KAJIAN ASPEK KEBERLANJUTAN PROGRAM KELISTRIKAN PEDESAAN BERBASIS ENERGI TERBARUKAN OFF GRID OLEH DIREKTORAT JENDERAL EBTKE DI INDONESIA

 

Muhammad Nashiruddin Haramaini

Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelistrikan Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

Email : muhammad.haramaini@esdm.go.id  

 

Abstrak

Indonesia berhasil meningkatkan rasio elektrifikasi 88.3% pada tahun 2015 menjadi 99,63% pada 2022. Capaian ini diantaranya dengan mengejar elektrifikasi di daerah tertinggal, terdepan dan terluar dan transmigrasi, banyak diantaranya di pulau-pulau terpencil. Usaha ketenagalistrikan di Indonesia yang hanya melibatkan sedikit sektor swasta menyebabkan listrik pedesaan harus ditanggung oleh pemerintah. Salah satu program penting adalah penerapan listrik pedesaan berbasis energi terbarukan (ET). Tugas ini dibebankan kepada Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE). Tujuan utama program ini adalah meningkatkan rasio elektrifikasi sekaligus meningkatkan porsi ET pada bauran energi nasional. Kajian ini bertujuan meneliti sejauh mana program ini dilaksanakan dan mendapatkan aspek keberlanjutan yang penting untuk mengevasluasi keberhasilan program tersebut. Kajian ini membatasi hanya untuk program kelistrikan pedesaan yang dibiayai APBN DJ EBTKE dengan jenis pembangkit PLTMH dan PLTS. Kebaruan penelitian ini menggunakan data terakhir sampai 2022 dan kajian literatur kualitatif untuk melihat aspek keberlanjutannya. Keberhasilan program ini dievaluasi menggunakan aspek keberlanjutan. Temuan kajian ini mendapatkan bahwa program ini dinilai baik pada dimensi teknis, sosial/ etis, dan lingkungan. Tetapi program ini sangat kurang jika dinilai dari dimensi ekonomi dan organisasi/ institusi. Kebijakan pemerintah pusat yang berbasiskan capaian tahunan anggaran APBN cenderung menggunakan pendekatan top-down dan menetapkan tujuan jangka pendek, dengan indikator kapasitas pembangkit terpasang (installed capacity). Sedangkan komunitas pedesaan sebagai pengguna dan stakeholder kunci program ini cenderung diperlakukan sebagai penerima bantuan dan kurang dilibatkan secara penuh. Akibatnya keberlanjutan pembangkit yang terpasang menjadi tantangan besar di masa mendatang.

 

Kata Kunci: Kelistrikan Pedesaan, Energi Terbarukan, Aspek Keberlanjutan, Indonesia

 

Abstract

Indonesia managed to increase its electrification ratio by 88.3% in 2015 to 99.63% in 2022. These achievements include pursuing electrification in disadvantaged, frontier and outermost areas and transmigration, many of which are on remote islands. Electricity business in Indonesia that involves only a small private sector causes rural electricity to be borne by the government. One important program is the application of rural electricity based on renewable energy (ET). This task is assigned to the Directorate General of New Renewable Energy and Energy Conservation (Dirjen EBTKE). The main objective of this program is to increase the electrification ratio while increasing the portion of RE in the national energy mix. This study aims to examine the extent to which this program is implemented and obtain aspects of sustainability that are important to facilitate the success of the program. This study limits it only to rural electricity programs funded by the APBN DJ EBTKE with the types of PLTMH and PLTS plants. The novelty of this study uses the latest data until 2022 and a qualitative literature review to see the sustainability aspect. The success of this program is evaluated using sustainability aspects. The findings of this study found that this program was assessed both on technical, social / ethical, and environmental dimensions. But this program is very lacking when assessed from the economic and organizational / institutional dimensions. Central government policies based on the annual achievement of the state budget tend to use a top-down approach and set short-term goals, with indicators of installed capacity. Meanwhile, rural communities as key users and stakeholders of this program tend to be treated as beneficiaries and less fully involved. As a result, the sustainability of installed plants will be a major challenge in the future.

 

Keywords: Rural Electricity, Renewable Energy, Sustainability, Indonesia

 

Pendahuluan  

Indonesia memiliki tantangan besar untuk memenuhi kebutuhan listrik warganya. Listrik adalah kunci ekonomi modern. Geografi Indonesia yang berbentuk negara kepulauan menjadi keunikan tersendiri dan menciptakan ketidakmerataan distribusi sumber daya energi. Beban listrik utama berada di Jawa dan Sumatra yang memiliki penduduk terbesar. Kondisi ini juga mengakibatkan tidak terintegrasinya transmisi listrik, yang menciptakan kantong-kantong desa terpencil atau pulau terisolasi yang jauh dari transmisi distribusi listrik. Pemilik wilayah usaha terbesar di Indonesia adalah PT. PLN (persero) yang mendapatkan mandat public service obligation. Indikator utama ketenagalistrikan adalah rasio elektrifikasi (RE), yaitu jumlah rumah tangga (RT) terlistriki dibagi dengan jumlah seluruh RT yang ada di Indonesia yang dihitung dengan satuan kepala keluarga (kk). Jumlah RT terlistriki PLN pada 2015 was 56,605,260 kk, dan jumlah RT terlistriki oleh non-PLN adalah 1,377,788 kk, dan jumlah total RT in Indonesia adalah 65,669,194 kk. Jadi rasio elektrifikasi di Indonesia pada 2015 was 88.30% (Gatrik, 2016). Pada tahun 2022 jumlah RT berlistrik PLN menjadi 78.328.012 kk, jumlah rumah tangga berlistrik non-PLN ditambah RT terlistriki LTSHE adalah 1.609.638 kk, dan jumlah total RT di Indonesia adalah 80.230.859, menjadikan rasio elektrifikasinya 99,63% (DJ Gatrik, 2022).

