditor memang didorong untuk selalu memperbarui
wawasannya sebagai salah satu prinsip fundamental bagi seorang auditor (IESBA,
2014) (IAPI,
2020). Karenanya,
situasi dan kondisi ekonomi bersifat dinamik sehingga sebagai auditor yang kompeten harus mengimbangi perubahan tersebut. Memahami inherent risk dari
klien juga memerlukan wawasan yang luas, auditor tidak boleh mudah
berpuas diri dan diharapkan haus akan pengetahuan. Satu hal yang harus dimiliki ketika ingin terus mencari
dan memahami pengetahuan, yaitu open minded. Jika tidak,
pola pikir individu akan cenderung
tertutup dan tidak mau berusaha memahami
pemikiran orang lain. Sikap
open minded merupakan ciri
khas dari individu yang bijaksana. Tentunya, harus selalu diingat bahwa wawasan tanpa
kebijaksanaan dan integritas
dapat mendorong individu melakukan tindakan-tindakan yang merugikan
orang lain. Kebijaksanaan akan
membantu auditor berada di jalan yang benar sedangkan integritas membuat individu tetap teguh berpendirian
pada nilai dan prinsip yang
dipercayainya.
Core competence. Pengetahuan dan keterampilan yang sudah dimiliki auditor haruslah terus dipelihara dan dikembangkan agar berguna dalam pekerjaannya. core
competence itu wajib dikembangkan. Salah satu cara dalam menjaga
kepercayaan publik adalah dengan mengasah
kemampuan dan keterampilan
yang berkaitan dengan
audit. Menurut (Forbes,
2018) ada lima
skills yang perlu dikuasai
oleh auditor dalam rangka mencapai kesuksesan: (a) Keterampilan dalam berkomunikasi, auditor harus mampu mengomunikasikan ide-ide
dan temuannya, baik pada klien maupun pada tim auditnya, (b) Kecerdasan emosional, akan membantu auditor dalam menghadapi klien dan membantu mereka lebih bersimpati
pada orang-orang disekitarnya. Mengembangkan
pola pikir holistik akan sangat membantu auditor mencapai kecerdasan emosional, (c) Berpikir kritis, untuk dapat berpikir
kritis, maka auditor harus memiliki wawasan yang luas. Pemikiran yang kritis akan mendorong auditor untuk terus-menerus mencari kebenaran atas suatu hal
sehingga dapat menjalankan perannya sebagai public interest, (d) Profesional
skeptisisme, skeptis bukan berarti tidak
percaya, melainkan merupakan bentuk dari berpikir secara
kritis. Tujuannya adalah mendapati kebenaran sehingga hasil auditnya dapat dipertanggungjawabkan dan diandalkan, dan (e) Interpersonal skills, sederhananya berarti kemampuan untuk bekerja sama dengan
dengan baik, biasanya mencangkup komunikasi hingga sikap yang baik. Tentunya seorang auditor tidak hanya cakap
berbicara, namun juga harus memiliki sikap dan tingkah laku yang ramah. Hal ini berkaitan dengan
rasa kemanusiaan dan menghormati
multikultural.
Inovasi sangat berguna
bagi Auditor untuk mengimbangi perubahan-perubahan
yang terus terjadi dalam dunia ekonomi, baik yang global maupun nasional. Inovasi juga merupakan sebuah mindset atau pola pikir.
Konsep pemberdayaan sangat erat kaitannya dengan inovasi, bagaimana memberdayakan tim. Selain itu, inovasi juga sangat berguna ketika ada kejadian
tidak terduga terjadi, seperti pandemik Covid-19. Bagaimana cara mengatasi WFH, pun bagaimana menghadapi klien ketika bertatap
muka menjadi sulit. Ada istilah innovation behaviour yang mengacu pada pengenalan dan penerapan ide-ide baru, produk baru,
dan proses inovatif pada peran
kerja, unit kerja, ataupun seluruh organisais. Hal ini juga mencangkup level dalam individual
ataupun sebagai kelompok (Yuan
& Marquardt, 2015).
Egalitarianisme dan Empowerment. Auditor haruslah menjunjung tinggi kesetaraan, menganggap semua pengguna laporannya setara, tidak memiliki
status sosial yang berbeda.
