PERENCANAAN DESA WISATA DENGAN KONSEP COMMUNITY BASED TOURISM DI DESA KELAN

 

I Made Sukadi1, Nyoman Diah Utari Dewi2, Ida Ayu Putu Sri Widnyani3

Universitas Ngurah Rai Denpasar Bali

Email: kadimade5@gmail.com, diah.utari@uncr.ac.id

 

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan rekomendasi strategi pengembangan dan pengelolaan desa wisata di kawasan pesisir Desa Kelan dengan konsep Community Based Tourism. Penelitian ini digunakan metode analisis deskriptif kualitatif dan dibagi dalam tiga kegiatan yang dilakukan secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Penelitian ini akan menghasilkan sebuah strategi pengembangan dan pengelolaan desa wisata yang berasal dari potensi masalah yang ada di Desa Kelan dan didukung oleh kebijakan serta organisasi yang ada. Penelitian ini dilakukan dalam waktu yang sangat singkat dan dengan biaya seminimal mungkin sehingga sangat sulit untuk mendapatkan hasil yang sangat sempurna. Hasil dari penelitian ini akan dijadikan sebagai masukan untuk pengembangan dan pengelolaan kawasan wisata di Desa Kelan.

 

Kata kunci: Perencanaan, Desa Wisata, Community Based Tour

 

Abstract

Implementation of Undang-undang 23 Tahun 2014 concerning Regional Government, which also regulates the authority and obligations of autonomous regions to regulate and manage their own regions. Kelan Village, which is one of the villages in the coastal area in Badung Regency, has tourism potential in the form of beach tourism and culinary tourism, as well as fishermen who have great potential in developing marine tourism, with community-based tourism packages. This concept is the development of a tourist village by involving and placing local communities to manage and develop their own areas, so as to improve the welfare of local communities. In this study used a qualitative descriptive analysis method and divided into three activities carried out simultaneously, namely data reduction, data presentation and drawing conclusions. The results of the research are then used as input for the development and management of tourist areas in Kelan Village.

 

Keywords: Planning, Tourism Village, Community Based Tour

 

Pendahuluan  

Negara Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang terdiri sekitar 17.000 buah pulau dengan garis pantai sepanjang sekitar 81.290 km. Dimana di Bali sendiri total garis pantainya adalah 633,35 Km (BPS Provinsi Bali 2022).  Namun ironisnya sekitar 80% dari penduduk pesisir di negara-negara sedang berkembang berada dalam kondisi kehidupan yang miskin dengan kualitas lingkungan pesisir yang terdegradasi. Dalam perkembangannya, wilayah pesisir bukan lagi hanya berupa permukiman nelayan yang kumuh, namun saat ini dapat dikembangkan sebagai tempat wisata yang menarik dengan penanganan khusus agar wilayah pesisir dapat berkembang secara berkelanjutan (sustainable development ) (Fajriah & Mussadun, 2014).

Desa Kelan merupakan salah satu desa yang berada di wilayah pesisir Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Desa ini memiliki potensi alam yang potensial untuk dikembangkan sebagai tempat wisata karena memiliki pantai yang indah serta kuliner olahan dari hasil pantai berupa ikan bakar serta olahan yang lain yang disajikan di warung-warung ditepi pantai, dan adanya wisata menaiki unta disepanjang garis pantai Desa Kelan, serta berdampingan dengan perahu nelayan yang setiap saat turun untuk membawa hasil tangkapannya (Wungo, Mussadun, & Ma’rif, 2020). Potensi tersebut diatas apabila dikelola secara professional maka besar kemungkinan Desa Kelan dapat berkembang menjadi desa wisata (Sidik, 2015). Pembangunan desa wisata ini merupakan realisasi dari pelaksanaan Undang-undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang didalamnya diatur tentang Otonomi Daerah. Diharapkan dengan peranan desa wisata berbasis masyarakat di Desa Kelan terbentuk karena adanya keterkaitan antara ekonomi penduduk lokal, konservasi sumberdaya alam serta kelestarian budaya lokal dan mampu berjalan secara sustainability (Aritonang & Syamsuddin, 2019). Diperlukannya komitmen yang kuat terhadap alam dan masyarakat agar didapat dampak positif seperti terjaganya lingkungan alam dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat lokal (Ferdian, DM, & Tondo, 2020).