 

Table 1. Rasio elektrifikasi di Indonesia 2012-2022 (DJ Gatrik, 2021, 2022)

Tahun

Jumlah Rumah Tangga Nasional

Jumlah RT Berlistrik

Rasio Elektrifikasi (%)

2012

62.992.725

48.229.930

76,56

2013

64.204.615

51.688.927

80,51

2014

64.835.092

54.690.431

84,35

2015

65.669.197

57.983.048

88,30

2016

66.489.409

60.612.009

91,16

2017

67.228.573

64.105.549

95,35

2018

68.082.153

66.921.705

98,30

2019

72.713.606

71.903.458

98,89

2020

75.078.681

74.481.755

99,20

2021

77.859.915

77.430.767

99,45

2022

80.230.859

79.937.650

99,63

 

Capaian tersebut luar biasa, tetapi harus diperhatikan porsi kecil yang terlistriki oleh non-PLN. Ini yang menjadi tantangan besar, karena sebagian besar bersifat off-grid. Biasanya terdiri dari populasi yang tersebar dan konsumsi listrik per kapita yang rendah sehingga tidak menarik investasi untuk menciptakan keuntungan finansial. Solusi lama yang diambil umumnya menggunakan pembangkit listrik tenaga disel (PLTD). Sekarang dengan adanya kebijakan ET, pemerintah menggunakan energi terbarukan (ET) sesuai potensi daerah tersebut, umumnya dengan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terpusat atau pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH), termasuk juga penggunaan lampu tenaga surya hemat energi (LTSHE).

Tahun 2021 kapasitas terpasang pembangkit PT. PLN mencapai 43.562,51 MW, dengan porsi PLTS hanya 54,81 MW atau 0,13%. Di Indonesia juga ada pembangkit non-PLN, yang terdiri dari EBTKE, Izin Operasi (IO), Independence Power Producer (IPP) dan Power Producer Utility (PPU) yang memiliki wilayah usaha sendiri. Pembangkit non-PLN tahun 2021 mencapai 30.970,3 MW. Dengan PLTS mencapai 146,28 MW atau 0,47% dari total non-PLN (DJ Gatrik, 2021). Porsi ini relatif sangat kecil jikaharus mengejar target bauran energi 23% di tahun 2025.

Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) adalah organisasi dalam Kementerian ESDM. Didirikan berdasarkan Keputusan Presiden No 24 of 2010 tanggal 14 April 2010. Organisasi ini bertugas untuk menyelenggarakan perumusan dan pelaksanakan kebijakan di bidang pembinaan, pengendalian dan pengawasan kegiatan EBTKE. Salah satu program yang dilaksanakan adalah pembangunan kelistrikan pedesaan berbasis ET di Indonesia.

Berdasarkan Undang-Undang No 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dinyatakan bahwa perencanaan pembangunan nasional terdiri dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Pembangunan Tahunan.

 

Gambar 1. Struktur Kebijakan program kelistrikan pedesaan oleh EBTKE 2015-2019 (KESDM, 2015).

Tahun 2015-2019 terdapat 2 indikator yaitu 1) jumlah rumah tangga (kk) yang terlistriki oleh pembangkit EBT dan 2) jumlah kapasitas terpasang pembangkit berbasis ET (kW). Tetapi sejak 2019 indikator disederhanakan menjadi “kapasitas terpasang pembangkit EBT”, kemudian tahun 2021 indikator menjadi “porsi EBT dalam bauran energi nasional”, kapasitas ini menggabungkan seluruh penambahan pembangkit EBT baik yang dibangun oleh APBN, DAK, PT. PLN, IO, dan IPP (DJ GATRIK, 2021).

Indikator tersebut di atas cukup valid untuk menunjukkan output kinerja pemerintah pusat yang menunjukkan kapabilitas untuk membangun pembangkit terpasang (installed capacities) dan anggaran yang diserap untuk itu. Tetapi indikator tersebut tidak cukup mampu menunjukkan dampak yang seharusnya dirasakan oleh komunitas sebagai penerima bantuan program. Di kasus ini terlihat adanya “false alarm”, yaitu gap antara pembangkit terpasang dengan listrik yang dibangkitkan atau dikonsumsi oleh komunitas. Karena indikator nyata bagi komunitas adalah listrik yang dikonsumsi dan digunakan untuk kepentingan komunitas. Hal ini juga menunjukkan masih terdapat kekurangan dalam monitoring secara sistematis dan evaluasi untuk menilai kesuksesan program secara keseluruhan.

Pemerintah Indonesia melaksanakan banyak proyek untuk melistriki daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan transmigrasi (4T) berbasiskan ET. Kelistrikan berbasis ET adalah solusi yang sudah jamak dilakukan untuk melistriki desa terpencil atau pulau terisolasi (Lillo et al., 2015) (Anyi et al., 2010) (Blum et al., 2013). Pertama, karena ketersediaan sumber ET khususnya surya atau air yang selalu eksis di lokasi tersebut, sehingga komunitas tersebut dapat meyediakan suplai listrik sesuai kebutuhan mereka. Kedua, situasi off-grid membuat sulit bagi PT PLN secara finansial atau perusahaan swasta untuk membuat pembangkit atau mengkoneksikan dengan grid terdekat. Solusi lain dengan PLTD pada saat ini terbukti cukup mahal karena biaya transportasi bahan bakar minyak.

DJ EBTKE kemudian melaksanakan proyek kelistrikan pedesaan tersebut dibiayai dengan APBN. Proyek ini dilaksanakan secara tahunan, menggunakan indikator 1) jumlah lokasi pembangunan infrastruktur PLTMH/ PLTS, dan 2) kapasitas terpasang PLTMH / PLTS. Sedangkan indicator kelistrikan dicantumkan di Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan yaitu “jumlah rumah tangga berlistrik (kk), yang diakumulasi secara tahunan sehingga meningkatkan rasio elektrifikasi. Menjadi penting untuk memahami bagaimana proyek tersebut diimpelentasikan oleh EBTKE. Apakah manfaat betul dirasakan oleh pihak penerima program yaitu masyarakat pedesaan terpencil.

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab tiga pertanyaan penelitian yang muncul dari rumusan masalah. Pertama, penelitian akan mendeskripsikan dan menganalisis pelaksanaan program kelistrikan pedesaan berbasis energi terbarukan (ET) yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pemerintah pusat. Kedua, penelitian akan mengidentifikasi alat evaluasi yang paling tepat untuk mengevaluasi program tersebut. Terakhir, penelitian akan menilai hasil capaian program kelistrikan pedesaan berbasis ET berdasarkan alat evaluasi yang telah ditetapkan.

 

Metode

Metodologi penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Data diambil dari wawancara sejumlah narasumber yang terlibat langsung dengan proyek tersebut. Pemilihan metode ini karena untuk mencari konsep-konsep atau pengertian yang sesuai dalam proyek tersebut juga karena keunikan proyek ini membutuhkan pemahaman kualitatif untuk mendapatkan aspek-aspek keberlanjutannya. Penelitian kualitatif dimaksudkan untuk mengeksplor masalah sosial atau humaniora. Salah satu keunggulan metode ini adalah kerangka kerja yang flesibel dan sesuai kondisi lapangan. Proses ini meliputi wawancara dengan narasumber terpilih, menganalisis hasil wawancara, mengumpulkan data, dan menganalisis secara induktif untuk setiap tema terpilih dan menjelaskan makna data yang diperoleh, dan akhirnya penulis mencoba mengurai masalah dengan kerangka tertentu (Creswell, 2010).

