KAJIAN
ASPEK KEBERLANJUTAN PROGRAM KELISTRIKAN PEDESAAN BERBASIS ENERGI TERBARUKAN OFF
GRID OLEH DIREKTORAT JENDERAL EBTKE DI INDONESIA
Muhammad
Nashiruddin Haramaini
Pusat
Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelistrikan Energi Baru Terbarukan dan
Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Email : muhammad.haramaini@esdm.go.id
Abstrak
Indonesia berhasil meningkatkan rasio elektrifikasi 88.3% pada tahun
2015 menjadi 99,63% pada 2022. Capaian ini diantaranya dengan mengejar
elektrifikasi di daerah tertinggal, terdepan dan terluar dan transmigrasi,
banyak diantaranya di pulau-pulau terpencil. Usaha ketenagalistrikan di
Indonesia yang hanya melibatkan sedikit sektor swasta menyebabkan listrik
pedesaan harus ditanggung oleh pemerintah. Salah satu program
penting adalah penerapan listrik pedesaan berbasis energi terbarukan (ET).
Tugas ini dibebankan kepada Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan
Konservasi Energi (Dirjen EBTKE). Tujuan utama program ini adalah meningkatkan
rasio elektrifikasi sekaligus meningkatkan porsi ET pada bauran energi
nasional. Kajian ini bertujuan meneliti sejauh mana program ini dilaksanakan
dan mendapatkan aspek keberlanjutan yang penting untuk mengevasluasi
keberhasilan program tersebut. Kajian ini membatasi hanya untuk program
kelistrikan pedesaan yang dibiayai APBN DJ EBTKE dengan jenis pembangkit PLTMH dan
PLTS. Kebaruan penelitian ini menggunakan data terakhir sampai 2022 dan kajian
literatur kualitatif untuk melihat aspek keberlanjutannya. Keberhasilan program
ini dievaluasi menggunakan aspek keberlanjutan. Temuan kajian ini mendapatkan
bahwa program ini dinilai baik pada dimensi teknis, sosial/ etis, dan
lingkungan. Tetapi program ini sangat kurang jika dinilai dari dimensi ekonomi
dan organisasi/ institusi. Kebijakan pemerintah pusat yang berbasiskan capaian
tahunan anggaran APBN cenderung menggunakan pendekatan top-down dan
menetapkan tujuan jangka pendek, dengan indikator
kapasitas pembangkit terpasang (installed capacity). Sedangkan komunitas
pedesaan sebagai pengguna dan stakeholder kunci program ini
cenderung diperlakukan sebagai penerima bantuan dan kurang dilibatkan secara
penuh. Akibatnya keberlanjutan
pembangkit yang terpasang menjadi tantangan besar di masa mendatang.
Kata
Kunci: Kelistrikan Pedesaan, Energi Terbarukan, Aspek Keberlanjutan,
Indonesia
Abstract
Indonesia
managed to increase its electrification ratio by 88.3% in 2015 to 99.63% in
2022. These achievements include pursuing electrification in disadvantaged,
frontier and outermost areas and transmigration, many of which are on remote
islands. Electricity business in Indonesia that involves only a small private
sector causes rural electricity to be borne by the government. One important
program is the application of rural electricity based on renewable energy (ET).
This task is assigned to the Directorate General of New Renewable Energy and
Energy Conservation (Dirjen EBTKE). The main objective of this program is to
increase the electrification ratio while increasing the portion of RE in the
national energy mix. This study aims to examine the extent to which this
program is implemented and obtain aspects of sustainability that are important
to facilitate the success of the program. This study limits it only to rural
electricity programs funded by the APBN DJ EBTKE with the types of PLTMH and
PLTS plants. The novelty of this study uses the latest data until 2022 and a
qualitative literature review to see the sustainability aspect. The success of
this program is evaluated using sustainability aspects. The findings of this
study found that this program was assessed both on technical, social / ethical,
and environmental dimensions. But this program is very lacking when assessed
from the economic and organizational / institutional dimensions. Central
government policies based on the annual achievement of the state budget tend to
use a top-down approach and set short-term goals, with indicators of installed
capacity. Meanwhile, rural communities as key users and stakeholders of this
program tend to be treated as beneficiaries and less fully involved. As a
result, the sustainability of installed plants will be a major challenge in the
future.
Keywords: Rural Electricity, Renewable Energy, Sustainability,
Indonesia
Pendahuluan
Indonesia memiliki tantangan besar untuk memenuhi kebutuhan listrik
warganya. Listrik adalah kunci ekonomi modern. Geografi Indonesia yang
berbentuk negara kepulauan menjadi keunikan tersendiri dan menciptakan
ketidakmerataan distribusi sumber daya energi. Beban listrik utama berada di
Jawa dan Sumatra yang memiliki penduduk terbesar. Kondisi ini juga
mengakibatkan tidak terintegrasinya transmisi listrik, yang menciptakan
kantong-kantong desa terpencil atau pulau terisolasi yang jauh dari transmisi
distribusi listrik. Pemilik wilayah usaha terbesar di Indonesia adalah PT. PLN
(persero) yang mendapatkan mandat public service obligation. Indikator
utama ketenagalistrikan adalah rasio elektrifikasi (RE), yaitu jumlah rumah
tangga (RT) terlistriki dibagi dengan jumlah seluruh RT yang ada di Indonesia
yang dihitung dengan satuan kepala keluarga (kk). Jumlah RT terlistriki PLN
pada 2015 was 56,605,260 kk, dan jumlah RT terlistriki oleh non-PLN
adalah 1,377,788 kk, dan jumlah total RT in Indonesia adalah 65,669,194 kk.
Jadi rasio elektrifikasi di Indonesia pada 2015 was 88.30% (Gatrik, 2016). Pada tahun 2022 jumlah RT berlistrik PLN menjadi 78.328.012 kk,
jumlah rumah tangga berlistrik non-PLN ditambah RT terlistriki LTSHE adalah
1.609.638 kk, dan jumlah total RT di Indonesia adalah 80.230.859, menjadikan
rasio elektrifikasinya 99,63% (DJ Gatrik, 2022).