Tujuannya adalah untuk menghindari keberpihakan pada suatu kelompok tertentu, yang dapat menyebabkan auditor kehilangan kepercayaan masyarakat karena gagal menjalankan perannya sebagai public
interest. unsur motivasi
intrinsiknya ada pada keyakinan bahwa semua orang adalah sama dan setara. Memiliki pandangan ini akan memudahkan
auditor menjalankan perannya
sebagai public interest, karena
tidak membedakan kepentingan klien dengan publik, harus memberikan kebenaran dan kejujuran bagi kedua belah
pihak. Sedangkan dalam nilai pemberdayaan,
diharapkan seorang partner dapat memberdayakan seluruh karyawannya agar dapat menjadi pribadi
yang lebih baik. Keterlibatan auditor dengan klien haruslah membawa ilmu dan wawasan yang baru, agar kedepannya lebih bisa diandalkan. Pemberdayaan memiliki tujuan yang mulia, ingin membantu sesama dan berguna bagi sesama. Nilai ini sangat penting sebagai motivasi intrinsik, dengan begitu, auditor pastinya ingin memberikan yang terbaik bagi publik
dan klien.
Rationality. Pekerjaan auditor sangat membutuhkan yang namanya rasionalitas. Terutama, ketika melakukan proses audit harus berdasarkan alasan yang jelas dan logis. Ini adalah faktor utama yang harus dimiliki oleh seorang auditor. Dalam membuat opini harus benar-benar
rasional, sesuai dengan keadaan yang sebenar-benarnya. Rasionalitas erat kaitannya dengan kejujuran, tanggung jawab, dan reliability.
Maksudnya adalah, jujur dalam memberikan
opini dan melakukan proses
audit sesuai dengan yang diperlukan. Bertanggung jawab atas opini
yang dikemukakan, dan hasil
akhirnya harus dapat diandalkan. Rasionalitas juga erat kaitannya dengan professional
judgement, di mana keputusan yang diambil oleh auditor harus mengandung alasan yang rasional. Dalam penerapannya, pandangan rasionalitas akan mendorong auditor untuk berpikir lebih cermat dan berhati-hati dalam mengambil keputusan.
Kesimpulan
Fokus penelitian
ini ada pada peran motivasi intrinsik, maka dari itu hanya
akan membahas tentang dorongan intrinsik bagi auditor dalam menjalankan perannya sebagai public
interest. pada dasarnya, motivasi
intrinsik merupakan dorongan hati nurani
seseorang sehingga ketika melakukan kegiatan tertentu akan membawa kebahagiaan.
Tentunya motivasi intrinsik tidak dimiliki semua orang, karena tanpa memahami
konsepnya orang tidak dapat menghargai motivasi intrinsik. Dari ketiga nilai KWI, integritaslah yang paling susah untuk dicapai dan dimaknai secara nyata. Membangun integritas seharusnya sudah dimulai sejak
dini, sejak masih anak-anak. Karena integritas merupakan sebuah keyakinan yang hanya dapat dirasakan.
Individu yang berintegritas
memiliki keyakinan yang kuat, sehingga lebih dapat mengontrol
diri dan emosinya. Dalam konteks public interest, integritas
merupakan hal yang sangat penting. Karena orang yang berintegritas
menyadari di mana tujuannya
berada. Namun harus diingat bahwa
integritas tanpa kebijaksanaan dan wawasan tidak akan berguna
di lapangan audit.
Nilai wisdom memiliki komponen yang paling banyak, itu berarti auditor juga harus bijaksana dalam segala hal,
terutama mengenai pola pikir holistik
dan keberagaman. ketika kondisi dunia masih rasis, sebagai individu yang berlatar belakang akademisi harus bisa meninggalkan
budaya rasis dan merudung yang sampai saat ini masih
ada harus dihilangkan. Kebijaksanaan berarti memahami betapa pentingnya peran public interest bagi
Auditor. Sekaligus mengetahui
bahwa kepercayaan sangat berarti dan perlu untuk dijaga. Terakhir,
knowledge yang pada dasarnya paling mudah dipahami diantara nilai-nilai lainnya. Karena sifatnya dasar, dan lebih mudah dipahami. Namun, pengetahuan tetap memiliki peran yang besar terhadap profesi auditor. Tanpa wawasan yang cukup, individu tidak akan menjadi
auditor. Terutama karena dalam pekerjaan ini, seluruh praktisi
diwajibkan untuk memperbarui ilmunya, agar tetap dapat bersaing
dengan kondisi ekonomi yang dinamis.
Penelitian kecil ini merupakan penelitian
studi literatur di mana
data-data yang digunakan berasal
dari jurnal, laporan, dan buku sehingga ada keterbatasan
yang membuat penelitian ini tidak sempurna.