Narasumber

Narasumber kunci dipilih dari para pihak yang terlibat proyek secara langsung. Terdiri dari pegawai pemerintah, Lembaga swadaya masyarakat (LSM), para ekspert, sukarelawan patriot energi, dan para operator proyek yang dilatih secara khusus.

Table 2. Narasumber kunci dan keterlibatannya.

Type of group

Age

Expertise and their experience

Number

Pegawai Pemerintah

30-45

Pegawai DJ EBTKE

3

Perencana program dan evaluasi

Pembuat kebijakan

Peneliti/ Ahli

40-60

Ahli di bidang kelistrikan pedesaan berbasis ET

2

LSM yang bergerak di bidang listrik pedesaan ET

Anggota Patriot Energi

22-30

Dipilih dari fresh graduate dari universitas

10

Dilatih khusus dalam bidang teknologi ET dan pemberdayaan komunitas

 

 

Berpengalaman bekerja di komunitas lokasi proyek ET di daerah 4T selama minimum 6 bulan di berbagai daerah di Indonesia (Sumatra Barat, Kalimantan Utara, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua and Papua Barat)

 

Operator

25-50

Operator di lapangan, yang dilatih PPSDM KEBTKE

10

 

Hasil dan Pembahasan

a.   Capaian Program

Program listrik pedesaan berbasis ET dilaksanakan sejak 2012 sampai sekarang, 2022. Proyek ini berhasil membangun sejumlah besar infrastruktur ET di berbagai daerah di Indonesia (EBTKE, 2015) (EBTKE, 2016). Tulisan ini fokus pada PLTS terpusat dan PLTMH. Berikut hasil pembangunan infrastruktur fisik ET dengan dana APBN mulai 2011 sampai 2022.

Tabel 3. Capaian Program (EBTKE, 2016, 2017, 2018, 2019, 2020, 2021, 2022).

Sejak 2018 tidak ada PLTS Terpusat dibangun lagi dengan APBN DJ EBTKE, hanya dari dana DAK, IPP, atau IO (DJ EBTKE, 2018). Juga mulai 2019 lebih banyak dilaksanakan program PLTS Atap (EBTKE, 2019).

b.   Pelaksanaan Program

a.    Para pihak yang terlibat

Para pihak adalah individu, grup, atau organisasi yang berkontribusi atau mendapatkan dampak, atau dianggap mendapatkan manfaat oleh adanya pengambilan keputusan, aktivitas, atau dampak dari suatu proyek. Pada bagian ini diidentifikasi para pihak yang terlibat dan dikaji dokumen/ regulasi terkait yang memberikan informasi keterlibatan, kepentingan, keterkaitan satu sama lain, pengaruh dan potensi dampak dari kesuksesan program yang dijalankan. Analisis para pihak ini sangat penting untuk program kelistrikan pedesaan ET untuk mengetahui alur program secara regulasi. Tabel 5 menampilkan para pihak yang secara langsung terlibat dalam program dan tanggungjawab serta kepentingannya. Output final dari program adalah total output dari masing-masing para pihak. DJ EBTKE, PLN dan kontraktor memiliki output yang lebih konkrit karena batasan tugasnya. Tetapi Pemerintah Daerah (PD) memiliki output yang abstak karena tujuannya lebih bersifat jangka panjang.

Tabel 4. Para pihak dalam program

Para Pihak

Kepentingan & Tanggung jawab

Output

DG NREEC

Implementasi visi pemerintah pusat  (politik)

Aset diserahkan ke Pemerintah Daerah

Melaksanakan kebijakan/ program pemerintah bidang ET, dan akses lisktrik yang lebih baik

Mengumpulkan dan memverifikasi proposal proyek kelistrikan pedesaan ET

Mendetailkan FS DED (Feasibility Study dan Deailed Engineering Design)

Perencanaan program dan penganggaran (APBN)

Mengeksekusi proyek infrastruktur ET (secara anggaran, kualitas, dan waktu)

Menyerahterimakan aset ET terbangun ke PD

Pemerintah Daerah (Provinsi)

Mendapatkan bantuan untuk melistriki daerah 4T

Pembangunan daerah dan pedesaan

Melaksanakan rencana energi daerah, termasuk berkoordinasi terkait kelistrikan dengan unit cabang PLN

Melaksanakan survei dan membuat proposal proyek

Membuat preFS DED

Melaksanakan penguatan/ pengembangan masyarakat

Harus memiliki pemahaman lebih mendalam atas kebutuhan local

Membangun organisasi / institusi yang akan mengelola pembangkit ET di desa setempat

Melaksanakan sosialisasi dan pelatihan komunitas lokal

Menyiapkan anggaran untuk pemeliharaan dan penggantian spare parts

PD menjadi pemilik asset pembangkit ET (non tanah)

Monitoring dan melaporkan kondisi pembangkit ET ke pemerintah pusat (tahunan)

PLN

BUMN juga pelaksana layanan public (PSO) untuk kelistrikan di Indonesia

Laba dari jasa listrik

Perusahaan yang berorientasi keuntungan

Menyinkronkan rencana penyediaan tenaga listrik, pembangkitan, dan perluasan jaringan distribusi listrik

Komunitas Desa

Menerima dampak langsung proyek, listrik untuk warga (user)

Listrik untuk kebutuhan

Mendapat kewajiban untuk operasional harian dan pemeliharaan ringan (pengelolaan dan operator)

Berpartisipasi dalam pembiayaan operasional (iuran bulanan)

Mendapat manfaat tidak langsung (teknologi, sosial, ekonomi)

Pemilik tanah lokasi infrastruktur ET

Kontraktor proyek

Desain FS DED (kontraktor perencana)

Profit

Pembangunan infrastuktur pembangkit ET di lokasi

Bertangungjawab dan akuntabel langsung dengan pelaksana proyek DJ EBTKE

 

Dari regulasi pelaksanaan program DJ EBTKE dan hasil wawancara dapat diketahui peran semua para pihak. Peran dan keterlibatan terbesar adalah pada pelaksana program DJ EBTKE yang memiliki inisiatif dan anggaran. Kontraktor memiliki kepentingan yang medium karena mereka hanya terlibat dalam pembangunan saja sampai serah terima pekerjaan dan selesainya masa garansi. PLN memiliki keterkaitan tidak langsung, dan keterlibatannya rendah hanya sebatas memastikan bahwa di area yang akan dibangun ET dalam 3 sampai 5 tahun tidak akan masuk ke dalam jangkauan pengembangan distribusi listrik PLN. PLN tidak berhubungan langsung dengan DJ EBTKE pada program ini, tetapi lebih berhubungan dengan PD terkait rencana kelistrikan daerah. PLN lebih terlibat dalam pengembangan ET yang bersifat on grid atau terinterkoneksi dengan jaringan mereka.