Konsep CBT muncul pertama kali sekitar tahun 1970-an akibat adanya kritikan atas dampak negatif yang ditimbulkan oleh mass tourism. Kemudian mendapatkan perhatian lebih pada tahun 2000, dimana Bank Dunia (World Bank) mulai memikirkan bagaimana caranya menanggulangi masalah kemiskinan melalui sektor pariwisata yang kemudian dikenal dengan “community-based tourism” (CBT). Selanjutnya diidentifikasi adanya tiga kegiatan pariwisata yang dapat mendukung konsep CBT yakni adventure travel, cultural travel dan ecotourism. Dibahas pula kaitannya dengan akomodasi yang dimiliki oleh masyarakat atau disebut small family-owned hotels yang biasanya berkaitan erat dengan tiga jenis kegiatan tersebut. Bank Dunia yakin bahwa peningkatan wisata adventure, ecology dan budaya akan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat setempat dan sekitarnya sekaligus memelihara budaya, kesenian dan cara hidup masyarakat di sekitarnya (Harsana & Widayati, 2014).

CBT melibatkan pula masyarakat dalam proses pembuatan keputusan, dan dalam perolehan bagian pendapatan terbesar secara langsung dari kehadiran para wisatawan, sehingga dengan demikian CBT akan dapat menciptakan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan dan membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga dari penduduk setempat yang tumbuh akibat peningkatan kegiatan pariwisata. Jadi sesungguhnya CBT adalah konsep ekonomi kerakyatan di sektor riil, yang langsung dilaksanakan oleh masyarakat dan hasilnyapun langsung dinikmati oleh mereka (Suganda, 2018).

Rest (1997) dalam bukunya menyebutkan bahwa CBT adalah wisata yang mengetengahkan lingkungan, sosial masyarakat, dan kesinambungan budaya dalam satu fokus pengembangan. CBT dikelola dan dimiliki dari dan oleh masyarakat, dengan tujuan memberikan pengetahuan kapada para wisatawan tentang bagaimana kearifan lokal dan kehidupan yang dilakukan sehari-hari di komunitas tersebut. Rest, selanjutnya menyatakan :

"CBT is tourism that takes environmental, social, and cultural sustainability into account. It is managed and owned by the community, for the community, with the purpose of enabling visitors to increase their awareness and learn about the community and lokal ways of life”.

(Suansri, 2003) mendefinisikan CBT sebagai pariwisata yang memperhitungkan aspek keberlanjutan lingkungan, sosial dan budaya. CBT merupakan alat pembangunan komunitas dan konservasi lingkungan. Atau dengan kata lain CBT merupakan alat untuk mewujudkan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan. Ciri-ciri khusus dari Community Based Tourism (Timothy, 1999) adalah berkaitan dengan manfaat yang diperoleh dan adanya upaya perencanaan pendampingan yang membela masyarakat lokal serta lain kelompok memiliki ketertarikan/minat, yang memberi control lebih besar dalam proses sosial untuk mewujudkan kesejahteraan. (Taylor, 1995) menekankan strategi yang terfokus pada identifikasi tujuan masyarakat tuan rumah dan keinginan serta kemampuan mereka menyerap manfaat pariwisata. Menurut Murphy setiap masyarakat harus didorong untuk mengidentifikasi tujuannya sendiri dan mengarahkan pariwisata untuk meningkatkan kebutuhan masyarakat lokal.

CBT tidak berada pada tataran bagaimana pariwisata dapat memberikan manfaat yang lebih bagi komunitas, tetapi lebih pada bagaimana pariwisata dapat berkontribusi pada proses pembangunan Masyarakat (Wijaya & Sudarmawan, 2019). CBT bukanlah bisnis wisata yang sederhana dan merujuk pada pemaksimalan profit untuk para investor. CBT lebih memfokuskan pada dampak pariwisata itu sendiri terhadap masyarakat (komunitas) dan sumberdaya lingkungan. CBT muncul dari suatu strategi pembangunan masyarakat, menggunakan wisata sebagai alat untuk memperkuat kemampuan organisasi masyarakat mengatur sumber daya wisata yang ada melaui partisipasi langsung masyarakat tersebut.