Table 1. Rasio elektrifikasi di Indonesia 2012-2022 (DJ Gatrik, 2021, 2022)
Tahun |
Jumlah Rumah Tangga Nasional |
Jumlah RT Berlistrik |
Rasio Elektrifikasi (%) |
2012 |
62.992.725 |
48.229.930 |
76,56 |
2013 |
64.204.615 |
51.688.927 |
80,51 |
2014 |
64.835.092 |
54.690.431 |
84,35 |
2015 |
65.669.197 |
57.983.048 |
88,30 |
2016 |
66.489.409 |
60.612.009 |
91,16 |
2017 |
67.228.573 |
64.105.549 |
95,35 |
2018 |
68.082.153 |
66.921.705 |
98,30 |
2019 |
72.713.606 |
71.903.458 |
98,89 |
2020 |
75.078.681 |
74.481.755 |
99,20 |
2021 |
77.859.915 |
77.430.767 |
99,45 |
2022 |
80.230.859 |
79.937.650 |
99,63 |
Capaian tersebut luar biasa, tetapi harus diperhatikan porsi kecil yang
terlistriki oleh non-PLN. Ini yang menjadi tantangan besar, karena sebagian
besar bersifat off-grid. Biasanya terdiri dari populasi yang tersebar
dan konsumsi listrik per kapita yang rendah sehingga tidak menarik investasi
untuk menciptakan keuntungan finansial. Solusi lama yang diambil umumnya
menggunakan pembangkit listrik tenaga disel (PLTD). Sekarang dengan adanya
kebijakan ET, pemerintah menggunakan energi terbarukan (ET) sesuai potensi
daerah tersebut, umumnya dengan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terpusat
atau pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH), termasuk juga penggunaan
lampu tenaga surya hemat energi (LTSHE).
Tahun 2021 kapasitas terpasang pembangkit PT. PLN mencapai 43.562,51
MW, dengan porsi PLTS hanya 54,81 MW atau 0,13%. Di Indonesia juga ada
pembangkit non-PLN, yang terdiri dari EBTKE, Izin Operasi (IO), Independence
Power Producer (IPP) dan Power Producer Utility (PPU) yang memiliki wilayah
usaha sendiri. Pembangkit non-PLN tahun 2021 mencapai 30.970,3 MW. Dengan PLTS
mencapai 146,28 MW atau 0,47% dari total non-PLN (DJ Gatrik, 2021). Porsi ini
relatif sangat kecil jikaharus mengejar target bauran energi 23% di tahun 2025.
Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi
(EBTKE) adalah organisasi dalam Kementerian ESDM. Didirikan berdasarkan
Keputusan Presiden No 24 of 2010 tanggal 14 April 2010. Organisasi ini bertugas
untuk menyelenggarakan perumusan dan pelaksanakan kebijakan di bidang
pembinaan, pengendalian dan pengawasan kegiatan EBTKE. Salah satu program yang
dilaksanakan adalah pembangunan kelistrikan pedesaan berbasis ET di Indonesia.
Berdasarkan Undang-Undang No 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional, dinyatakan bahwa perencanaan pembangunan nasional terdiri
dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Pembangunan Tahunan.
Gambar 1. Struktur Kebijakan
program kelistrikan pedesaan oleh EBTKE 2015-2019 (KESDM, 2015).
Tahun 2015-2019 terdapat 2 indikator yaitu 1) jumlah rumah tangga (kk)
yang terlistriki oleh pembangkit EBT dan 2) jumlah kapasitas terpasang
pembangkit berbasis ET (kW). Tetapi sejak 2019 indikator disederhanakan menjadi
“kapasitas terpasang pembangkit EBT”, kemudian tahun 2021 indikator menjadi
“porsi EBT dalam bauran energi nasional”, kapasitas ini menggabungkan seluruh
penambahan pembangkit EBT baik yang dibangun oleh APBN, DAK, PT. PLN, IO, dan
IPP (DJ GATRIK, 2021).
Indikator tersebut di atas cukup valid untuk menunjukkan output kinerja
pemerintah pusat yang menunjukkan kapabilitas untuk membangun pembangkit
terpasang (installed capacities) dan anggaran yang diserap untuk itu.
Tetapi indikator tersebut tidak cukup mampu menunjukkan dampak yang seharusnya
dirasakan oleh komunitas sebagai penerima bantuan program. Di kasus ini terlihat
adanya “false alarm”, yaitu gap antara pembangkit terpasang dengan
listrik yang dibangkitkan atau dikonsumsi oleh komunitas. Karena indikator
nyata bagi komunitas adalah listrik yang dikonsumsi dan digunakan untuk
kepentingan komunitas. Hal ini juga menunjukkan masih terdapat kekurangan dalam
monitoring secara sistematis dan evaluasi untuk menilai kesuksesan program
secara keseluruhan.
Pemerintah Indonesia melaksanakan banyak proyek untuk melistriki daerah
tertinggal, terdepan, terluar, dan transmigrasi (4T) berbasiskan ET.
Kelistrikan berbasis ET adalah solusi yang sudah jamak dilakukan untuk
melistriki desa terpencil atau pulau terisolasi (Lillo et al., 2015) (Anyi et al., 2010) (Blum et al., 2013). Pertama, karena ketersediaan sumber ET khususnya surya atau air yang
selalu eksis di lokasi tersebut, sehingga komunitas tersebut dapat meyediakan
suplai listrik sesuai kebutuhan mereka. Kedua, situasi off-grid membuat sulit
bagi PT PLN secara finansial atau perusahaan swasta untuk membuat pembangkit
atau mengkoneksikan dengan grid terdekat. Solusi lain dengan PLTD pada saat ini
terbukti cukup mahal karena biaya transportasi bahan bakar minyak.
DJ EBTKE kemudian melaksanakan proyek kelistrikan pedesaan tersebut
dibiayai dengan APBN. Proyek ini dilaksanakan secara tahunan, menggunakan
indikator 1) jumlah lokasi pembangunan infrastruktur PLTMH/ PLTS, dan 2)
kapasitas terpasang PLTMH / PLTS. Sedangkan indicator kelistrikan dicantumkan
di Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan yaitu “jumlah rumah tangga berlistrik
(kk), yang diakumulasi secara tahunan sehingga meningkatkan rasio
elektrifikasi. Menjadi penting untuk memahami bagaimana proyek tersebut diimpelentasikan
oleh EBTKE. Apakah manfaat betul dirasakan oleh pihak penerima program yaitu
masyarakat pedesaan terpencil.
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab tiga pertanyaan penelitian yang
muncul dari rumusan masalah. Pertama, penelitian akan mendeskripsikan dan
menganalisis pelaksanaan program kelistrikan pedesaan berbasis energi
terbarukan (ET) yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) pemerintah pusat. Kedua, penelitian akan mengidentifikasi alat evaluasi
yang paling tepat untuk mengevaluasi program tersebut. Terakhir, penelitian
akan menilai hasil capaian program kelistrikan pedesaan berbasis ET berdasarkan
alat evaluasi yang telah ditetapkan.
Metode
Metodologi penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Data
diambil dari wawancara sejumlah narasumber yang terlibat langsung dengan proyek
tersebut. Pemilihan metode ini karena untuk mencari konsep-konsep atau
pengertian yang sesuai dalam proyek tersebut juga karena keunikan proyek ini
membutuhkan pemahaman kualitatif untuk mendapatkan aspek-aspek
keberlanjutannya. Penelitian kualitatif dimaksudkan untuk mengeksplor masalah
sosial atau humaniora. Salah satu keunggulan metode ini adalah kerangka kerja
yang flesibel dan sesuai kondisi lapangan. Proses ini meliputi wawancara dengan
narasumber terpilih, menganalisis hasil wawancara, mengumpulkan data, dan
menganalisis secara induktif untuk setiap tema terpilih dan menjelaskan makna
data yang diperoleh, dan akhirnya penulis mencoba mengurai masalah dengan
kerangka tertentu (Creswell, 2010).