Keterlibatan PD dan komunitas lokal juga relatif rendah padahal justru kepentingannya yang terbesar sebagai penerima manfaat, yaitu listrik untuk pembangunan daerahnya. PD terlibat tidak secara berkesinambungan. PD terlibat di awal program, melengkapi proposal dan dokumen untuk pengajuan pembangunan pembangkit ET ke DJ EBTKE. Sering proposal tidak lengkap atau cukup memadai sehingga tim FS DED DJ EBTKE harus mendalami lagi. PD akan terlibat lagi setelah serah terima aset (1 tahun setelah masa garansi), dan menjadi pemilik aset. Hal ini karena bergantung pada masing-masing PD, terkait dengan sumber daya manusia dan anggaran, sehingga kemampuan mengelola asset juga bergantung pada sumber daya PD.

Sedangkan pihak komunitas local dalam proyek ini lebih diperlakukan sebagai penerima bantuan, baik oleh PD maupun pemerintah pusat. Sebagian besar komunitas local memiliki sumber daya yang rendah. Seharusnya sebagai penerima kepentingan terbesar, komunitas local harus terlibat paling banyak, dari awal perencanaan sampai pengelolaan.

Analisis para pihak program ini sangat kurang. Output DJ EBTKE adalah membangun infrastruktur tanpa mendalami lebih jauh kepentingan PD dan komunitas local. Dalam melaksanakan proyek memang ada komunikasi dengan PD atau PLN tetapi hanya untuk proyek fisiknya. Pengembangan kapasitas komunitas local juga sangat rendah baik oleh PD maupun DJ EBTKE. Monitoring juga sangat rendah, sehingga beberapa kali dibuat program patriot energi untuk menjembatani masalah ini. Kisah sukses kelistrikan desa ET di Bangladesh adalah karena pelaksana proyek melakukan analisis para pihak yang komprehensif sebelum implementasi dan dilaksanakan pengembangan masyarakat yang secara terus menerus dimonitor (Biswas et al., 2004). Dan harus diperhatikan bahwa peran para pihak bergantung pada skema pelaksanaan program (Murni et al., 2012).

Kasus ini menjelaskan kompleksitas implementasi ET untuk kelistrikan pedesaan oleh Pemerintah Indonesia Program ini memiliki tujuan multidimensi dan melibatkan banyak para pihak, khususnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Karakter program di Indonesia ini sudah ditelaah oleh Masquart. Ia menyimpulkan lemahnya kapasitas lokal, lemahnya pemahaman tujuan nasional di level lokal, dan sebaliknya kurangnya pemahaman kepentingan lokal oleh pemerintah pusat, dan kurangnya konsultasi pada level perumusan kebijakan, menjadi hambatan terbesar dalam implementasi program Kebijakan yang baik harus didukung oleh pendekatan bottom up dengan membuat eksperimen lokal (Haramaini, 2023).

Mata rantai terlemah program ini, disadari oleh semua pihak adalah kelemahan komunitas lokal dalam membangun institusi untuk mengelola pembangkit ET. Manajemen yang lemah menjadi penyebab langsung diterlantarkannya infrastruktur ET. Pertama, komunitas menggantungkan pada kontribusi tarif bulanan yang jelas tidak mampu untuk membiayai opersional dan pemeliharaan secara optimal. Kedua, karena rendahnya rasa memiliki, jika pembangkit ET mengalami kendala, komunitas akan melempar tanggungjawab ke pihak luar, karena infarstruktur pembangkit tersebut bukan milik komunitas. Sering terlewatkannya kepentingan user komunitas dalam program ET yang bersifat top-down telah disimpulkan oleh Chaurey berdasar studi di India (Chaurey & Kandpal, 2010).

b.  Alur Pelaksanaan Program

Pada awal pelaksanaan program dilaksanakan menggunakan dasar regulasi Peraturan Menteri ESDM No 10 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Kegiatan Fisik Pemanfaatan Energi Baru dan Energi Terbarukan (Suri & Komalasari, 2019). Regulasi ini lebih mengatur ke aspek proses pembangunan infrastruktur ET, dimulai dari proposal oleh PD dan diakhiri dengan transfer asset. Konsep alur kelistrikan pedesaan berbasis ET tidak kelihatan jelas. Jadi regulasi ini hanya melihat dari sisi DJ EBTKE sebagai pemilik program. Kepentingan para pihak dan tanggungjawabnya masing-masing tidak dirinci secara mendalam. Jadi bisa disimpulkan regulasi ini hanya terbatas pada pembangunan infrastruktur dan tidak meliputi keseluruan program kelistrikan pedesaan ET untuk menjamin keberlanjutannya. Secara umum alur pelaksanaan program bisa dilihat di gambar 4 di bawah ini.

 

Gambar 2. Alur pelaksanaan program oleh DJ EBTKE (Haramaini, 2023).

 

Gambar 5 menunjukkan tahapan actual proyek berdasar urutan waktu. Dimulai dari survei pendahuluan dan persiapan awal FS DED oleh PD dan diakhiri dengan pengoperasian dan pemeliharaan (O&M) unit pembangkit. Harus diperhatikan keterlibatan komunitas saat pelaksanaan proyek, termasuk pendirian institusi. Termasuk siapa pelaksana pengoperasian dan pemeliharaan setelah pembangkit beroperasi.

Gambar 3. Tahapan aktual program di lapangan (KESDM 2012, (Haramaini, 2023).

 

c.     Keberlanjutan Program

Hasil keberlanjutan program berdasarkan hasil wawancara dan studi literatur dokumen pendukung adalah sesuai table berikut, sesuai dengan indikator dari tabel 2.