Diantaranya adalah (1) triangulasi hanya sebatas pada membandingkan
data-data pustaka, tanpa wawancara dan observasi dan (2) pembahasan masih belum mendalam dikarenakan ruang lingkup akuntansi yang terlalu luas.
DAFTAR PUSTAKA
Agustia, Dian. (2015). Peran
Profesi Akuntan Manajemen Terhadap Perubahan Lingkungan Global: Perspektif
Implementasi Sustainability Management Accounting.
Ainun, Moh Baqir, & Sari, Tyasha
Ayu Melynda. (2021). Beburughen Becce’Dalam Saloka Madura Sebagai Nasehat Bagi
Auditor. Riset, Ekonomi, Akuntansi Dan Perpajakan (Rekan), 2(2),
121–134.
Anggita, Rista Tri, Rinofah, Risal,
& Sari, Pristin Prima. (2021). Pengaruh Kepemilikan Institusional,
Kebijakan Hutang, Keputusan Investasi, Dan Profitabilitas Terhadap Nilai
Perusahaan. JURNAL ILMIAH EKONOMI DAN BISNIS TRIANGLE, 2(1), 38–49.
Arief, Rachmat. (2016). Peran Audit
internal atas kualitas Pemeriksaan Laporan keuangan yang dilakukan oleh audit
eksternal pada sebuah perusahaan. Jurnal Ekonomi Universitas Esa Unggul,
7(01), 78768.
Arum Ardianingsih, S. E. (2021). Audit
laporan keuangan. Bumi Aksara.
Azaro, Khoirin, Ekasari, Kurnia,
& Susilowati, Kartika Dewi Sri. (2020). Mengungkap Arti Perilaku Etis
Menurut Fresh Graduate Akuntansi. Journal of Applied Accounting and Taxation,
5(2), 127–136.
Azzahra, Nurul Fatimah. (2023). Pengaruh
Tax Morale, Pengetahuan Perpajakan, Dan E-Tax System Terhadap Kepatuhan Wajib
Pajak Orang Pribadi (Studi Kasus Pada Wajib Pajak Orang Pribadi yang Terdaftar
di Jakarta Pusat). Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia Jakarta.
Bajracharya, S. (2018). Intrinsic and
Extrinsic Rewards with Examples. Retrieved from businesstopia website:
https://www.businesstopia.net/human-resource/intrinsic-and-extrinsic-rewards
Baker, C. Richard. (2005). What is
the meaning of “the public interest”? Examining the ideology of the American
public accounting profession. Accounting, Auditing & Accountability
Journal, 18(5), 690–703.
Balleisen, Edward J. (2023). America’s
Anti-Fraud Ecosystem and the Problem of Social Trust: Perspectives from Legal
Practitioners. Nw. UL Rev., 118, 51.
Bovens, M. (2010). Two Concepts of
Accountability: Accountability as a Virtue and as a Mechanism. West European
Politics, 946–967.
Daraba, Dahyar. (2019). Reformasi
birokrasi & pelayanan publik. Penerbit Leisyah.
Eryanto, Dedy. (2020). An effective
anti-fraud program: How do we know?(The challenge of finding an anti-fraud
program in the Indonesian public sectors). Asia Pacific Fraud Journal, 5(2),
288–301.
Fidiana. (2020). Compliance Behaviour
from the Holistic Human Nature Perspective. Journal of Islamic Accounting
and Business Research, 1145–1158.
Firmansyah, Amrie, Ak, M., Estutik,
Riska Septiana, & Ak, S. Tr. (2021). Kajian akuntansi keuangan: Peran
tata kelola perusahaan dalam kinerja tanggung jawab lingkungan, pengungkapan
tanggung jawab sosial, agresivitas pajak. Penerbit Adab.
Forbes. (2018). Five Skills Auditors
Need To Succeed Today. Retrieved from Forbes website:
https://www.forbes.com/sites/insights-kpmg/2018/07/16/five-skills-auditors-need-to-succeed-today/#440c462b2356
Grudin, R. (2020). Humanism.
Retrieved from ENCYCLOPÆDIA BRITANNICA website: https://www.britannica.com/topic/humanism
Harmain, Hendra, Nurlaila, Nurlaila,
Safrida, Lili, Sufritayati, Sufritayati, Alfurkaniati, Alfurkaniati, Ermawati,
Yana, Ikhsan, Arfan, Olivia, Hastuti, Jubi, Jubi, & Nurwani, Nurwani.
(2019). Pengantar Akuntansi I.