Narasumber
kunci dipilih dari para pihak yang terlibat proyek secara langsung. Terdiri
dari pegawai pemerintah, Lembaga swadaya masyarakat (LSM), para ekspert,
sukarelawan patriot energi, dan para operator proyek yang dilatih secara
khusus.
Table 2. Narasumber kunci
dan keterlibatannya.
Type of group |
Age |
Expertise and their experience |
Number |
Pegawai Pemerintah |
30-45 |
Pegawai DJ EBTKE |
3 |
Perencana program dan
evaluasi |
|||
Pembuat kebijakan |
|||
Peneliti/ Ahli |
40-60 |
Ahli di bidang
kelistrikan pedesaan berbasis ET |
2 |
LSM yang bergerak di
bidang listrik pedesaan ET |
|||
Anggota Patriot
Energi |
22-30 |
Dipilih dari fresh graduate dari universitas |
10 |
Dilatih khusus dalam
bidang teknologi ET dan pemberdayaan komunitas |
|||
|
|
Berpengalaman bekerja di komunitas lokasi proyek ET di daerah 4T selama
minimum 6 bulan di berbagai daerah di Indonesia (Sumatra Barat, Kalimantan
Utara, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua and Papua Barat) |
|
Operator |
25-50 |
Operator di lapangan,
yang dilatih PPSDM KEBTKE |
10 |
Hasil dan Pembahasan
Program
listrik pedesaan berbasis ET dilaksanakan sejak 2012 sampai sekarang, 2022. Proyek ini berhasil membangun sejumlah besar
infrastruktur ET di berbagai daerah di Indonesia (EBTKE, 2015) (EBTKE, 2016). Tulisan ini fokus pada PLTS terpusat dan PLTMH. Berikut
hasil pembangunan infrastruktur fisik ET dengan dana APBN mulai 2011 sampai 2022.
Tabel
3. Capaian
Program (EBTKE, 2016, 2017, 2018, 2019, 2020, 2021, 2022).
Sejak 2018 tidak ada PLTS
Terpusat dibangun lagi dengan APBN DJ EBTKE, hanya dari dana DAK, IPP, atau IO (DJ EBTKE, 2018). Juga mulai 2019 lebih banyak dilaksanakan program PLTS
Atap (EBTKE, 2019).
Para
pihak adalah individu, grup, atau organisasi yang berkontribusi atau mendapatkan
dampak, atau dianggap mendapatkan manfaat oleh adanya pengambilan keputusan,
aktivitas, atau dampak dari suatu proyek. Pada bagian ini diidentifikasi para pihak yang
terlibat dan dikaji dokumen/ regulasi terkait yang memberikan informasi
keterlibatan, kepentingan, keterkaitan satu sama lain, pengaruh dan potensi
dampak dari kesuksesan program yang dijalankan. Analisis para pihak ini sangat penting untuk
program kelistrikan pedesaan ET untuk mengetahui alur program secara regulasi.
Tabel 5 menampilkan para pihak yang secara langsung terlibat dalam program dan
tanggungjawab serta kepentingannya. Output final dari program adalah total output
dari masing-masing para pihak. DJ EBTKE, PLN dan kontraktor memiliki output
yang lebih konkrit karena batasan tugasnya. Tetapi Pemerintah Daerah (PD)
memiliki output yang abstak karena tujuannya lebih bersifat jangka panjang.
Tabel 4. Para pihak dalam program
Para Pihak |
Kepentingan & Tanggung jawab |
Output |
|
DG NREEC |
Implementasi visi pemerintah pusat (politik) |
Aset
diserahkan ke Pemerintah Daerah |
|
Melaksanakan kebijakan/ program pemerintah bidang ET, dan akses
lisktrik yang lebih baik |
|||
Mengumpulkan dan memverifikasi proposal
proyek kelistrikan pedesaan ET |
|||
Mendetailkan FS DED (Feasibility
Study dan Deailed Engineering Design) |
|||
Perencanaan program dan penganggaran
(APBN) |
|||
Mengeksekusi proyek infrastruktur ET (secara
anggaran, kualitas, dan waktu) |
|||
Menyerahterimakan aset ET terbangun ke PD |
|||
Pemerintah Daerah (Provinsi) |
Mendapatkan bantuan untuk melistriki
daerah 4T |
Pembangunan
daerah dan pedesaan |
|
Melaksanakan rencana energi daerah,
termasuk berkoordinasi terkait kelistrikan dengan unit cabang PLN |
|||
Melaksanakan survei dan membuat proposal
proyek |
|||
Membuat preFS DED |
|||
Melaksanakan penguatan/ pengembangan
masyarakat |
|||
Harus memiliki pemahaman lebih mendalam
atas kebutuhan local |
|||
Membangun organisasi / institusi yang
akan mengelola pembangkit ET di desa setempat |
|||
Melaksanakan sosialisasi dan pelatihan
komunitas lokal |
|||
Menyiapkan anggaran untuk pemeliharaan
dan penggantian spare parts |
|||
PD menjadi pemilik asset pembangkit ET
(non tanah) |
|||
Monitoring dan melaporkan kondisi pembangkit ET ke
pemerintah pusat (tahunan) |
|||
PLN |
BUMN juga pelaksana layanan public (PSO)
untuk kelistrikan di Indonesia |
Laba dari
jasa listrik |
|
Perusahaan yang berorientasi keuntungan |
|||
Menyinkronkan rencana penyediaan tenaga
listrik, pembangkitan, dan perluasan jaringan distribusi listrik |
|||
Komunitas Desa |
Menerima dampak langsung proyek, listrik
untuk warga (user) |
Listrik
untuk kebutuhan |
|
Mendapat kewajiban untuk operasional
harian dan pemeliharaan ringan (pengelolaan dan operator) |
|||
Berpartisipasi dalam pembiayaan
operasional (iuran bulanan) |
|||
Mendapat manfaat tidak langsung
(teknologi, sosial, ekonomi) |
|||
Pemilik tanah lokasi infrastruktur ET |
|||
Kontraktor proyek |
Desain FS DED (kontraktor perencana) |
Profit |
|
Pembangunan infrastuktur pembangkit ET
di lokasi |
|||
Bertangungjawab dan akuntabel langsung
dengan pelaksana proyek DJ EBTKE |
|||
Dari
regulasi pelaksanaan program DJ EBTKE dan hasil wawancara dapat diketahui peran
semua para pihak. Peran
dan keterlibatan terbesar adalah pada pelaksana program DJ EBTKE yang memiliki
inisiatif dan anggaran. Kontraktor memiliki kepentingan yang medium karena
mereka hanya terlibat dalam pembangunan saja sampai serah terima pekerjaan dan
selesainya masa garansi. PLN memiliki keterkaitan tidak langsung, dan
keterlibatannya rendah hanya sebatas memastikan bahwa di area yang akan
dibangun ET dalam 3 sampai 5 tahun tidak akan masuk ke dalam jangkauan
pengembangan distribusi listrik PLN. PLN tidak berhubungan langsung dengan DJ
EBTKE pada program ini, tetapi lebih berhubungan dengan PD terkait rencana
kelistrikan daerah. PLN lebih terlibat dalam pengembangan ET yang bersifat on
grid atau terinterkoneksi dengan jaringan mereka.