 

Tabel 5. Hasil kajian aspek keberlanjutan program

Dimensi Keberlanjutan

Indikator

Hasil (Kualitatif)

Dimensi Teknis

Efisiensi

Tidak ada data, instalasi sesuai SNI

Ketaatan standar nasional (SNI)

Pada umumnya cukup baik, sesuai SNI

Rugi-rugi teknis

Tidak ada data

Kemampuan tersambung grid di masa depan

Hanya sejumlah pembangkit dengan konfigurasi AC yang bisa disambung on-grid

Ketersediaan infrastruktur pendukung

Tidak ada, sebagian besar di daerah 4T

Pelayanan operasi harian

Ada, dengan SDM lokal dan kompetensi dasar

Ketersediaan pelayanan (listrik)

Umumnya tidak ada

Dimensi Ekonomi

Keuntungan

Tidak berorientasi keuntungan

Biaya operasi dan pemeliharaan tercukupi

Komunitas hanya menanggung gaji bulanan operator. Biaya pemeliharaan dibebankan ke PD

Biaya modal dan instalasi

Cukup

Kelayakan tarif

Tarif sebagaian besar berdasar iuran semampu warga, tanpa analisis kelayakan.

Bagian listrik yang dikonsumsi bisnis

Tidak ada data alokasi bisnis, listrik per KK 450 watt

Bagian listrik untuk konsumsi RT yang bermanfaat untuk aktivitas menciptakan penghasilan

Tidak ada data

Pengembangan bisnis

Tidak dirancang untuk pengembangan bisnis

Dimensi Sosial/Etis

Pusat kesehatan dan sekolah yang terlistriki

Ada. Disediakan alokasi untuk fasilitas umum: sekolah, klinik, balai desa, masjid/ gereja

Jumlah penerangan jalan di area

Disediakan sebagian daya untuk penerangan jalan

Jumlah tempat public atau pelayanan yang terhubung telekomunikasi/internet

Pada awal program belum disediakan, selanjutnya disediakan akses internet untuk kepentingan operator/ rumah pembangkit 

Jumlah populasi yang mendapat listrik

Sering daya listrik tidak memenuhi untuk semua RT

 

Distribusi RT terlistriki berdasar besaran pendapatan

Tidak ada

Dimensi Lingkungan

Jumlah RT dimana listrik menggantikan sumber energi lain untuk pencahayaan

Program dirancang untuk melistriki RT

Jumlah RT dimana listrik menggantikan sumber energi lain untuk memasak

Daya listrik tidak dirancang untuk kebutuhan memasak

Dampak nyata lingkungan lokal yang teridentifikasi

Tidak ada data

Dimensi Organisasi/ Institusi

Jumlah staf dan manajemen dengan kualifikasi Pendidikan/ pelatihan yang tepat

Kualitas SDM sangat beragam sesuai dengan ketersediaan di komunitas

Tingkat penggantian staf dalam organisasi

Tidak ada data. Program masih tahap awal

Lama (pembangkit listrik) beroperasi dalam tahun

Pembangkit beroperasi sejak serah terima ke DJ EBTKE. Tidak ada data mengenai keandalan dan masa operasi sampai status terakhir

Jumlah nilai losses

Data ada di lokal pembangkit

Tingkat kepuasan atas layanan energi

Tidak ada survei

Audit keuangan laporan tahunan

Tidak ada data

Monitoring & evaluasi oleh pemerintah tahunan

Monitoring dilakukan oleh PD

Manajemen model untuk meningkatkan organisasi desa dan keahlian (operator)

Belum terdapat manajemen model tiap desa, hanya mengandalkan iuran dan keuangan PD

 

2.    Diskusi dan Pembahasan

(Urmee & Harries, 2009) (Urmee et al., 2009) pada kajian implementasi program kelistrikan berbasis PLTS di Asia Asia Pacific menyimpulkan bahwa mayoritas program memiliki tujuan level tinggi (nasional) dan tidak menunjukkan adanya kerengka kerja yang jelas dan terstruktur. Obyektif program dibuat dan disusun bukan untuk kepentingan pengguna (user) tetapi untuk kepentingan administrasi dari organisasi pelaksana proyek. Tujuan utamanya umumnya untuk menyediakan listrik di daerah off grid (Urmee & Harries, 2011). Sehingga sebagian besar program kelistrikan pedesaan berbasis ET hanya sukses secara jangka pendek (short-term), sedangkan tujuan jangka panjangnya menghadapi tantangan besar (Urmee & Md, 2016).

Diskusi berikut dibagi dalam tiap dimensi keberlanjutan. Masing-masing dimensi keberlanjutan sesuai dengan indikator yang ada. Dan diakhir diberikan kesimpulan keberlanjutan untuk tiap dimensinya.

a.    Dimensi Teknis

Dimensi teknis terkait dengan aspek teknis pembangkit, meliputi komponen, instalasi, sampai keandalan pembangkit secara teknisnya. Menurut (Ilskog, 2008) indikator teknis meliputi: efisiensi, standar nasional (SNI), rugi-rugi teknis, kemampuan tersambung grid di masa depan, ketersediaan infrastruktur pendukung, pelayanan operasi harian, ketersediaan listrik. Semua indikator tadi sudah sesuai dengan indikator untuk pembangkit listrik pada umumnya. Efisiensi dan rugi-rugi teknis bisa dipastikan cukup baik dari sisi rancangan, karena pembangkit dirancang oleh konsultan ahli. Juga penerapan SNI khususnya untuk komponen dalam negeri bisa dipastikan sesuai karena dalam proses pengadaan selalu menekankan kesesuaian dengan SNI. Problem minor adalah di masalah instalasi di lapangan, karena pengetahuan dasar instalasi yang sesuai SNI sering tidak dimiliki oleh pekerja lapangan.

Kemampuan tersambung grid di masa depan menjadi indikator penting, sesuai hasil wawancara dengan operator, sering ada desa yang cukup dekat dengan grid PLN, sehingga dalam beberapa tahun kemungkinan warga bisa terlistriki dari distribusi PLN. Secara teknis PLTMH lebih mudah tersambung dengan grid karena listriknya yang stabil. Tetapi khusus PLTS harus disiapkan Inverter jenis On-Grid atau hybrid agar bisa sinkron dengan grid PLN. Sayang umumnya PLTS yang awalnya hanya dirancang untuk off grid sehingga tidak memperhitungkan koneksi dengan grid PLN.

Ketersediaan infrastruktur pendukung hampir tidak ada. Lokasi pembangkit bisa dipastikan cukup jauh dari ibukota propinsi, sering membutuhkan perjalanan lebih dari sehari. Seluruh komponen dan spare parts pada program dikirim oleh kontraktor yang umumnya dari Pulau Jawa. Sehingga kerusakan komponen di masa depan bisa dipastikan akan menghambat ketersediaan listrik selama masa tunggu penggantian, jika tidak ada manajemen pemeliharaan.