 

Metode

Dalam prosesnya pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam terhadap narasumber yaitu kepada stakeholder, observasi dan juga studi pustaka atau literatur. Analisis data dilakukan secara terus-menerus mulai saat penyusunan konseptual penelitian, saat pengumpulan data di lapangan dan sesudahnya. Reduksi dilakukan untuk memilih, menyederhanakan, mentransformasikan data, menajamkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi. Penyajian data dilakukan dalam bentuk teks naratif, matriks, grafik, dan bagan. Selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan yang diverifikasi selama penelitian berlangsung.

 

Hasil dan Pembahasan

Proses perencanaan dan pengelolaan Pantai Desa Kelan sebagai desa wisata yang berbasis masyarakat ini tentunya memerlukan proses yang cukup lama, dimana selama ini pengelolaan Pantai Desa Kelan sudah dikelola oleh kelompok sadar wisata (Pokdarwis), tetapi perkembangannya sedikit terhambat karena pelaku pariwisata di daerah pesisir atau pantai Desa Adat Kelan masih menggunakan pola lama dan cenderung mengelola dengan sistim tradisional (Amir, Sukarno, & Rahmawati, 2020). Disamping itu peran pemerintah daerah juga dirasakan kurang untuk turut serta mengembangkan Desa Kelan dengan Pantainya untuk dijadikan desa wisata, ini terbukti dari kurang tertatanya daerah pantai serta infrastruktur terutama jalan yang dirasakan masih sangat kurang (kondisinya) sangat tidak nyaman untuk dilewati. Hal inilah yang perlu dikoordinasikan dan dicarikan jalan keluar, sehingga bisa menjadikan Desa Kelan menjadi desa wisata.

Disamping itu, apabila perencanaan untuk menjadikan Desa Kelan menjadi Desa Wisata telah berhasil, tentunya ada kerja berat lagi dari pengelola yang berkecimpung langsung untuk mengelola Desa Wisata Kelan, sehingga desa wisata yang sudah dibentuk dapat secara kontinyu bermanfaat untuk kesejahteraan masyarakat serta kelestarian Desa Kelan baik pantai maupun ekosistemnya dapat terjaga dengan baik.

Pengelolaan sendiri berarti proses, cara, perbuatan pengelola, proses melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakkan tenaga orang lain, proses yang membantu merumuskan kebijakan dan tujuan organisasi, proses yang memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan dan pencapaian tujuan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005). Menurut (Nurdyansyah & Andiek, 2017) Pengelolaan dan manajemen memang berbeda, tetapi perbedaan tersebut tidak mudah diuraikan, sehingga seolah-olah mengelola dan manajemen tidak berbeda. Mengelola pengertiannya lebih dekat kepada mengendalikan atau menyelenggarakan, sedangkan manajemen yaitu runtunan pemanfaatan berbagai sumber daya secara berhasilguna untuk mencapai sasaran. Pengetahuan dan teknologi pengelolaan amat diperlukan untuk menjamin kesinambungan kegiatan kerja, termasuk bagaimana mengembangkannya sesuai dengan mantra waktu, ruang, dan prilaku budaya manusianya baik pengelola maupun para wisatawan yang datang berwisata. Demikian pula bagaimana teknologi pengelolaan antara wisatawan yang datang dengan objek dan daya tarik wisata yang dinikmatinya. Pengelolaan umumnya dikaitkan dengan aktivitas perencanaan, pengorganisasian, pengendalian, penempatan, pengarahan, pemotivasian dan pengambilan keputusan yang dilakukan oleh setiap organisasi dengan tujuan untuk mengkoordinasikan berbagai sumber daya yang dimiliki organisasi sehingga akan dihasilkan suatu produk atau jasa secara efisien. Beberapa model pengelolaan dalam pengembangan pariwisata Bali Tengah antara lain:

a.       Pengelolaan oleh desa adat. Desa adat sebagai pengelola utama, sedangkan pemerintah, pelaku pariwisata, dan warga desa sebagai mitra dalam pengelolaannya;

b.      Pengelolaan oleh masyarakat, model ini mengetengahkan masyarakat yang terlibat langsung dalam pengelolaan daerah pesisir Desa Kelan dalam usaha memberdayakan masyarakat, sedangkan pemerintah, pelaku pariwisata dan adat sebagai mitra dari masyarakat pengelolan pantai dalam pengelolaannya;