Keterlibatan
PD dan komunitas lokal juga relatif rendah padahal justru kepentingannya yang
terbesar sebagai penerima manfaat, yaitu listrik untuk pembangunan daerahnya.
PD terlibat tidak secara berkesinambungan. PD terlibat di awal program,
melengkapi proposal dan dokumen untuk pengajuan pembangunan pembangkit ET ke DJ
EBTKE. Sering proposal tidak lengkap atau cukup memadai sehingga tim FS DED DJ
EBTKE harus mendalami lagi. PD akan terlibat lagi setelah serah terima aset (1
tahun setelah masa garansi), dan menjadi pemilik aset. Hal ini karena
bergantung pada masing-masing PD, terkait dengan sumber daya manusia dan
anggaran, sehingga kemampuan mengelola asset juga bergantung pada sumber daya
PD.
Sedangkan
pihak komunitas local dalam proyek ini lebih diperlakukan sebagai penerima
bantuan, baik oleh PD maupun pemerintah pusat. Sebagian besar komunitas local
memiliki sumber daya yang rendah. Seharusnya sebagai penerima kepentingan
terbesar, komunitas local harus terlibat paling banyak, dari awal perencanaan
sampai pengelolaan.
Analisis
para pihak program ini sangat kurang. Output DJ EBTKE adalah membangun
infrastruktur tanpa mendalami lebih jauh kepentingan PD dan komunitas local.
Dalam melaksanakan proyek memang ada komunikasi dengan PD atau PLN tetapi hanya
untuk proyek fisiknya. Pengembangan kapasitas komunitas local juga sangat
rendah baik oleh PD maupun DJ EBTKE. Monitoring juga sangat rendah, sehingga
beberapa kali dibuat program patriot energi untuk menjembatani masalah ini.
Kisah sukses kelistrikan desa ET di Bangladesh adalah karena pelaksana proyek melakukan
analisis para pihak yang komprehensif sebelum implementasi dan dilaksanakan
pengembangan masyarakat yang secara terus menerus dimonitor (Biswas et al., 2004). Dan
harus diperhatikan bahwa peran para pihak bergantung pada skema pelaksanaan
program (Murni et al., 2012).
Kasus
ini menjelaskan kompleksitas implementasi ET untuk kelistrikan pedesaan oleh
Pemerintah Indonesia Program ini memiliki tujuan multidimensi dan melibatkan
banyak para pihak, khususnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Karakter
program di Indonesia ini sudah ditelaah oleh Masquart. Ia menyimpulkan lemahnya
kapasitas lokal, lemahnya pemahaman tujuan nasional di level lokal, dan
sebaliknya kurangnya pemahaman kepentingan lokal oleh pemerintah pusat, dan
kurangnya konsultasi pada level perumusan kebijakan, menjadi hambatan terbesar
dalam implementasi program Kebijakan yang baik harus didukung oleh pendekatan
bottom up dengan membuat eksperimen lokal (Haramaini, 2023).
Mata
rantai terlemah program ini, disadari oleh semua pihak adalah kelemahan
komunitas lokal dalam membangun institusi untuk mengelola pembangkit ET.
Manajemen yang lemah menjadi penyebab langsung diterlantarkannya infrastruktur
ET. Pertama, komunitas menggantungkan pada kontribusi tarif bulanan yang jelas
tidak mampu untuk membiayai opersional dan pemeliharaan secara optimal. Kedua,
karena rendahnya rasa memiliki, jika pembangkit ET mengalami kendala, komunitas
akan melempar tanggungjawab ke pihak luar, karena infarstruktur pembangkit tersebut
bukan milik komunitas. Sering terlewatkannya kepentingan user
komunitas dalam program ET yang bersifat top-down telah
disimpulkan oleh Chaurey berdasar
studi di India (Chaurey & Kandpal,
2010).
Pada
awal pelaksanaan program dilaksanakan menggunakan dasar regulasi Peraturan
Menteri ESDM No 10 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Kegiatan Fisik Pemanfaatan
Energi Baru dan Energi Terbarukan (Suri & Komalasari, 2019). Regulasi ini lebih mengatur ke aspek proses
pembangunan infrastruktur ET, dimulai dari proposal oleh PD dan diakhiri
dengan transfer asset. Konsep alur kelistrikan pedesaan berbasis ET tidak
kelihatan jelas. Jadi regulasi ini hanya melihat dari sisi DJ EBTKE sebagai
pemilik program. Kepentingan
para pihak dan tanggungjawabnya masing-masing tidak dirinci secara mendalam.
Jadi bisa disimpulkan regulasi ini hanya terbatas pada pembangunan
infrastruktur dan tidak meliputi keseluruan program kelistrikan pedesaan ET
untuk menjamin keberlanjutannya. Secara umum alur pelaksanaan program bisa
dilihat di gambar 4 di bawah ini.
Gambar
2. Alur pelaksanaan program oleh DJ
EBTKE (Haramaini, 2023).
Gambar 5 menunjukkan tahapan actual proyek berdasar
urutan waktu. Dimulai dari survei pendahuluan dan persiapan awal FS DED oleh PD
dan diakhiri dengan pengoperasian dan pemeliharaan (O&M) unit pembangkit. Harus
diperhatikan keterlibatan komunitas saat pelaksanaan proyek, termasuk pendirian
institusi. Termasuk
siapa pelaksana pengoperasian dan pemeliharaan setelah pembangkit beroperasi.
Gambar
3. Tahapan aktual program di
lapangan (KESDM 2012, (Haramaini, 2023).
Hasil
keberlanjutan program berdasarkan hasil wawancara dan studi literatur dokumen
pendukung adalah sesuai table berikut, sesuai dengan indikator dari tabel 2.