Pelayanan operasi harian bergantung pada kapasitas operator harian, yang dilatih oleh kontraktor selama beberapa hari, saat proyek infrastruktur berlangsung. SDM yang bersedia harus warga komunitas lokal, sering dengan mengabaikan dasar pendidikan dan kompetensi. Pengoperasian PLTS membutuhkan kompetensi listrik yang cukup memadai, karena jauhnya pembangkit dari tenaga ahli yang kompeten, maka operator lokal harus memiliki ketrampilan untuk menganalisis masalah. Hal ini disadari belakangan, ketika beberapa PLTS tidak bisa beroperasi dan operator lokal tidak tahu apa yang harus dilakukan. Akhirnya dibuat program bantuan Patriot Energi dan pelatihan khusus PLTS bagi masyarakat lokal.

Ketersediaan layanan listrik bergantung pada rancangan awal pembangkit. Sering pertumbuhan masyarakat tidak diperhitungkan dalam perancangan, sehingga tidak ada cadangan energi untuk KK yang baru. Juga beberapa kasus, karena pembangunan berbasis ketersediaan anggaran, ada KK yang tidak dapat sambungan listrik. Listrik yang diberikan pun dibatasi hanya sampai 450 watt/ KK, hanya cukup untuk penerangan dan aktivitas sosial. Dalam kasus PLTS off grid yang menggunakan penyimpan energi baterai, perlu diperhatikan kapasitas baterai untuk mengatasi hari tanpa sinar matahari, misal jika di pulau ada badai. Ketika kapasitas baterai menipis, biasanya operator memutuskan untuk memadamkan aliran listrik ke konsumen, sehingga listrik tidak bisa disediakan penuh 24 jam.

b.    Dimensi Ekonomi

Dimensi ekonomi terdiri atas keuntungan, biaya operasi dan pemeliharaan, biaya modal dan instalasi, kelayakan tarif. Kemudian bagian listrik yang digunakan untuk bisnis, listrik RT yang digunakan untuk tambahan penghasilan serta pengembangan bisnis. Dari dimensi ekonomi tersebut hanya biaya modal dan instalasi yang bisa dipastikan karena program ini merupakaan bantuan dengan anggaran dari pemerintah pusat. Setelah serah terima semua harus bergantung ke PD dan komunitas lokal. Indikator ekonomi lain tidak diperhitungkan pada rancangan awal program. Biaya pengoperasian dan pemeliharaan serta keuntungan jelas tidak diperhitungkan dan terbukti membuat pembangkit tidak berkelanjutan. Kerusakan komponen bisa menunggu berbulan-bulan untuk mendapatkan anggaran dari PD yang bersifat tahunan.

Indikator tarif menurut para pelaksana lapangan ditentukan berdasarkan musyawarah warga, nilainya sangat bervariasi untuk setiap daerahnya, antara 10.000 sampai dengan 50.000 rupiah per bulan. Tujuan dari tarif ini hanya untuk jasa dan gaji operator lokal. Sebagian besar warga tidak keberatan dengan tarif ini karena mereka biasa membayar lebih banyak untuk BBM. Artinya kesediaan membayar komunitas lokal di Indonesia cukup baik.

Pengembangan bisnis tidak menjadi bagian dari program. Bagian dari listrik RT yang digunakan untuk aktivitas menambah penghasilan juga sangat terbatas mengingat alokasi daya yang hanya 450 watt. Bisa disimpulkan program ini tidak memperhitungkan aspek ekonomi secara mendalam.

Patut dijelaskan bahwa tarif listrik tidak ditentukan berdasar analisis finansial pembangkit. Dalam kasus PLTS operasi dan pemeliharaan adalah biaya terbesar setelah pembangunan infrastruktur. Dalam program ini biaya operasi dan pemeliharaan dibebankan ke PD dengan alokasi anggaran tahunan APBN/APBD.

c.    Dimensi Sosial/ Etis

Mungkin ini adalah capaian terbaik dari program ini. Dimensi sosial terdiri atas: jumlah penerangan jalan, jumlah tempat publik terlistriki, jumlah tempat public yang terhubung telekomunikasi dan internet, jumlah RT terlistriki, dan distribusi RT terlistriki berdasar besaran pendapatan. Hampir semua indikator sosial terpenuhi, hanya distribusi RT berdasar besaran pendapatan yang tidak ada data, karena memang program ini tidak membidik aspek ekonomi. Berdasar wawancara dengan relawan Patriot Energi dan operator lokal, keseluruhan masyarakat merasa senang karena mereka mendapatkan listrik, sehingga aktivitas sosial bisa berlanjut ke malam hari. Program ini juga mengalokasikan listrik secara khusus untuk fasilitas umum yang ada di desa setempat, seperti balai desa, sekolah dasar, puskesmas, masjid dan gereja. Keterkaitan dengan internet tidak diperhitungkan di awal program, kemudian internet disediakan di rumah pembangkit untuk kebutuhan akses operasional pembangkit, agar pembangkit bisa dimonitor secara terpusat. Telekomunikasi selanjutnya bisa tersedia sebagai hasil kerjasama dengan kementerian/ Lembaga terkait lainnya.

d.   Dimensi Lingkungan

Dimensi lingkungan terdiri dari jumlah RT terlistriki yang menggantikan sumber energi lain untuk pencahayaan, jumlah RT terlistriki yang menggantikan sumber energi lain untuk memasak, serta dampak lingkungan lain yang teridentifikasi. Indikator pertama terpenuhi, karena tujuan program ini memang secara teknis untuk memberikan kebutuhan listrik dasar penerangan. Pada awalnya masyarakat sama sekali tidak tersedia akses listrik, awalnya mereka menggunakan minyak untuk penerangan. Dalam beberapa kasus di beberapa desa sudah tersedia PLTD yang diselenggarakan secara swadaya dengan iuran komunitas lokal yang ketersediaan listriknya juga terbatas hanya pada jam-jam tertentu.

e.    Dimensi Organisasi/ Institusi

Dimensi ini pada awalnya masuk ke dimensi sosial, tetapi karena kepentingannya yang sangat mendasar untuk program kelistrikan pedesaan off grid berbasis ET maka dimensi organisasi/ institusi ini dijadikan dimensi tersendiri. Dimensi ini terdiri dari jumlah staf/ manajemen dengan kualifikasi pendidikan/ pelatihan yang tepat, tingkat penggantian staf dalam organisasi, lama pembangkit beroperasi (tahun), jumlah nilai rugi-rugi (losses).