c.       Pengelolanya adalah pelaku pariwisata yang lebih banyak mengetahui tentang kepariwisataan, sedangkan masyarakat, pemerintah merupakan mitra kerjanya;

d.      Pengelolaan oleh pemerintah. Pengelolaan ini biasanya dilakukan dengan atau melalui badan usaha milik pemerintah;

e.       Pengelolaan oleh badan pengelola. Model ini menawarkan konsep keterpaduan antara unsur-unsur yang terlibat dalam obyek wisata, seperti desa adat, subak, pemerintah dan pelaku pariwisata secara bersama-sama mengelola sesuai peran masing-masing yang telah disepakati bersama. Pujaastawa, dkk (2005).

Pengelolaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengelolaan desa wisata Kelan dikelola oleh desa adat sebagai pengelola utama melalui kelompok sadar wisatanya, sedangkan pemerintah, pelaku pariwisata dan warga desa sebagai mitra pengelolaannya. Desa Kelan melalui kelompok sadar wisatanya mulai menata tempat parkir, warung-warung tepi pantai, tempat parker jukung/perahu. Sesuai dengan kesepakatan dimana hasil pengelolaan pantai terutawa warung-warung dan usaha lainnya yang ada di daerah pantai dikelola oleh desa. Sedangkan pemasukan yang lain, terutama dari pengelolaan pantai dan pendapatan lainnya dikelola oleh kelompok sadar wisata. Menurut ketua kelompok sadar wisata yaitu Gusti Agung Andra mengahtakan sampai saat ini kelompok sadar wisata sudah mengelola ratusan juta rupiah dari hasil pungutan retribusi parker dan pedagang kaki lima, dimana pendapatan tersebut dimanfaatkan kembali untuk menjaga kelestarian pantai, serta membuat spotspot baru untuk memanjakan para pengunjung, sehingga pengunjung akan semakin banyak berkunjung ke Pantai Kelan

            Hasil akhir dalam penelitian ini ialah lokasi yang layak untuk dijadikan sebagai desain wisata, sedangkan hasil dari perencanaan ini ialah sebuah rancangan desain wisata. Untuk mencapai hal tersebut, maka dilakukan beberapa analisis.

 

Daya Tarik Wisata

Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan menyebutkan bahwa daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Menurut Yoeti (1996 ), suatu daerah tujuan wisata hendaknya memenuhi beberapa syarat, yaitu:

a.       Ketersediaan sesuatu yang dapat dilihat (something to see). Artinya, di tempat tersebut harus ada daya tarik yang berbeda dengan apa dimiliki daerah lain.

b.      Sesuatu yang dapat dilakukan (something to do). Artinya, di tempat tersebut selain banyaki yang dapat dilihat dan disaksikan, harus pula disediakan fasilitas rekreasi yang dapat membuat mereka betah tinggal lebih lama di tempat itu.

c.       Sesuatu yang dapat dibeli (something to buy). Artinya, di tempat tersebut harus tersedia fasilitas untuk berbelanja terutama barang-barang souvenir dan kerajinan rakyat sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang ke tempat asal masing- masing.

Menurut Yoeti (2006), secara garis besar terdapat empat kelompok yang merupakan daya tarik bagi wisatawan datang pada suatu negara daerah tujuan wisata tertentu, yaitu: natural attraction, build attraction, cultural attraction, dan social attraction.

a.       Natural Attraction, termasuk dalam kelompok ini adalah pemandangan alam, laut, pantai, danau, air terjun, kebun raya, agrowisata, gunung berapi, serta flora dan fauna.

b.      Build Attraction, termasuk dalam kelompok ini adalah bangunan dengan arsitektur yang menarik, seperti rumah adat, bangunan kuno dan bangunan modern.

c.       Cultural Attraction, dalam kelompok ini termasuk diantaranya peninggalan sejarah (historical building), cerita-cerita rakyat (folklore), kesenian tradisional, museum, upacara keagamaan, festival kesenian dan semacamnya.

d.      Social Attraction, yang termasuk kelompok ini adalah tata cara hidup suatu masyarakat (the way of life), ragam bahasa (languages), upacara perkawinan, upacara potong gigi, khitanan dan kegiatan sosial lainnya.