Tabel 5. Hasil
kajian aspek keberlanjutan program
Dimensi
Keberlanjutan |
Indikator |
Hasil
(Kualitatif) |
Dimensi Teknis |
Efisiensi |
Tidak ada
data, instalasi sesuai SNI |
Ketaatan
standar nasional (SNI) |
Pada
umumnya cukup baik, sesuai SNI |
|
Rugi-rugi
teknis |
Tidak ada
data |
|
Kemampuan
tersambung grid di masa depan |
Hanya
sejumlah pembangkit dengan konfigurasi AC yang bisa disambung on-grid |
|
Ketersediaan
infrastruktur pendukung |
Tidak
ada, sebagian besar di daerah 4T |
|
Pelayanan
operasi harian |
Ada,
dengan SDM lokal dan kompetensi dasar |
|
Ketersediaan
pelayanan (listrik) |
Umumnya
tidak ada |
|
Dimensi Ekonomi |
Keuntungan |
Tidak berorientasi
keuntungan |
Biaya
operasi dan pemeliharaan tercukupi |
Komunitas
hanya menanggung gaji bulanan operator. Biaya pemeliharaan dibebankan ke PD |
|
Biaya
modal dan instalasi |
Cukup |
|
Kelayakan
tarif |
Tarif
sebagaian besar berdasar iuran semampu warga, tanpa analisis kelayakan. |
|
Bagian
listrik yang dikonsumsi bisnis |
Tidak ada
data alokasi bisnis, listrik per KK 450 watt |
|
Bagian
listrik untuk konsumsi RT yang bermanfaat untuk aktivitas menciptakan
penghasilan |
Tidak ada
data |
|
Pengembangan
bisnis |
Tidak
dirancang untuk pengembangan bisnis |
|
Dimensi Sosial/Etis |
Pusat
kesehatan dan sekolah yang terlistriki |
Ada.
Disediakan alokasi untuk fasilitas umum: sekolah, klinik, balai desa, masjid/
gereja |
Jumlah
penerangan jalan di area |
Disediakan
sebagian daya untuk penerangan jalan |
|
Jumlah
tempat public atau pelayanan yang terhubung telekomunikasi/internet |
Pada awal
program belum disediakan, selanjutnya disediakan akses internet untuk
kepentingan operator/ rumah pembangkit
|
|
Jumlah
populasi yang mendapat listrik |
Sering
daya listrik tidak memenuhi untuk semua RT |
|
|
||
Distribusi
RT terlistriki berdasar besaran pendapatan |
Tidak ada |
|
Dimensi Lingkungan |
Jumlah RT
dimana listrik menggantikan sumber energi lain untuk pencahayaan |
Program
dirancang untuk melistriki RT |
Jumlah RT
dimana listrik menggantikan sumber energi lain untuk memasak |
Daya
listrik tidak dirancang untuk kebutuhan memasak |
|
Dampak
nyata lingkungan lokal yang teridentifikasi |
Tidak ada
data |
|
Dimensi Organisasi/ Institusi |
Jumlah
staf dan manajemen dengan kualifikasi Pendidikan/ pelatihan yang tepat |
Kualitas
SDM sangat beragam sesuai dengan ketersediaan di komunitas |
Tingkat
penggantian staf dalam organisasi |
Tidak ada
data. Program masih tahap awal |
|
Lama
(pembangkit listrik) beroperasi dalam tahun |
Pembangkit
beroperasi sejak serah terima ke DJ EBTKE. Tidak ada data mengenai keandalan
dan masa operasi sampai status terakhir |
|
Jumlah
nilai losses |
Data ada
di lokal pembangkit |
|
Tingkat
kepuasan atas layanan energi |
Tidak ada
survei |
|
Audit
keuangan laporan tahunan |
Tidak ada
data |
|
Monitoring & evaluasi oleh
pemerintah tahunan |
Monitoring
dilakukan oleh PD |
|
Manajemen
model untuk meningkatkan organisasi desa dan keahlian (operator) |
Belum
terdapat manajemen model tiap desa, hanya mengandalkan iuran dan keuangan PD |
(Urmee & Harries,
2009) (Urmee et al., 2009) pada
kajian implementasi program kelistrikan berbasis PLTS di Asia Asia Pacific menyimpulkan
bahwa mayoritas program
memiliki tujuan level tinggi (nasional) dan tidak menunjukkan adanya kerengka
kerja yang jelas dan terstruktur. Obyektif program dibuat dan disusun bukan untuk
kepentingan pengguna (user) tetapi untuk kepentingan administrasi dari
organisasi pelaksana proyek. Tujuan utamanya umumnya untuk menyediakan listrik
di daerah off grid (Urmee & Harries, 2011).
Sehingga sebagian besar program kelistrikan pedesaan berbasis ET hanya sukses
secara jangka pendek (short-term), sedangkan tujuan jangka panjangnya
menghadapi tantangan besar (Urmee & Md, 2016).
Diskusi
berikut dibagi dalam tiap dimensi keberlanjutan. Masing-masing dimensi
keberlanjutan sesuai dengan indikator yang ada. Dan diakhir diberikan
kesimpulan keberlanjutan untuk tiap dimensinya.
Dimensi
teknis terkait dengan aspek teknis pembangkit, meliputi komponen, instalasi,
sampai keandalan pembangkit secara teknisnya. Menurut (Ilskog, 2008)
indikator teknis meliputi: efisiensi, standar nasional (SNI), rugi-rugi teknis,
kemampuan tersambung grid di masa depan, ketersediaan infrastruktur pendukung,
pelayanan operasi harian, ketersediaan listrik. Semua indikator tadi sudah
sesuai dengan indikator untuk pembangkit listrik pada umumnya. Efisiensi dan
rugi-rugi teknis bisa dipastikan cukup baik dari sisi rancangan, karena
pembangkit dirancang oleh konsultan ahli. Juga penerapan SNI khususnya untuk
komponen dalam negeri bisa dipastikan sesuai karena dalam proses pengadaan
selalu menekankan kesesuaian dengan SNI. Problem minor adalah di masalah
instalasi di lapangan, karena pengetahuan dasar instalasi yang sesuai SNI
sering tidak dimiliki oleh pekerja lapangan.
Kemampuan
tersambung grid di masa depan menjadi indikator penting, sesuai hasil wawancara
dengan operator, sering ada desa yang cukup dekat dengan grid PLN, sehingga
dalam beberapa tahun kemungkinan warga bisa terlistriki dari distribusi PLN.
Secara teknis PLTMH lebih mudah tersambung dengan grid karena listriknya yang
stabil. Tetapi khusus PLTS harus disiapkan Inverter jenis On-Grid atau hybrid
agar bisa sinkron dengan grid PLN. Sayang umumnya PLTS yang awalnya hanya
dirancang untuk off grid sehingga tidak memperhitungkan koneksi dengan grid
PLN.
Ketersediaan
infrastruktur pendukung hampir tidak ada. Lokasi pembangkit bisa dipastikan
cukup jauh dari ibukota propinsi, sering membutuhkan perjalanan lebih dari
sehari. Seluruh komponen dan spare parts pada program dikirim oleh kontraktor
yang umumnya dari Pulau Jawa. Sehingga kerusakan komponen di masa depan bisa
dipastikan akan menghambat ketersediaan listrik selama masa tunggu penggantian,
jika tidak ada manajemen pemeliharaan.