Kompetensi staf/ operator cukup penting, karena harus mengelola pembangkit listrik, baik PLTS maupun PLTMH. Untuk PLTS operator membutuhkan skill cukup terkait dengan kelistrikan dan elektronik. Tingkat penggantian staff menunjukkan kapasitas manajemen untuk mengelola pembangkit di lapangan. Dalam kasus ini sangat jarang terjadi, karena umumnya operator berasal dari desa setempat. Lama pembangkit beroperasi adalah indikator penting menunjukkan kemampuan mengelola pembangkit sehingga bisa berkelanjutan. Indikator nilai rugi-rugi juga menunjukkan kemampuan teknis pengelola untuk menangani pembangkit listrik.

Dari seluruh indikator institusi hanya kualifikasi staf/ operator yang disadari sejak awal cukup penting. Sehingga dibuatlah program-program pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan ketrampilan mengoperasikan dan memelihara pembangkit, setidaknya di level dasar. Tetapi secara keseluruhan dimensi organisasi ini membutuhkan manajemen institusi, suatu hal baru yang harus diperkenalkan dan dibangun di komunitas lokal. Dengan adanya institusi maka indikator institus lainnya bisa diselenggarakan. Tetapi justru keberadaan institusi ini yang belum tercakup dalam proyek, sehingga dimensi ini dinilai sangat kurang.

Pada awal program kewajiban memberikan pelatihan dibebankan kepada kontraktor pelaksana proyek. Kontraktor memberi kesempatan kepada sejumlah warga lokal untuk ikut menjadi pekerja dalam proyek. Kemudian sambil bekerja mereka dilatih menjadi operator, yang diharapkan mampu mengoperasikan dan memelihara pembangkit setelah masa proyek selesai. Pelatihan ini dimasukkan ke dalam kontrak kerja.

Jadi tidak ada pemberdayaan komunitas dan institusi secara khusus dalam program tersebut. Komunitas, hanya sebagian warganya, hanya mendapat kesempatan sebagai pekerja gajian dalam proyek. Dari sudut pandang komunitas hal ini menciptakan rendahnya rasa memiliki, karena mereka tidak memiliki daya yang rendah dalam partisipasi (Urmee & Md, 2016). Karena itu sangat sulit mengharapkan komunitas mau memelihara pembangkit yang telah terbangun secara berkelanjutan.

Manajemen institusi sangat penting untuk program kelistrikan pedesaan berbasis ET. Manajemen institusi ini, disebut saja institusi, adalah institusi baik memiliki aspek legal atau tidak, yang bertanggungjawab mengelola pembangkit ET. Di antara tugasnya adalah mengoperasikan, memelihara, dan memastikan berlangsungan pembangkit ET tersebut. Institusi ini juga mengelola keuangan, menetapkan tarif/ iuran, mengumpulkan iuran dari komunitas, dan menggunakan dana tersebut untuk pengoperasian dan membuat laporan keuangan. Manajemen ini seharusnya berasal dari komunitas lokal pedesaan tersebut. Institusi ini juga harus memiliki koordinasi dengan kantor pemerintah terkait, misal pemerintah daerah sebagai pemilik aset.

Pada indikator keberlanjutan oleh (Ilskog, 2008) terlihat bahwa keberlanjutan sebagaian besar ditentukan oleh berapa lama institusi mampu mengelola pembangkit tersebut (tahun), yang mengindikasikan pentingnya kekuatan manajemen institusi. Kekuatan institusi ini adalah prasyarat keberlanjutan pengoperasian pembangkit ET pedesaan. (Biswas et al., 2004) (Budiarto et al., 2013) (Chaurey & Kandpal, 2010) (Fajarsari et al., 2015) (García & Bartolomé, 2010) (Hong & Abe, 2012) (Ilskog & Kjellström, 2008) (Urmee & Harries, 2011).

Tidak ada penjelasan formal mengapa program tidak mengakomodasi pembangunan institusi secara berkelanjutan. Dari wawancara, DJ EBTKE mendelegasikan pemberdayaan komunitas ke PD, untuk berbagi peran. Diharapkan PD turun langsung ke lapangan dan menelaah kondisi sosial-ekonomi komunitas lokal. Hal ini juga hanya bisa berlangsung, bergantung penuh dengan kapabilitas dan sumber daya PD.

Sebenarnya kepentingan manajemen institusi disadari oleh semua pihak. Tetapi tidak ada aspek legal formal yang disepakati semua pihak. Kemungkinan karena membutuhkan kinerja yang melampau tahun anggaran sehingga lebih sulit dilaksanakan. DJ EBTKE sebagai pelaksana program hanya mensyaratkan adanya pengelola tanpa melihat bagaimana bentuk dan aspek legalnya. Entitas institusi berbadan hokum akan memudahkan dan memiliki tanggungjawab yang jelas serta mampu bekerjasama lebih baik dengan Lembaga pemerintah, misal dalam hal bantuan anggaran untuk operasional dan pemeliharaan. Sejumlah narasumber dan ahli juga menekankan aspek profesionalitas dan hokum institusi tersebut. Aspek ini memperkuat institusi dalam rangka pengelolaan pembangkit ET untuk komunitas terpencil (Biswas et al., 2004) (Urmee & Harries, 2009).

Program kelistrikan pedesaan berbasis ET sebagai sebuah kebijakan harus dibangun sehingga bisa menjembatani kebutuhan komunitas target. Kegagalan menjembatani isu sosial dan budaya akan menghabiskan sumber daya dan waktu. Urmee pada 2016 menganalisis isu sosial dan budaya ini pada program kelistrikan pedesaan off grid berbasis ET. Kunci sukses impelementasi program tersebut adalah memahami perilaku dan kebutuhan energi komunitas, dan harus melibatkan mereka pada tahap perencanaan dan desain program. Hal ini sangat kritikal untuk mencapai keberlanjutan jangka panjang. Dikatakan semakin besar keterlibatan komunitas, semakin besar daya komunitas terlibat. Keterlibatan ini berpengaruh pada persepsi masyarakat, termasuk rasa memiliki fasilitas yang sudah dibangun.

(Urmee & Md, 2016) juga membangun framework untuk mengintegrasikan usaha-usaha yang harus dilakukan pada program dalam rangka mengatasi masalah-masalah sosial budaya. Framework tersebut dibangun berdasarkan teori difusi inovasi (Urmee & Md, 2016).  Framework tersebut dapat menjadi rujukan untuk pelaksana program dan pembuat kebijakan untuk menciptakan tahapan program pembangunan dan implementasinya untuk memastikan keberlanjutan program kelistrikan pedesaan ET.