Hedlund-de Witt, Annick, De Boer,
Joop, & Boersema, Jan J. (2014). Exploring inner and outer worlds: A
quantitative study of worldviews, environmental attitudes, and sustainable
lifestyles. Journal of Environmental Psychology, 37, 40–54.
IAPI. (2020). Kode Etik Profesi
Akuntan Publik. Jakarta: IAPI.
IESBA. (2014). Handbook of the Code
of Ethics for Professional Accountants. In International Federation of
Accountants.
IFAC. (2012). Public Interest
Framework for the Accountancy Profession, Policy position no. 5.
Kismawadi, Early Ridho. (2021). Fraud
Pada Lembaga Keuangan Dan NonKeuangan-Rajawali Pers. PT. RajaGrafindo
Persada.
Limperg, Th. (1932). Theory of
inspired confidence. University of Amsterdam.
Meithiana, Indrasari. (2019). Pemasaran
dan Kepuasan Pelanggan. Unitomo Press.
Nasir, Cholidin. (2017). Pengawasan
terhadap Kebijakan Pemerintah Melalui Mekanisme Citizen Lawsuit. Jurnal
Konstitusi, 14(4), 906–926.
Nurmastadiyah, Roiyan. (2010). Pegaruh
Motivasi Terhadap Minat Mahasiswa Akuntansi Untuk Mengikuti Pendidikan Profesi
Akuntansi (PPAK)(Studi Empiris Pada Universitas Riau). Universitas Islam
Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.
Purwani, Tri, & Oktavia, Okta.
(2018). Profitabilitas, leverage, kebijakan dividen, kepemilikan institusional
dan growth terhadap nilai perusahaan. Jurnal Bisnis Dan Ekonomi, 25(1).
Putra, D. S. T., & Muid, Dul.
(2012). Pengaruh independensi, mekanisme corporate governance, kualitas
audit, dan manajemen laba terhadap integritas laporan keuangan. Fakultas
Ekonomika dan Bisnis.
Putra, Iwan. (2023). Pencegahan
Fraud Sebagai Mediasi Pengaruh Internal Audit, Risk Management, Whistleblowing
System Dan Big Data Analytics Terhadap Pencegahan Perilaku Financial Crime.
Rezaee, Zabihollah. (2004). Restoring
public trust in the accounting profession by developing anti‐fraud
education, programs, and auditing. Managerial Auditing Journal, 19(1),
134–148.
Robinson, Simon. (2016). Philosophy
and Integrity. The Practice of Integrity in Business, 1–30.
Sawabe, Norio. (2005). Accounting for
the public interest: A Japanese perspective. Accounting, Auditing &
Accountability Journal, 18(5), 631–647.
Siahaan, P. (2015). Memaknai Kata “Memanusiakan
Manusia.” Retrieved from Kompasiana website:
https://www.kompasiana.com/palti/552c77076ea83444338b456d/memaknai-kata-memanusiakan-manusia
Sihotang, Kasdin. (2019). Etika
Profesi Akuntansi: Teori dan Kasus. PT Kanisius.
Sulistiawan, Dedhy, & Januarsi,
Yenny. (2011). Creative accounting: mengungkap manajemen laba dan skandal
akuntansi. Salemba Empat.
Sulistya, Widha Anggun, & SRI,
Rahayu Tri Astuti. (2013). ANALISIS PENGARUH HARGA, KUALITAS PRODUK,
PROMOSI, DAN KELOMPOK ACUAN TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMBELIAN HANDPHONE
ANDROID (Pada Mahasiswa Manajemen FEB UNDIP Semarang). Fakultas Ekonomika
dan Bisnis.
Suwitri, Sri. (2008). Konsep dasar
kebijakan publik. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Syahroni, Maharso, & Sujarwadi,
Tomy. (2018). Korupsi, bukan budaya tetapi penyakit. Deepublish.
Tandiono, Rosaline, Ratnawati,
Andalan Tri, Gusneli, Gusneli, Ilham, Ilham, Martini, Rita, Waty, Ervina,
Putuhena, Hempry, Mulyadi, A. R., & Devi, Erwina Krtika. (2023). TEORI
AKUNTANSI: Konsep, Aplikasi, dan Implikasi. PT. Sonpedia Publishing
Indonesia.
West, A. (2017). The Ethics of
Professional Accountants: an Aristotelian Perspective. Accounting, Auditing
& Accountability Journal, 328–351.
Yuan, F., & Marquardt, D. (2015).
Innovative Behavior. Oxford Bibliographies.