Pelayanan
operasi harian bergantung pada kapasitas operator harian, yang dilatih oleh
kontraktor selama beberapa hari, saat proyek infrastruktur berlangsung. SDM
yang bersedia harus warga komunitas lokal, sering dengan mengabaikan dasar
pendidikan dan kompetensi. Pengoperasian PLTS membutuhkan kompetensi listrik
yang cukup memadai, karena jauhnya pembangkit dari tenaga ahli yang kompeten,
maka operator lokal harus memiliki ketrampilan untuk menganalisis masalah. Hal
ini disadari belakangan, ketika beberapa PLTS tidak bisa beroperasi dan
operator lokal tidak tahu apa yang harus dilakukan. Akhirnya dibuat program
bantuan Patriot Energi dan pelatihan khusus PLTS bagi masyarakat lokal.
Ketersediaan
layanan listrik bergantung pada rancangan awal pembangkit. Sering pertumbuhan
masyarakat tidak diperhitungkan dalam perancangan, sehingga tidak ada cadangan
energi untuk KK yang baru. Juga beberapa kasus, karena pembangunan berbasis
ketersediaan anggaran, ada KK yang tidak dapat sambungan listrik. Listrik yang
diberikan pun dibatasi hanya sampai 450 watt/ KK, hanya cukup untuk penerangan
dan aktivitas sosial. Dalam kasus PLTS off grid yang menggunakan
penyimpan energi baterai, perlu diperhatikan kapasitas baterai untuk mengatasi
hari tanpa sinar matahari, misal jika di pulau ada badai. Ketika kapasitas
baterai menipis, biasanya operator memutuskan untuk memadamkan aliran listrik
ke konsumen, sehingga listrik tidak bisa disediakan penuh 24 jam.
Dimensi
ekonomi terdiri atas keuntungan, biaya operasi dan pemeliharaan, biaya modal
dan instalasi, kelayakan tarif. Kemudian bagian listrik yang digunakan untuk
bisnis, listrik RT yang digunakan untuk tambahan penghasilan serta pengembangan
bisnis. Dari dimensi ekonomi tersebut hanya biaya modal dan instalasi yang bisa
dipastikan karena program ini merupakaan bantuan dengan anggaran dari
pemerintah pusat. Setelah serah terima semua harus bergantung ke PD dan
komunitas lokal. Indikator ekonomi lain tidak diperhitungkan pada rancangan
awal program. Biaya pengoperasian dan pemeliharaan serta keuntungan jelas tidak
diperhitungkan dan terbukti membuat pembangkit tidak berkelanjutan. Kerusakan
komponen bisa menunggu berbulan-bulan untuk mendapatkan anggaran dari PD yang
bersifat tahunan.
Indikator
tarif menurut para pelaksana lapangan ditentukan berdasarkan musyawarah warga,
nilainya sangat bervariasi untuk setiap daerahnya, antara 10.000 sampai dengan
50.000 rupiah per bulan. Tujuan dari tarif ini hanya untuk jasa dan gaji
operator lokal. Sebagian besar warga tidak keberatan dengan tarif ini karena
mereka biasa membayar lebih banyak untuk BBM. Artinya kesediaan membayar
komunitas lokal di Indonesia cukup baik.
Pengembangan
bisnis tidak menjadi bagian dari program. Bagian dari listrik RT yang digunakan
untuk aktivitas menambah penghasilan juga sangat terbatas mengingat alokasi
daya yang hanya 450 watt. Bisa disimpulkan program ini tidak memperhitungkan
aspek ekonomi secara mendalam.
Patut
dijelaskan bahwa tarif listrik tidak ditentukan berdasar analisis finansial
pembangkit. Dalam kasus PLTS operasi dan pemeliharaan adalah biaya terbesar
setelah pembangunan infrastruktur. Dalam program ini biaya operasi dan
pemeliharaan dibebankan ke PD dengan alokasi anggaran tahunan APBN/APBD.
Mungkin
ini adalah capaian terbaik dari program ini. Dimensi sosial terdiri atas:
jumlah penerangan jalan, jumlah tempat publik terlistriki, jumlah tempat public
yang terhubung telekomunikasi dan internet, jumlah RT terlistriki, dan
distribusi RT terlistriki berdasar besaran pendapatan. Hampir semua indikator
sosial terpenuhi, hanya distribusi RT berdasar besaran pendapatan yang tidak
ada data, karena memang program ini tidak membidik aspek ekonomi. Berdasar
wawancara dengan relawan Patriot Energi dan operator lokal, keseluruhan
masyarakat merasa senang karena mereka mendapatkan listrik, sehingga aktivitas
sosial bisa berlanjut ke malam hari. Program ini juga mengalokasikan listrik
secara khusus untuk fasilitas umum yang ada di desa setempat, seperti balai
desa, sekolah dasar, puskesmas, masjid dan gereja. Keterkaitan dengan internet
tidak diperhitungkan di awal program, kemudian internet disediakan di rumah
pembangkit untuk kebutuhan akses operasional pembangkit, agar pembangkit bisa
dimonitor secara terpusat. Telekomunikasi selanjutnya bisa tersedia sebagai
hasil kerjasama dengan kementerian/ Lembaga terkait lainnya.
Dimensi
lingkungan terdiri dari jumlah RT terlistriki yang menggantikan sumber energi
lain untuk pencahayaan, jumlah RT terlistriki yang menggantikan sumber energi
lain untuk memasak, serta dampak lingkungan lain yang teridentifikasi.
Indikator pertama terpenuhi, karena tujuan program ini memang secara teknis
untuk memberikan kebutuhan listrik dasar penerangan. Pada awalnya masyarakat
sama sekali tidak tersedia akses listrik, awalnya mereka menggunakan minyak
untuk penerangan. Dalam beberapa kasus di beberapa desa sudah tersedia PLTD
yang diselenggarakan secara swadaya dengan iuran komunitas lokal yang
ketersediaan listriknya juga terbatas hanya pada jam-jam tertentu.
Dimensi
ini pada awalnya masuk ke dimensi sosial, tetapi karena kepentingannya yang
sangat mendasar untuk program kelistrikan pedesaan off grid berbasis ET maka
dimensi organisasi/ institusi ini dijadikan dimensi tersendiri. Dimensi ini
terdiri dari jumlah staf/ manajemen dengan kualifikasi pendidikan/ pelatihan
yang tepat, tingkat penggantian staf dalam organisasi, lama pembangkit
beroperasi (tahun), jumlah nilai rugi-rugi (losses).