Wisatawan yang melakukan perjalanan wisata ke daerah tujuan wisata memerlukan berbagai kebutuhan dan pelayanan mulai dari keberangkatan sampai kembali lagi ke tempat tinggalnya. Aktivitas pariwisata sangat terkait dengan kehidupan kita sehari-hari. Sama seperti yang dilakukan setiap hari, wisatawan juga membutuhkan makanan dan minuman, tempat menginap, serta alat transportasi yang membawanya pergi dari suatu tempat ke tempat lainnya. Menurut Cooper dalam Suwena (2010), untuk memenuhi kebutuhan dan pelayanan tersebut, daerah tujuan wisata harus didukung empat komponen utama atau yang dikenal dengan istilah “4A” yaitu: Attraction (atraksi), Accessibility (aksesibilitas), Amenities (fasilitas), dan Ancillary Services (pelayanan tambahan). Daya tarik wisata yang dimaksud dalam penelitian ini adalah berupa pantai yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan ke Desa Kelan (Dewandaru, Rahmadi, & Susilaningsih, 2021).

 

Potensi daya tarik wisata Desa Kelan adalah:

1)   Pantai Kelan

Pantai Kelan berlokasi di Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Kelurahan Tuban sendiri merupakan lokasi di mana Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai berdiri. Pantai Kelan berada tepat di bagian selatan bandara tersebut. Oleh karenanya, tidak heran jika wisatawan dan warga yang berada di sekitar pantai ini dapat melihat pesawat mendarat di runway Bandara I Gusti Ngurah Rai. Pantai ini sendiri menghadap ke arah barat sehingga kerap menjadi jujukan wisatawan untuk menikmati matahari terbenam.

 

Gambar 1. Pantai Kelan

2). Wisata Kuliner

Tidak kalah dengan Jimbaran, Pantai Kelan juga dipenuhi oleh tempat makan yang menyajikan olahan seafood bakar lezat. Selain indoor, meja dan kursi pengunjung juga ada yang ditata di pinggir pantai. Pengunjung bisa memilih kursi tanpa payung maupun kursi berpayung ala taman. Bagi yang sedang honeymoon atau memang ingin suasana dinner yang romantis, bisa request kursi spesial di pinggir pantai ke pihak restoran. Selain ikan bakar yang menjadi andalan, penunjung juga bisa memesan aneka olahan seafood, Indonesian food, Chinese food atau western food. Pilihan minumannya pun serba lengkap.

Gambar 2. Wisata Kuliner

3). Wisata Naik Unta

Ada lagi kegiatan seru yang wajib kamu coba selama di Pantai Kelan yaitu menyewa unta untuk berkeliling di sekitar pantai.

Jasa penyewaan unta memang bisa pengunjung temukan di beberapa pantai di Bali, termasuk Kelan. Durasi keliling biasanya sekitar 30 menit dengan didampingi oleh seorang pawang. Satu ekor unta bisa dinaiki oleh 2 orang.

 

Gambar 3. Wisata Naik Unta

 

4). Wisata Mancing / Perahu Nelayan

Area Pantai Kelan terbagi menjadi 3 yakni area rekreasi, area warung kuliner serta area kelompok nelayan yang menambatkan perahu/jukung di dekat obyek wisata tadi, sehingga akan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung ke Pantai Kelan. Pada area khusus jukung, pengunjung bisa melihat ratusan perahu nelayan yang tertambat rapi di pinggir pantai. Menariknya lagi, setiap jukung diberi hiasan yang cantik dan dicat dengan warna yang cerah

Gambar 4. Perahu Nelayan

 

Aktivitas Sosial Budaya

Desa Kelan merupakan desa yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Norma agama dan budaya masih dijaga teguh oleh masyarakatnya. Demikian juga adat dan budaya masih dijunjung tinggi dan sangat kental dilakukan oleh masyarakat Desa Kelan, ini terbukti tetap dilestarikannya adat dan tradisi baik budaya maupun agama untuk kelestarian dan keseimbangan alam beserta isinya terutama di Desa Kelan.