 Secara sosial budaya, kemauan komunitas lokal untuk menerima pembangkit ET harus ditindaklanjuti dengan pemberdayaan komunitas agar mampu mengoperasikan dan memelihara pembangkit ET tersebut. Kasus Indonesia ini menunjukkan tipikal inisiatif top-down, setidaknya harus disertai diseminasi efektif terhadap komunitas lokal terlebih dahulu. Penerapan teknologi bukan hanya sekedar pemberian bantuan teknis kepada komunitas lokal. Proses tersebut membutuhkan integrasi aspek teknis, pembelajaran teknologi baru, ketrampilan dan budaya dimana teknologi tersebut diaplikasikan. Perspektif user sangat penting untuk menjembatani teknologi dengan pengguna (Budiarto et al., 2013) (Urmee & Md, 2016).

 

Kesimpulan

Diskusi mengenai proyek pembangunan infrastruktur kelistrikan pedesaan berbasis energi terbarukan (ET) di Indonesia menunjukkan bahwa meskipun telah dilaksanakan secara masif, pendekatan yang dominan adalah top-down, dan pemberdayaan komunitas lokal masih kurang. Evaluasi keberlanjutan program ini menggunakan indikator keberlanjutan yang terdiri dari lima dimensi (teknis, ekonomi, sosial/etis, lingkungan, dan organisasi/institusi). Hasil evaluasi menunjukkan bahwa program ini berhasil dalam dimensi teknis, sosial/etis, dan lingkungan, tetapi masih kurang dalam dimensi ekonomi dan organisasi/institusi. Keberlanjutan pengoperasian pembangkit ET menjadi tantangan besar karena terbatasnya daya dan kurangnya program pembangunan institusi untuk memastikan komunitas dapat mengelola infrastruktur yang telah dibangun. Oleh karena itu, disarankan agar evaluasi lebih terukur dengan menggunakan metode kuantitatif, dan studi kasus dilakukan untuk mendalami kondisi nyata di lapangan dan mengeksplorasi lebih lanjut masing-masing dimensi dan indikator keberlanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

 

Anyi, M., Kirke, B., & Ali, S. (2010). Remote community electrification in Sarawak, Malaysia. Renewable Energy, 35(7), 1609–1613.

 

Biswas, W. K., Diesendorf, M., & Bryce, P. (2004). Can photovoltaic technologies help attain sustainable rural development in Bangladesh? Energy Policy, 32(10), 1199–1207.

 

Blum, N. U., Wakeling, R. S., & Schmidt, T. S. (2013). Rural electrification through village grids—Assessing the cost competitiveness of isolated renewable energy technologies in Indonesia. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 22, 482–496.

 

Budiarto, R., Ridwan, M. K., Haryoko, A., Anwar, Y. S., & Suryopratomo, K. (2013). Sustainability challenge for small scale renewable energy use in Yogyakarta. Procedia Environmental Sciences, 17, 513–518.

 

Chaurey, A., & Kandpal, T. C. (2010). Assessment and evaluation of PV based decentralized rural electrification: An overview. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 14(8), 2266–2278.

 

Creswell, J. W. (2010). Research design pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

DJ EBTKE. (2018). Laporan Tahunan DJ EBTKE 2018. Jakarta: DJ EBTKE.

 

EBTKE, D. (2015). Laporan kinerja (Lakin) Tahun Anggaran 2015. Jakarta: DJ EBTKE.

 

EBTKE, D. (2016). Statistik EBTKE 2016. Jakarta: DJ EBTKE.

 

EBTKE, D. (2019). Laporan Kinerja DJ EBTKE Tahun 2019. Jakarta: DJ EBTKE.

 

Fajarsari, A. D., Sulaiman, M., & Setiawan, B. (2015). Developing A Model Of A Sustainable Micro Hydropower Plant Management System (A Case Study Kedungrong Mhp Purwoharjo Village Samigaluh District Kulon Progo Regency Yogyakarta Province). ASEAN Journal of Systems Engineering, 3(1).

 

García, V. G., & Bartolomé, M. M. (2010). Rural electrification systems based on renewable energy: The social dimensions of an innovative technology. Technology in Society, 32(4), 303–311.

 

Gatrik, D. (2016). Statistik Ketenagalistrikan 2015. Jakarta: DJK.

 

Haramaini, M. N. (2023). Kajian Aspek Keberlanjutan Program Kelistrikan Pedesaan Berbasis Energi Terbarukan Off Grid Oleh Direktorat Jenderal EBTKE Di Indonesia. EKONOMIKA45: Jurnal Ilmiah Manajemen, Ekonomi Bisnis, Kewirausahaan, 10(2), 455–477.

 

Hong, G. W., & Abe, N. (2012). Sustainability assessment of renewable energy projects for off-grid rural electrification: The Pangan-an Island case in the Philippines. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 16(1), 54–64.

 

Ilskog, E. (2008). Indicators for assessment of rural electrification—An approach for the comparison of apples and pears. Energy Policy, 36(7), 2665–2673.

 

Ilskog, E., & Kjellström, B. (2008). And then they lived sustainably ever after?—Assessment of rural electrification cases by means of indicators. Energy Policy, 36(7), 2674–2684.

 

KESDM. (2015). Peraturan Menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2015 tentang Rencana Strategis Kementerian ESDM Tahun 2015-2019. Jakarta: KESDM.

 

Lillo, P., Ferrer-Martí, L., Fernández-Baldor, Á., & Ramírez, B. (2015). A new integral management model and evaluation method to enhance sustainability of renewable energy projects for energy and sanitation services. Energy for Sustainable Development, 29, 1–12.

 

Murni, S., Whale, J., Urmee, T., Davis, J., & Harries, D. (2012). The role of micro hydro power systems in remote rural electrification: a case study in the Bawan Valley, Borneo. Procedia Engineering, 49, 189–196.

 

Suri, D. M., & Komalasari, E. (2019). Proses Implementasi Kebijakan Lingkungan Dalam Pemanfaatan Limbah Kelapa Sawit Di Kabupaten Rokan Hulu. PUBLIKA: Jurnal Ilmu Administrasi Publik, 5(2), 164–172.

 

Urmee, T., & Harries, D. (2009). A survey of solar PV program implementers in Asia and the Pacific regions. Energy for Sustainable Development, 13(1), 24–32.

 

Urmee, T., & Harries, D. (2011). Determinants of the success and sustainability of Bangladesh’s SHS program. Renewable Energy, 36(11), 2822–2830.

 

Urmee, T., Harries, D., & Schlapfer, A. (2009). Issues related to rural electrification using renewable energy in developing countries of Asia and Pacific. Renewable Energy, 34(2), 354–357.

 

Urmee, T., & Md, A. (2016). Social, cultural and political dimensions of off-grid renewable energy programs in developing countries. Renewable Energy, 93, 159–167.