Kompetensi
staf/ operator cukup penting, karena harus mengelola pembangkit listrik, baik
PLTS maupun PLTMH. Untuk PLTS operator membutuhkan skill cukup terkait dengan
kelistrikan dan elektronik. Tingkat penggantian staff menunjukkan kapasitas
manajemen untuk mengelola pembangkit di lapangan. Dalam kasus ini sangat jarang
terjadi, karena umumnya operator berasal dari desa setempat. Lama pembangkit
beroperasi adalah indikator penting menunjukkan kemampuan mengelola pembangkit
sehingga bisa berkelanjutan. Indikator nilai rugi-rugi juga menunjukkan
kemampuan teknis pengelola untuk menangani pembangkit listrik.
Dari
seluruh indikator institusi hanya kualifikasi staf/ operator yang disadari
sejak awal cukup penting. Sehingga dibuatlah program-program pelatihan yang
bertujuan untuk meningkatkan ketrampilan mengoperasikan dan memelihara
pembangkit, setidaknya di level dasar. Tetapi secara keseluruhan dimensi
organisasi ini membutuhkan manajemen institusi, suatu hal baru yang harus
diperkenalkan dan dibangun di komunitas lokal. Dengan adanya institusi maka
indikator institus lainnya bisa diselenggarakan. Tetapi justru keberadaan
institusi ini yang belum tercakup dalam proyek, sehingga dimensi ini dinilai
sangat kurang.
Pada
awal program kewajiban memberikan pelatihan dibebankan kepada kontraktor
pelaksana proyek. Kontraktor memberi kesempatan kepada sejumlah warga lokal
untuk ikut menjadi pekerja dalam proyek. Kemudian sambil bekerja mereka dilatih
menjadi operator, yang diharapkan mampu mengoperasikan dan memelihara
pembangkit setelah masa proyek selesai. Pelatihan ini dimasukkan ke dalam
kontrak kerja.
Jadi
tidak ada pemberdayaan komunitas dan institusi secara khusus dalam program
tersebut. Komunitas, hanya sebagian warganya, hanya mendapat kesempatan sebagai
pekerja gajian dalam proyek. Dari sudut pandang komunitas hal ini
menciptakan rendahnya rasa memiliki, karena mereka tidak memiliki daya yang
rendah dalam partisipasi (Urmee & Md, 2016). Karena itu sangat sulit mengharapkan komunitas
mau memelihara pembangkit yang telah terbangun secara berkelanjutan.
Manajemen
institusi sangat penting untuk program kelistrikan pedesaan berbasis ET. Manajemen
institusi ini, disebut saja institusi, adalah institusi baik memiliki aspek
legal atau tidak, yang bertanggungjawab mengelola pembangkit ET. Di
antara tugasnya adalah mengoperasikan, memelihara, dan memastikan berlangsungan
pembangkit ET tersebut. Institusi ini juga mengelola keuangan, menetapkan
tarif/ iuran, mengumpulkan iuran dari komunitas, dan menggunakan dana tersebut
untuk pengoperasian dan membuat laporan keuangan. Manajemen ini seharusnya
berasal dari komunitas lokal pedesaan tersebut. Institusi ini juga harus
memiliki koordinasi dengan kantor pemerintah terkait, misal pemerintah daerah
sebagai pemilik aset.
Pada indikator
keberlanjutan oleh (Ilskog, 2008) terlihat bahwa keberlanjutan sebagaian besar ditentukan
oleh berapa lama institusi mampu mengelola pembangkit tersebut (tahun), yang
mengindikasikan pentingnya kekuatan manajemen institusi. Kekuatan
institusi ini adalah prasyarat keberlanjutan pengoperasian pembangkit ET
pedesaan. (Biswas et al., 2004) (Budiarto et al., 2013) (Chaurey & Kandpal,
2010) (Fajarsari et al., 2015) (García & Bartolomé,
2010) (Hong & Abe, 2012) (Ilskog & Kjellström,
2008) (Urmee & Harries,
2011).
Tidak ada
penjelasan formal mengapa program tidak mengakomodasi pembangunan institusi
secara berkelanjutan. Dari
wawancara, DJ EBTKE mendelegasikan pemberdayaan komunitas ke PD, untuk berbagi
peran. Diharapkan PD turun langsung ke lapangan dan menelaah kondisi
sosial-ekonomi komunitas lokal. Hal ini juga hanya bisa berlangsung, bergantung
penuh dengan kapabilitas dan sumber daya PD.
Sebenarnya
kepentingan manajemen institusi disadari oleh semua pihak. Tetapi tidak ada
aspek legal formal yang disepakati semua pihak. Kemungkinan karena membutuhkan
kinerja yang melampau tahun anggaran sehingga lebih sulit dilaksanakan. DJ
EBTKE sebagai pelaksana program hanya mensyaratkan adanya pengelola tanpa
melihat bagaimana bentuk dan aspek legalnya. Entitas institusi berbadan hokum
akan memudahkan dan memiliki tanggungjawab yang jelas serta mampu bekerjasama
lebih baik dengan Lembaga pemerintah, misal dalam hal bantuan anggaran untuk
operasional dan pemeliharaan. Sejumlah narasumber dan ahli juga menekankan
aspek profesionalitas dan hokum institusi tersebut. Aspek ini memperkuat
institusi dalam rangka pengelolaan pembangkit ET untuk komunitas terpencil (Biswas et al., 2004) (Urmee & Harries,
2009).
Program
kelistrikan pedesaan berbasis ET sebagai sebuah kebijakan harus dibangun
sehingga bisa menjembatani kebutuhan komunitas target. Kegagalan menjembatani
isu sosial dan budaya akan menghabiskan sumber daya dan waktu. Urmee pada 2016 menganalisis isu sosial dan budaya ini pada
program kelistrikan pedesaan off grid berbasis ET. Kunci sukses impelementasi
program tersebut adalah memahami perilaku dan kebutuhan energi komunitas, dan
harus melibatkan mereka pada tahap perencanaan dan desain program. Hal ini
sangat kritikal untuk mencapai keberlanjutan jangka panjang. Dikatakan
semakin besar keterlibatan komunitas, semakin besar daya komunitas terlibat.
Keterlibatan ini berpengaruh pada persepsi masyarakat, termasuk rasa memiliki
fasilitas yang sudah dibangun.
(Urmee & Md, 2016) juga
membangun framework untuk
mengintegrasikan usaha-usaha yang harus dilakukan pada program dalam rangka
mengatasi masalah-masalah sosial budaya. Framework tersebut dibangun berdasarkan teori difusi
inovasi (Urmee & Md, 2016). Framework tersebut
dapat menjadi rujukan untuk pelaksana program dan pembuat kebijakan untuk menciptakan tahapan
program pembangunan dan implementasinya untuk memastikan keberlanjutan program
kelistrikan pedesaan ET.