 

Kesimpulan

Kesimpulan kajian desa wisata di Desa Kelan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung adalah sebagai berikut: 1. Desa Kelan memiliki potensi pariwisata yang dapat dikembangkan menjadi desa wisata. Potensi atraksi wisata alam seperti rekreasasi pantai dan kuliner dengan didukung oleh komitmen yang tinggi dari Bendesa Adat serta pihak Kelurahan Tuban untuk pembentukan desa wisata. Saat ini sudah dibentuk lembaga/organisasi masyarakat pendukung pariwisata yaitu kelompok sadar wisata (pokdarwis), tetapi masih diperlukan pengembangan serta dukungan infrastruktur yang memadai untuk menuju kelokasi wisata yang ada di Pantai Kelan. 2. Melalui desa wisata dengan dilibatkannya masyarakat sebagai pengelola bukan hanya bertujuan untuk memberdayakan masyarakat desa tetapi dalam rangka untuk menjaga keberlangsungan ekonomi masyarakat dengan menjadikan desa sebagai tujuan wisata namun demi menjaga kelestarian dan kebersihan Pantai Kelan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Amir, Azhar, Sukarno, Taufan Daniarta, & Rahmawati, Fauzi. (2020). Identifikasi Potensi dan Status Pengembangan Desa Wisata di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Journal of Regional and Rural Development Planning (Jurnal Perencanaan Pembangunan Wilayah Dan Perdesaan), 4(2), 84–98.

 

Aritonang, SILVIKA IVANA SARI, & Syamsuddin, A. (2019). Potensi Dan Pengembangan Ekowisata Di Provinsi Jambi. Osf. Io, 1–11.

 

Dewandaru, Bothy, Rahmadi, Afif Nur, & Susilaningsih, Nunung. (2021). Pengaruh Attraction, Accesibility, Amenity Dan Ancillary Terhadap Kepuasan Wisatawan Pada Kawasan Wisata Besuki Kediri. Conference on Economic and Business Innovation (CEBI), 498–508.

 

Fajriah, Syarifah Dina, & Mussadun, Mussadun. (2014). Pengembangan sarana dan prasarana untuk mendukung pariwisata pantai yang berkelanjutan (studi kasus: kawasan pesisir pantai Wonokerto kabupaten Pekalongan). Jurnal Pembangunan Wilayah Dan Kota, 10(2), 218–233.

 

Ferdian, Komang Jaka, DM, Iqbal Aidar Idrus, & Tondo, Simson. (2020). Dampak ekowisata bahari dalam perspektif kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan pesisir. JIPAGS (Journal of Indonesian Public Administration and Governance Studies), 3(1).

 

Harsana, Minta, & Widayati, Maria Tri. (2014). INDUSTRI PARIWISATA UNTUK MEMPERKUAT EKONOMI KERAKYATAN. Prosiding Pendidikan Teknik Boga Busana, 9(1).

 

Nurdyansyah, Nurdyansyah, & Andiek, Widodo. (2017). Manajemen Sekolah Berbasis ICT. Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.

 

Sidik, Fajar. (2015). Menggali potensi lokal mewujudkan kemandirian desa. JKAP (Jurnal Kebijakan Dan Administrasi Publik), 19(2), 115–131.

 

Suansri, Potjana. (2003). Community based tourism handbook. Responsible Ecological Social Tour-REST Bangkok.

 

Suganda, Asep Dadan. (2018). Konsep Wisata Berbasis Masyarakat. I-ECONOMICS: A Research Journal on Islamic Economics, 4(1), 29–41.

 

Taylor, George. (1995). The community approach: does it really work? Tourism Management, 16(7), 487–489.

 

Timothy, Dallen J. (1999). Cross-border partnership in tourism resource management: International parks along the US-Canada border. Journal of Sustainable Tourism, 7(3–4), 182–205.

 

Wijaya, Nyoman Surya, & Sudarmawan, I. Wayan Eka. (2019). Community Based tourism (CBT) sebagai strategi pengembangan pariwisata berkelanjutan di DTW Ceking Desa Pekraman Tegallalang. Jurnal Ilmiah Hospitality Management, 10(1), 77–98.

 

Wungo, Grandy Loranesssa, Mussadun, Mussadun, & Ma’rif, Samsul. (2020). Edukasi penerapan konsep ecotourism di Kepulauan Karimunjawa. Jurnal Pasopati: Pengabdian Masyarakat Dan Inovasi Pengembangan Teknologi, 2(3).