Secara sosial budaya, kemauan komunitas lokal untuk
menerima pembangkit ET harus ditindaklanjuti dengan pemberdayaan komunitas agar
mampu mengoperasikan dan memelihara pembangkit ET tersebut. Kasus
Indonesia ini menunjukkan tipikal inisiatif top-down, setidaknya harus disertai
diseminasi efektif terhadap komunitas lokal terlebih dahulu. Penerapan
teknologi bukan hanya sekedar pemberian bantuan teknis kepada komunitas lokal.
Proses tersebut membutuhkan integrasi aspek teknis, pembelajaran teknologi
baru, ketrampilan dan budaya dimana teknologi tersebut diaplikasikan.
Perspektif user sangat penting untuk menjembatani teknologi dengan pengguna (Budiarto et al., 2013) (Urmee & Md, 2016).
Kesimpulan
Diskusi
mengenai proyek pembangunan infrastruktur kelistrikan pedesaan berbasis energi
terbarukan (ET) di Indonesia menunjukkan bahwa meskipun telah dilaksanakan
secara masif, pendekatan yang dominan adalah top-down, dan pemberdayaan
komunitas lokal masih kurang. Evaluasi keberlanjutan program ini menggunakan
indikator keberlanjutan yang terdiri dari lima dimensi (teknis, ekonomi,
sosial/etis, lingkungan, dan organisasi/institusi). Hasil evaluasi menunjukkan
bahwa program ini berhasil dalam dimensi teknis, sosial/etis, dan lingkungan,
tetapi masih kurang dalam dimensi ekonomi dan organisasi/institusi.
Keberlanjutan pengoperasian pembangkit ET menjadi tantangan besar karena
terbatasnya daya dan kurangnya program pembangunan institusi untuk memastikan
komunitas dapat mengelola infrastruktur yang telah dibangun. Oleh karena itu,
disarankan agar evaluasi lebih terukur dengan menggunakan metode kuantitatif,
dan studi kasus dilakukan untuk mendalami kondisi nyata di lapangan dan
mengeksplorasi lebih lanjut masing-masing dimensi dan indikator keberlanjutan.
DAFTAR
PUSTAKA
Anyi, M., Kirke, B., & Ali, S.
(2010). Remote community electrification in Sarawak, Malaysia. Renewable
Energy, 35(7), 1609–1613.
Biswas, W. K., Diesendorf, M., &
Bryce, P. (2004). Can photovoltaic technologies help attain sustainable rural
development in Bangladesh? Energy Policy, 32(10), 1199–1207.
Blum, N. U., Wakeling, R. S., &
Schmidt, T. S. (2013). Rural electrification through village grids—Assessing
the cost competitiveness of isolated renewable energy technologies in
Indonesia. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 22, 482–496.
Budiarto, R., Ridwan, M. K., Haryoko,
A., Anwar, Y. S., & Suryopratomo, K. (2013). Sustainability challenge for
small scale renewable energy use in Yogyakarta. Procedia Environmental
Sciences, 17, 513–518.
Chaurey, A., & Kandpal, T. C.
(2010). Assessment and evaluation of PV based decentralized rural
electrification: An overview. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 14(8),
2266–2278.
Creswell, J. W. (2010). Research
design pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
DJ EBTKE. (2018). Laporan Tahunan
DJ EBTKE 2018. Jakarta: DJ EBTKE.
EBTKE, D. (2015). Laporan kinerja
(Lakin) Tahun Anggaran 2015. Jakarta: DJ EBTKE.
EBTKE, D. (2016). Statistik EBTKE
2016. Jakarta: DJ EBTKE.
EBTKE, D. (2019). Laporan Kinerja DJ
EBTKE Tahun 2019. Jakarta: DJ EBTKE.
Fajarsari, A. D., Sulaiman, M., &
Setiawan, B. (2015). Developing A Model Of A Sustainable Micro Hydropower Plant
Management System (A Case Study Kedungrong Mhp Purwoharjo Village Samigaluh
District Kulon Progo Regency Yogyakarta Province). ASEAN Journal of Systems
Engineering, 3(1).
García, V. G., & Bartolomé, M. M.
(2010). Rural electrification systems based on renewable energy: The social
dimensions of an innovative technology. Technology in Society, 32(4),
303–311.
Gatrik, D. (2016). Statistik
Ketenagalistrikan 2015. Jakarta: DJK.
Haramaini, M. N. (2023). Kajian Aspek
Keberlanjutan Program Kelistrikan Pedesaan Berbasis Energi Terbarukan Off Grid
Oleh Direktorat Jenderal EBTKE Di Indonesia. EKONOMIKA45: Jurnal Ilmiah
Manajemen, Ekonomi Bisnis, Kewirausahaan, 10(2), 455–477.
Hong, G. W., & Abe, N. (2012).
Sustainability assessment of renewable energy projects for off-grid rural
electrification: The Pangan-an Island case in the Philippines. Renewable and
Sustainable Energy Reviews, 16(1), 54–64.
Ilskog, E. (2008). Indicators for
assessment of rural electrification—An approach for the comparison of apples
and pears. Energy Policy, 36(7), 2665–2673.
Ilskog, E., & Kjellström, B.
(2008). And then they lived sustainably ever after?—Assessment of rural
electrification cases by means of indicators. Energy Policy, 36(7),
2674–2684.
KESDM. (2015). Peraturan Menteri
ESDM Nomor 13 Tahun 2015 tentang Rencana Strategis Kementerian ESDM Tahun
2015-2019. Jakarta: KESDM.
Lillo, P., Ferrer-Martí, L.,
Fernández-Baldor, Á., & Ramírez, B. (2015). A new integral management model
and evaluation method to enhance sustainability of renewable energy projects
for energy and sanitation services. Energy for Sustainable Development, 29,
1–12.
Murni, S., Whale, J., Urmee, T.,
Davis, J., & Harries, D. (2012). The role of micro hydro power systems in
remote rural electrification: a case study in the Bawan Valley, Borneo. Procedia
Engineering, 49, 189–196.
Suri, D. M., & Komalasari, E.
(2019). Proses Implementasi Kebijakan Lingkungan Dalam Pemanfaatan Limbah
Kelapa Sawit Di Kabupaten Rokan Hulu. PUBLIKA: Jurnal Ilmu Administrasi
Publik, 5(2), 164–172.
Urmee, T., & Harries, D. (2009).
A survey of solar PV program implementers in Asia and the Pacific regions. Energy
for Sustainable Development, 13(1), 24–32.
Urmee, T., & Harries, D. (2011).
Determinants of the success and sustainability of Bangladesh’s SHS program. Renewable
Energy, 36(11), 2822–2830.
Urmee, T., Harries, D., &
Schlapfer, A. (2009). Issues related to rural electrification using renewable
energy in developing countries of Asia and Pacific. Renewable Energy, 34(2),
354–357.
Urmee, T., & Md, A. (2016).
Social, cultural and political dimensions of off-grid renewable energy programs
in developing countries. Renewable Energy, 93, 159–167.